Skip to main content

Penyakit Batu Empedu

Kali ini kita akan membahas tentang Penyakit Batu Empedu.

PENDAHULUAN
Penyakit batu empedu sudah merupakan masalah kesehatan yang penting di negara Barat sedangkan di Indonesia baru mendapatkan perhatian di klinis, sementara publikasi penelitian batu empedu masih terbatas.
 Sebagian besar pasien dengan batu empedu tidak mempunyai keluhan. Resiko penyandang batu empedu untuk mengalami simptom dan komplikasi relatif kecil. Walaupun demikian, sekali batu empedu mulai menimbulkan serangan nyeri kolik yang spesifik maka resiko untuk mengalami masalah dan penyulit akan terus meningkat.
Batu empedu umumnya ditemukan didalam kandung empedu, tetapi batu tersebut dapat bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran empedu menjadi batu saluran empedu dan disebut sebagai batu saluran empedu sekunder.
Di negara Barat, 10-15% pasien dengan batu kandung empedu juga disertai batu saluran empedu. Pada beberapa keadaan, batu saluran empedu dapat terbentuk primer di dalam saluran empedu intra-atau-ekstra-hepatik tanpa melibatkan kandung empedu. Batu saluran empedu primer lebih banyak ditemukan pada pasien di wilayah Asia dibandingkan dengan pasien di negara Barat.
Perjalanan batu saluran empedu sekunder belum jelas benar, tetapi komplikasi akan lebih sering dan berat dibandingkan batu kandung empedu asimptomatik.

PATOGENESIS DAN TIPE BATU
Menurut gambaran makroskopik dan komposisi limianya, batu saluran empedu dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori mayor, yaitu:
1. batu kolesterol dimana komposisi kolesterol melebihi 70%,
2. batu pigmen cokelat atau batu calcium bilirubinate yang mengandung Ca-bilirubinate sebagai komponen utama,
3. batu pigmen hitam yang kaya akan residu hitam tak terekstraksi.
Di masyarakat Barat, komposisi utama batu empedu adalah kolesterol, sedangkan peneliatian di Jakarta pada 51 pasien didapatkan batu pigmen pada 73% pasien dan batu kolesterol pada 27% pasien.
Ada tiga faktor penting yang berpertan dalam patogenesis batu kolesterol :
1. hipersaturasi kolesterol dalam kandung empedu
2. percepatan terjadinya kristalisasi kolesterol
3. gangguan motilitas kandung empedu dan usus.
Adanya pigmen di dalam inti batu kolesterol berhubungan dengan lumpur kandung empedu pada stadium awal pembentukan batu.
Patogenesis batu pigmen melibatkan infeksi saluran empedu, stasis empedu, malnutrisi, dan faktor diet. kelebihan aktivitas enzim β-glucuronidase bakteri dan manusia (endogen) memegang peran kunci dalam patogenesis batu pigmen pada pasien di negara Timur. Hidrolisis bilirubin oleh enzim tersebut akan membentuk bilirubin tak terkonjugasi yang akan mengendap sebagai calcium bilirubinate. Enzim β-glucuronidase bakteri berasal dari kuman E.coli dan kuman lainnya di saluran empedu. Enzim ini dapat dihambat oleh glucarolactone yang kadarnya meningkat pada pasien dengan diet rendah protein dan rendah lemak.

GEJALA BATU KANDUNG EMPEDU
Pasien dengan batu empedu dapat dibagi menjadi tiga kelompok: pasien dengan batu asimptomatik, pasien dengan batu empedu simptomatik dan pasien dengan komplikasi batu empedu (kolesistitis akut, ikterus, kolangitis, dan pankreatitis).
Sebagian besar (80%) pasien dengan batu empedu tanpa gejala baik waktu diagnosis maupun selama pemantauan. Studi perjalanan penyakit dari 1307 pasien dengan batu empedu selama 20 tahun memperlihatkan bahwa sebanyak 50% pasien tetap asimptomatik, 30% mengalami kolik bilier, dan 20% mendapat komplikasi.
Gejala batu empedu yang dapat dipercaya adalah kolik bilier. Keluhan ini didefinisikan sebagai nyeri perut atas berlangsung lebih dari 30 menit dan kurang dari 12 jam. Biasanya lokasi nyeri di perut atas atau epigastrium tetapi bisa juga di kiri dan prekordial.

KOMPLIKASI BATU EMPEDU
Kolesistitis Akut
Kurang lebih 15% pasien dengan batu simptomatik mengalami kolesistitis akut. Gejalanya meliputi nyeri perut kanan atas dengan kombinasi mual, muntah, dan panas.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan nyeri tekan pada perut kanan atas dan sering teraba kandung empedu yang membesar dan tanda-tanda peritonitis. Pemeriksaan laboratorium akan menunjukkan selain leukositosis kadang-kadang juga terdapat kenaikan ringan bilirubin dan faal hari kemungkinan akibat kompresi lokal pada