Skip to main content

CONGENITAL TALIPES EQUINOVARUS (CTEV)



PENDAHULUAN
Apa yang dimaksud dengan congenital talipes equnino varus?
Talipes equino varus berasal dari kata-kata Latin : talipes adalah kombinasi kata talus (ankle) dan pes (foot) equinus berarti "Horselike' (yang dimaksud disini tumit dalam posisi fleksi plantar) . Varus berarti inversi dan aduksi.

Kelainan kongenital ini menurut statistik 1-2 per 1000 kelahiran hidup. Laki-laki lebih banyak dari wanita (70% 50%). Dalam bahasa Inggris Clubfoot. Pada bayi yang baru lahir kelainan ini dapat diketahui atas 3 kelainan dasar

1. Hindfoot ankle : equinus
2. Hindfoot (subatalar) = inversi (=varus)
3.  Forefoot = aduksi

Ponseti menambahkan ada unsur cavus
Scarpa membuat definisi yang sangat sederhana apada yang disebut CTEV : clubfoot deformity is twisting of the scaphoid, os calcis and cuboid around the astragalus. Menurut Simon  istilah congenital talipes equinovarus dipergunakan pada clubfoot yang idiopatik untuk membedakan bentuk lainnya seperti neurologik, teratologik, fungsional dan lain-lain.

Kebanyakan bayi yang baru dilahirkan tampak mempunyai clubfoot, ini disebabkan oleh posisi intra uterine yang akan terkoreksi secara spontan dalam beberapa hari atau minggu. Satu cara yang mudah untuk membedakan CTEV dengan keadaan fisiologis pada bayi yang baru dilahirkan adalah dengan cara sebagai berikut : koreksi dulu forefoot keposisi normal dan lakukan gerakan dorsofleksi secara pasif pada pergelangan kaki. Bila ibu jari kaki bisa menyentuh crista tibia; ini berarti bukan CTEV. Jadi bisa kita bedakan 2 macam clubfoot pada bayi baru lahir : tipe non  ridid dan tipe"'rigid'.

Dalam literatur dilaporkan keberhasilan terapi konservatif pada CTEV berbeda-beda, Kite (1930, 1964) (80:90)% hasil baik. Lloyd-Roberts (1971) dan Wayne-Davis (1964) (30-50)% Ponseti (89)% dengan operasi terbatas.

Terapi dianggap berhasil bila koreksi itu memberikan kaki yang berfungsi, tidak nyeri, plantigrade, mobilitis yang baik, tanpa menimbulkan callus, dan tidak memerlukan sepatu khusus.

Tampaknya keberhasilan ini tergantung sekali dari perbandingan banyaknya tipe yang dilakukan terapi konservatif. Kalau semua tipe I keberhasilan bisa mencapai 100%, kalau tipe II keberhasilan bisa mencapai 0%.

Pada beberapa kelainan kongenital yang bisa memberikan gambaran talipes equino varus (sekunder) seperti myelomeningocel (spina bifida), arthrogryposis, constriction band, absent dari tibia. Kelainan TEV pada penderita-penderita ini terapinya secara konservatif akan lebih sulit dan sangat resisten. Maka dan itu golongan TEV pada kelainan ini kita golongkan tipe III.

Jadi ada 3 tipe klasifikasi yang disesuaikan dengan keberhasilan pengobatan;

I.    Tipe non rigid : posisi intrauterin (packing syndrome)
II.   Tipe, rigid : clubfoot - moderate - severe
Ill.  Tipe resistent rigid : clubfoot yang ada hubungannya dengan keadaan penyakit seperti myelomeningocel, arthrogryposis, constriction band dan lain-lain (=teratologic type)

ETIOLOGI

Sampai sekarang belum diketahui penyebab daripada CTEV. Simon menyimpulkan ada 6 teori mengenai etilogi CTEV.

1. Teori kromosom
Adalah teori hereditary germ plasm. Defek sudah terdapat didalam unferilized germ cell, jadi defek sudah ada sebelum fertilisasi. lni terbukti menurut Palmer (1964) CTEV lebih sering terjadi pada keluarga-keluarga dimana sudah ada menderita CTEV. Wyne-Davis (1964) mencatat ada peningktan insiden CTEV dalam keluarga yang menderita CTEV. Mungkin CTEV diturunkan sebagal polygenic multifactonal trait pada racial group seperti Polynesia yang mempunyai insidensi tinggi. Inipun bisa dilihat angka CTEV pada laki-laki lebih banyak daripada wanita (Kite =70% laki).

2.    Teori embrionik
Teori ini menyatatan bahwa defek terjadi pada saat fertilized germ cells. Teori ini diajukan oleh Irani, Sherman dan Settle bahwa defek terjadi' dalam embryonic period (mulai konsepsi -12 minggu). Berdasarkan didapatkannya collum tali yang pendek dengan mengarah ke medial dan plantar pada semua CTEV. Kejadian ini oleh karena defek dan pertumbuhan os talus pada periode pertumbuhan embrio. Teori ini banyak menyanggah karena kelainan os talus ini tidak selalu primer, tetapi bisa disebabkan oleh gaya yang tidak simetris selama pertumbuhan. Begitu pula adanya CTEV yang unilateral melemahkan teori embrionik.

3.   Teori  atogenik
Teori ini menyatatan bahwa adnaya/terjadinya pertumbuhan yang terhenti (arrest of development). Teori ini pertama diajukan oleh Bohm (1929) : development arrest pada awal pertumbuhan janin. Terjadinya pertumbuhan ini bisa secara permanen, temporer atau perlambatan. Permanent arrest bisa mengakibatkan malformasi kongenital, dimana temporary arrest mengakibatkan keadaan serupa dengan garis-garis dari Harris. Pertumbuhan yang lambat bisa terjadi misalnya karena, pemberian steroid.

Dan ketiga teori ini yang bisa menimbulkan CTEV adalah temporary arrest. Apabila temporary arrest ini terjadi pada minggu ke 7-8 pertumbuhan embrio maka akan terjadi CTEV yang tipenya berat dan bila terjadi setelah minggu ke 9 tipe CTEV lebih ringan.
"Arrest theory' ini diperkirakan ada hubungannya dengan perubahan faktor genetik yang disebut "cronon" yaitu faktor yang menentukan saat yang tepat terjadinya modifikasi yang progresif yang berlangsung saat pertumbuhan.

Jadi CTEV disebabkan oleh suatu elemen yang disruptif (lokal atau general) yang menyebabkan perubahan didalam faktor genetik (=cronon). Perubahan-perubahan struktur kemudian terhenti, sedangkan pertumbuhan berjalan terus dibawah impuls-impuls yang diterima cronon setelah mengalami kerusakan (antara minggu ke 8­-12). Jadi kaki adalah dibawah suatu pengontrol yang bisa mengalami keadaan patologis dan mengarah kepertumbuhan yang abnormal. Pada akhir dari fase "growth arrest', pertumbuhan mulai normal kembali akan dimulai dari titik pertumbuhan yang terakhir                                                            I

4.   Teori fetal atau intra uterin packing:
Teori ini paling tua seperti apa yang diajukan oleh Hippocrates (400 BC) dan Galen (200 AD) bahwa CTEV itu disebabkah oleh extrinsic pressure daripada janin dalam uterus

5.    Teori neurologis : kelainan primer pada syaraf .
6.   Teori miologis : kelainan primer pada otot
(5 & 6) adalah dalam bentuk defek yang subklinis

PATO-ANATOMI
Seluruh kaki rotasi ke dalam terhadap talus. Rotasi ini primer terjadi pada : talocalcaneus, talonaviculare dan calcaneocuboid. Rotasi juga terjadi pada sendi-sendi lainnya, tetapi sedikit sekali dan tidak berarti.

Sendi talocruralis

Talus dalam posisi equinus serta cenderung menggulir (roll) kedepan dari mortise. Malleolus fibularis letaknya (posisi) posterior.

Ada beberapa pendapat mengenai letak posterior malleolus lateral ini
·               Karena rotasi kedalam daripada talus pada sendi kaki
·               Karena torsi tibia keluar
·               Karena syndesmosis tibia fibularis yang abnormal

Semua sependapat terjadinya rotasi kedalam daripada talocalcaneal dan talonaviculare, naviculare berputar dan bergeser ke medial terhadap caput tali. Tuberositas calcaneal bergeser (rotasi) keluar mendekati malleolus lateralis.
Kenyataannya terjadinya pemendekan ligament dibagian medial sehingga naviculare mendekati malleolus medialis dan dibagian pemendekan ligamen-ligamen lateral calcaneus fibularis dan talofibularis yang mengakibatkan fibula letak posterior.

Talus

Kelainan bentuk talus adalah karena terjepit (contriction encasement) sehingga tidak bisa bergerak leluasa pada persendian ini mengakibatkan : enchondral growth yang terbatas, talus lebih kecil, articular cartilage akan mengalami artofis bila tidak bergerak. (Prinsip cartilage survival = fluid motion, intermitten pressure)

Caput dan collum tali tumbuh kearah medial dan angulasi ke plantar akibat tekanan dari pemendekan ligament. Keadaan ini,berjalan progresif dan hanya bisa dihindari bila dilakukan "realignment', dimana hyaline cartilage tidak akan mengalami artrofis. Realignment ini harus dilakukan sedini mungkin, dipertahankan dan digerakkan dini agar bisa tumbuh normal.

Mengenai letak corpus talus dalam mortis ada perbedaan pendapat menurut McKay : neutral Goldner menyatakan terjadi internal rotation, sedangkan menurut Carrol yang dengan analisa komputer mendapatkan external rotation.

Subtalar complex

Terdiri atas 3 persendian : talocalcaneal, talonavicular, calcaneocuboid.

Sendi talo calcaneal

Sendi ini terdiri dari 3 permukaan, yang penting adalah hubungan calcaneus dengan talus, yang mengalami rotasi abnormal dalam 3 dimensi : sagital, coronal, horizontal.

Rotasi horizontal calcaneus sekitar ligamen interosseous adalah sangat significant. Interosseous ligament ini terdiri dari 3 ligament yang terpisah : ligament posterior sendi talocancaneal navicular, ligament anterior subtalar (posterior talocalcaneal joint) dan interosseous ligament (cervical ligament)
Karena calcaneus berputar horizontal ke medial pada sumbu ligament interosseous, calcaneus akan bergeser dibawah caput dan collum tali didepan dari ankle joint dan tuberositas calcaneus bergerak mendekati malleolus fibularis dibelakang ankle joint.

Selain itu calcaneus posisinya varus dan equinus terhadap ankle (ini ditulis dalam semua literatur, kecuali rotasi horizontal). Varus disebabkan oleh rotasi coronal. Jadi terjadi kombinasi rotasi horizontal dan coronal, bagian belakang daripada calcaneus diibaratkan sebagai pisang. Equinus disebabkan oleh rotasi sagital. Apa yang terjadi akibat horizontal daripada calcaneal terhadap talus?. Ligamen calcaneo fibularis yang normal arahnya oblique, berubah menjadi vertikal, memendek, serta, menebal. Begitu pula terjadi penebalan peroneal sheath dan ligamen tali fibularis posterior.

Sendi talo naviculare

Sendi ini berbentuk ball & socket; dalam keadaan normal navicular (socket) bisa bergerak leluasa kesegala arah bersama-sama dengan gerakan calcaneo cuboid dan talocalcaneal. Pada CTEV os naviculare bergeser kearah medial dan plantar terhadap caput tali. Bila keadaan ini dipertahankan, sendi tulang rawan yang mempunyai kontak satu dengan yang lainnya (talo navicular) pertumbuhan daripada osteochondral akan menjurus ke medial dan plantar (longitudinal growth) serta kelainan ini akan progresif. Istilah naviculare mengalami luxasi/subluxasi terhadap caput tali adalah kurang tepat. Namun demikian posisi naviculare ini perlu di "realign" agar arah pertumbuhan talus menuju kearah yang normal, bila terlambat cartilage pada bagian lateral akan mengalami atrofis. Tindakan "realign” ini bisa mengalami kesulitan, akibat daripada pemendekan tendon tibialis posterior, deltoid ligament (tibio-navicular) , calcaneonavicular ligament (spring ligament), seluruh kapsul navicular, ligament talo navicular dorsalis, bifurcate ligament, cubonavicular oblique ligament.

Sendi calcaneo-cuboid

Pada CTEV sendiri terjadi malposisi, cuboid bergeser ke medial terhadap calcaneus dan dibawah tulang navicular ,dan cuneiform. Internal rotation yang berkelanjutan mengakibatkan bifurcate ligament (calcaneo-cuboid, calcaneo-navicular ligament), ligament plantaris longus, plantar calc-cuboid ligament, navicular cuboid ligament, inferior external retanicular (cruciate ligament), dorsal calcaneo-cubo ligament, cubonavicular ligament pemendekan sehingga midfoot menjadi supinasi dan fore foot aduksi.
Namun demikian karena kedua elemen subtalar, talocalcaneus dan talo navicular telah terkoreksi, sendi calcaneo cuboid terkoreksi dengan baik, kecuali pada resisitant clubfoot.

Apa yang terjadi pada otot-otot dan jaringan lunak lainnya?

Otot
Pada pemeriksaan ultramikroskop diketemukan otot yang posteromedial : pemendekan akibat dari sedikit bertambahnya jaringan fibrosis karena inervasi yang berkurang yang terjadi pada saat pertumbuhan intrauterine atau law of fibrous tissue (Swynyard, Bleck) , Isaac dkk.
Handelsman dkk menemukan dengan pemeriksaan histo-kimiawi dan mikroskop elektron dari otot yang dibiopsi terjadinya perubahan : struktur otot dimana proporsi serat-serat otot tipe I lebih banyak dibandingkan tipe II (normal otot skeletal serat otot tipe I : tipe II (1:1) - (1:2).
Keadaan in menunjukkan adanya defek neuromuscular junction atau menunjukkan CTEV ada hubungannya dengan kelainan neuromusculer, tetapi bagaimana hubungannya terhadap fungsi atau umur belum bisa dijelaskan (Mellerowicz)

Adanya atrofi otot adalah merupakan tanda-tanda yang tetap pada CTEV.Muskulus peroneus mengalami atrofis yang lebih banyak dibandingkan otot-otot yang mempertahankan deformitas.

Secara mikrosokopis jumlah serat-serat otot tidak mengalami perubahan. Atrofis ini disebabkan oleh karena ukuran tiap serat otot mengecil. Pada pertumbuhan janin pada semester kedua, serat otot mengalami pertambahan dalam ukuran (besar) dari masing-masing serat jadi.ukuran jumlahnya. Serat otot peroneus lebih kecil dibandingkan serat otot posteromedial yang mempertahankan deformitas oleh karena m.peroneus tidak aktif.


Selubung tendon (tendon sheath)
Mengalami penebalan terutama tibialis posterior, peroneus, hallucis, digitorum communis

Kapsul sendi :
Pemendekan dan menebal (contracted) pada ankle posterior, subtalar, talonavicular, calcaneocuboid.

Ligament
Pemendekan dan perubahan calcaneo fibular, talofibular, deltoid, plantar ligament balk longus dan brevis, spring ligament, bifurcate ligament.

Fascia
Penebalan pada permukaan dan fascia plantaris

Konklusi patoanatomi dari hasil-hasil pemeriksaan diseksi, CT, operasi dan 3 dimentional computerized analysis pada severe clubfoot.

1.   Apabila patella dletakkan ke ventral, malleolus lateralis terletak posterior (jadi pendapat lama bahwa adanya internal tibial torsion adalah tidak benar)
2.   Pada CTEV ada komponen cavus yang hanya bisa dikoreksi dengan release fascia plantaris dan otot intrinsik yang memendek.
3.   Ada dua kolum pada kaki yaitu medial dan lateral (Grant) pergeseran kolum medial bagian distal kearah medial selalu diikuti oleh pergerseran bagian distal daripada kolum lateral, yang berisi os cuboid ikut juga bergeser kemedial, dimana secara klinis tampak sebagai deformitas aduksi
4.   Bentuk cavus dan pergeseran kemedial dari cuboid menunjukkan adanya kontraktur daripada ligament plantaris brevis dan longus dan spring ligament

5.    Sumbu calcaneus dan talus pada posisi AP dan lateral : sejajar (paralel) atau mendekati sejajar
6.   Os calcis dalam posisi equinus
7.   Os talus dalam posisi equinus
8.   Triceps surae, tibialis posterior, flexor hallucis longus, flexor digitorum longus semuanya memendek
9.   Kapsui posterior dan ligament collateral daripada ankle memendek
10.  Pemanjangan (z-plasty) tendo Achilles kemudian dengan dorsoflexi daripada ankle tidak akan mengoreksi equinus karena kapsul posterior daripada ankle dan subtalar joint belum dibebaskan. Release ini hares disertai pemotongan struktur posterolateral : ligament calcaneo fibular posterior dan ligament talofibular posterior.
11.  Os naviculare mengalami subluksasi kemedial mendekati malleolus medialis
12.  Os talus : collum tali mengalami deviasi kemedial dan plantar. Corpus tali dalam ankle mortise mengalami rotasi external
13.  Os calcis : mengalami rotasi ke medial
14.  Forefoot : terjadi aduksi dan supinasi

Mekanisme terjadinya CTEV

Postur (sikap, posisi) yang abnormal dari janin, kakinya dipertahankan dalam posis equinovarus. Mulai sejak ini adanya muscular imbalance yaitu invertors, terutama m.tibialis posterior sangat memegang peranan yang diperkuat oleh tendon-tendon dan expansinya. Otot dan tendonnya menarik os naviculare menjadi posisi subluksasi. Akibatnya bagian anterior talus ini seluruhnya;cartilage dengan mudah berubah arah, dimana corpus tali terfikser didalam ankle mortise

Beratnya CTEV ini tergantung daripada berapa besar deviasi-nya. Besarnya faktor neurologis atau penyebab malformasi, terbatasnya letak kaki, kwalitas seluruh otot-otot merupakan kunci utama manifestasi variasi keadaan beratnya CTEV.
Maka dari itu beberapa variasi bisa terjadi : beratnya kelainan midtarsal (aduksi) dan beratnya kelainan subtalar (varus). Bayi CTEV yang baru dilahirkan, pemendekan otot triceps adalah fisiologis. Konsep ini perlu diperhatikan sewaktu melakukan koreksi. Bila stretching otot ini dilakukan tidak sesuai dengan urutannya, akan menimbulkan kontraksi-kontraksi yang abnormal. Jangan sekali-kali melakukan stretching triceps sebelum melakukan re­aligment sendi midtarsal. Bila dorsofleksi ini dilakukan secara paksa akan terjadi flattening daripada talus ibarat efek daripada  nutcracker “ . Bila hambatan, ini dilanjutkan terus akan terjadi gerakan midtarsal (fore foot) dan akan terjadi "rocker bottom foot'. Untuk menghindari ini varus dikoreksi dulu dengan mengoreksi calcaneus kerah valgus pada sendi subtalar.

Singkatnya
1. Koreksi aduksi (fore foot) untuk menghidari flattening talus
2. Koreksi varus (subtalar) untuk menghindari rocker bottom foot

PEMERIKSAAN

Meliputi anamnesa, pemeriksaan fisik dan radiologi
Anamnesa meliputi : kehamilan, keluarga dan lain-lain
Pemeriksaan Iokal : apakah ada fixed equinus, varus pada subtalar (hind foot), kaki depan dalam posisi aduksi. Betis bentuknya kecil dan tumit "kosong' (bantalan tumit lunak karena calcaneus tertarik keproximal oleh Achilles yang memendek) dan tumit tampak letaknya tingi.

Pada palpasi pertama akan memberikan kesan mengenai tingkat kekakuan (rigiditas) yang menunjukkan "tingkat kesulitan' yang akan dihadapi saat melakukan tindakan koreksi. Bentuk kaki yang pendek, gemuk dan kaku dengan lipatan kulit yang dalam pada arkus akan sangat sulit untuk dilakukan koreksi.

Beberapa kelainan kongenital yang memberi gambaran talipes equinus varus yang merupakan suatu syndrome seperti arthrogryposis, constriction band dan juga pada myelomeningocel.

Pemeriksaan radiologis

X-ray dibuat bayi umur (3-6) bulan, menilai keberhasilan serial platering, menentukan sikap apa perlu tindakan operasi untuk memperoleh koreksi yang maksimal, menentukan berat/ringannya CTEV.
Cara yang paling sederhana yaitu membuat foto AP dan akan kelihatan talus dan calcaneus tumpang tindih. Penting untuk menilai x-ray apakah ada "paralelisme" antara sumbu talus dan calcaneus yang terjadi pada CTEV. Normal besar sudut sumbu talus dan calcaneus = 30 (sudut dari Kite).

Demikian pula x-ray posisi lateral dimana kaki dibuat dorsofleksi maksimal juga akan memberikan gambaran "paralelisme" pada CTEV. Pada kaki yang normal ujung talus dan calcaneus selalu overlap (tumpang tindih), sedangkan pada CTEV tidak ada, menunjukkan adanya kapsul posterior yang tegang dan varus. Lateral x-ray juga bisa untuk melihat adanya "rocket bottom" yaitu garis yang melalui tepi bawah calcaneus melewati bagian bawah sendi calcaneo cuboid, dan juga bisa untuk melihat adanya flat topped talus. Sering x-ray selain operatif dan post operatif, dipakai intra operatif untuk melihat apakah release dan realigment sudah cukup?

Pendekatan pada orang tua bayi

Sebagai seorang dokter harus bijaksana menghadapi orang tua bayi. Sering mereka merasa cemas. Mereka akan bertanya apa penyebab dari kelainan/cacat bayinya, dan kenapa bisa terjadi demikian?

Pendekatan dengan memberikan jawaban yang bijak dan untuk mengurangi kecemasan orang tuanya sangat penting. Jelaskan bahwa penyebab dari CTEV ini tidak diketahui, selain kakinya, organ-organ lainnya normal dan kelak akan bisa berfungsi normal bila diterapi dengan baik dan teratur. Kalau perlu buat dokumentasi agar bisa dibandingkan dengan hasil final dari tindakan dokter. Ceriterakan (jelaskan) cara terapi (tingkat-tingkatnya) seperti plastering tiap minggu kemudian 2 minggu sampai koreksi penuh kalau perlu dengan sepatu. Dennis Browne dan ada kemungkinan dilakukan tindakan operasi.

PENANGANAN/TERAPI

Ada 2 cara terapi umum untuk CTEV
1.    Konservatif
2.   Operatif

Dalam literature  didapatkan kalimat-kalimat yang perlu dipahami seperti:
·      A prognosis in breech delivery is better than in a vertex presentation
·      Contracted tissue (soft tissue : ligaments,  capsules) are hard; physis, articular cartilage are soft; manipulation is vulnerable (iatrogenic)
·      Forceful manipulation stretching cast are more radical than surgery. In other words conservative treatment is more than open surgical reduction
·    The succesful non operatively treated clubfoot is much better than the succesful surgically treated foot

Tujuan daripada terapi:
1.   Reposisi yaitu mengembalikan kelainan,unsur-unsur equinus, varus, aduksi dan cavus, sehingga konsentris (calcaneo-talo-navicular)
2.   Mempertahankan reposisi
3.   Memperbaiki aligment artikulasi tarsus dan ankle kearah normal
4.   Memperoleh muscle balance
5.   Dan mobile foot

Sehingga dengan demikian diperoleh fungsi yang maksimal bebas nyeri, plantigrade dengan mobilitas yang baik, tidak terjadi callus, tanpa bantuan sepatu khusus.

Terapi konservatif

Ada beberapa cara:
1.    Serial plastering
2.      Stretching kemudian dipasang Dennis Brown Splint
3.    Adhessive strapping
4.   Physiotherapy

Tiga minggu pertama setelah dilahirkan merupakan "golden period' untuk tindakan konservatif atas dasar maternal sex hormone. Makin dini dilakukan koreksi, makin tinggi angka keberhasilan. Keberhasilan dari tindakan konservatif tergantung beberapa faktor : umur penderita, tingkat beratnya kelainan, kecakapan (skill) dari dokter, pengertian mengenai pathoanatomi.

Mengenai angka-angka keberhasilan telah dikemukan pada pendahuluan. Cara tindakan konservatif yang umum dilakukan adalah dengan cara serial plastering.

Tindakan operasi sebaiknya dilakukan bila tindakan serial plastering yang secara berturut-turut sampai umur 3 bulan tidak berhasil, dan juga harus dilihat kondisi bayi (optimal untuk narkose dan lain-lain)

Komplikasi yang bisa terjadi pada serial plastering

Pressure necrosis, rocker bottom foot, flattering permukaan talus bagian posterior, cavus yang bertambah, rotasi ankle ke lateral, kaku sendi, longitudinal breach.

Kegagalan memutar horizontal subtalar (calcaneus) akan memberikan gambaran penderita berjalan dengan kaki yang rotasi kedalam (endorotasi) dimana malleolus fibula akan tetap letaknya posterior. Below knee cast (BK) tidak bisa mempertahankan kaki dalam external rotation terhadap talus (10)(11)
Above knee cast (AK) selaian mempertahankan hal tersebut diatas juga meletakkan aligment tungkai yang fisiologis. Rotasi internal daripada tibia terhadap femur kapsul posterior yang oblique daripada lutut masih tegang saat bayi baru dilahirkan.

OPERASI

George Frederich Louis Stromeyer di Hanover (1804-1876) melalukkan closed tenotomy daripada CTEV. William John Little dari London (1810-1894) datang ke Stromeyer untuk operasi pes equnovarus (karena post polio; thesisnya mengani CTEV dan kembali ke lnggris melakukan operasi ATL (closed tenotomy).
Phelps (New York, 1881) setelah penemuan Lister, berani melakukan operasi terbuka selain ATL juga posteromedial release. Pada abad ke 20, tindakan operasi dianggap aman dan cara-cara lebih baik seperti Turco (posteromedial release); dan cara terakhir subtalar release dengan insisi Cincinnati atau insisi bilateral. (20) Bensahel(2)    menganjurkan tindakan operasi pada tiap penderita CTEV tidak semua sama. Operasinya adalah "a la carte” approach.

It is essensial that the existing deformities be assessed and the technique adapted "ala carte" to the foot not the foot to the technique.

Insisi kulit posteromedial (cara Cordivilia) memberikan jaringan parut yang kurang baik, dan banyak yang lebih senang menggunakan insisi melingkar (Cincinnati).



Pertama kali insisi Cincinnati diperkenalkan oleh Giannatras dan dipopulerkan oleh Crawford dan Iebih diperinci oleh McKay dan Simon.

Paley melakukan koreksi, CTEV dengan memakai alat ilizarov. Bila umur kurang dari 8 tahun distraksi dilakukan tanpa osteotomi dan bila umur lebih dari 8 tahun dilakukan dengan osteotomi distraksi.

Komplikasi-komplikasi tindakan operasi :  
1.    Infeksi
2.   Nekrosis oleh kerusakan (lesi) pembuluh darah utama
3.    Jaringan parut yang jelek
4.    Kaku sendi
5.    Over/under correction
6.   Dislokasi os naviculare
7.   Flattening atau beaking talar head
8.   Talar necrosis
9.    Kelemahan otot yang mempengaruhi gait
10. Skew foot

Comments

  1. terima kasih. Artikelnya membantu saya hari ini, lagi nyari2 buat review ctev

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Dilatasi dan Kuretase

Indikasi             Prosedur dilatasi dan kuretase biasanya dilakukan atas indikasi : diagnosis dan terapi perdarahan uterus abnormal, abortus, kanker pada uterus. Teknik Dilatasi Serviks Dilatasi serviks dapat dilakukan dalam anestesi umum, spinal, epidural atau paraservikal, tergantung dari indikasi tindakan. Dilatasi biasanya dilakukan sebelum kuretase tapi juga bisa sebagai tindakan terapeutik pada stenosis servikalis. ·          Pasien dalam posisi litotomi, perineum, vagina dilakukan a dan antisepsis. Pasien dianjurkan untuk berkemih sebelum tindakan, kateterisasi dilakukan bila dicurigai masih terdapat residu urin yang signifikan. ·          Pemeriksaan dalam perlu dilakukan sebelum melakukan dilatasi serviks, menentukan ukuran dan posisi seviks, uterus dan adneksa.   ·          Dipasang spekulum atas dan bawah, serviks ditampakkan. Bibir anterior serviks dijepit dengan tenakulum. ·          Dilakukan inspeksi dengan teliti terhadap serviks dan vagina ·          Terdapat d

Uji Maddox - ROD

Tujuan Tes digunakan untuk mengukur heteroforia atau tropia kecil Dasar Kedua mata melihat dengan fovea Disosiasi terjadi bila dipakai Maddox rod pada mata Alat Kamar yang gelap Filter Maddox rod(terdiri sejumlah silinder plano konveks paralel dengan jarak fokus pendek). Teknik Jarak pemeriksaan dapat jauh ataupun dekat. Kedua mata diberi kacamata koreksi. Maddox rod dipasang pada satu mata (dipakai Maddox merah) biasanya mata kanan. Dengan kedua mata terbuka pasien diminta berfiksasi pada lampu. Pasien diminta menerangkan letak garis (dilihat melalui Maddox rod) bandingkan dengan letak lampu. Bila garis Maddox rod dipasang vertikal maka garis cahaya melalui Maddox rod berupa garis horizontal. Bila garis Maddox rod dipasang horizontal maka garis cahaya melalui Maddox rod berupa garis vertikal. Bila dipasang untuk menyatukannya maka dapat ditentukan berat foria atau tropia. Nilai Bila sinar vertikal M

Morbus Hansen - Kusta

PENDAHULUAN Kusta merupakan salah satu penyakit yang sudah ada sejak dulu. Kata kusta berasal dari bahasa India kusta, dikenal sejak 1400 tahun SM. Kata lepra disebjut dalam kitab Injil, terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnhya mencakup beberapa penyakit lainnya. Ternyata bahwa pelbagai deskripsi mengenai penyakit ini sangat kabur apabila dibandingkan dengan kusta yang dikenal saat ini. Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya adalah Mycobacterium leprae. Bakteri ini bersifat intraseluler obligat, dengan saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke orga lain kecuali susunan saraf pusat. Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan sangat ditakuti oleh karena dapat terjadi ulserasi, mutilasi, dan deformitas. Oleh sebab itu penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga dikucilkan masyarakat disekitarnya akibat cacat pada wajah dan anggota tubuh. Insid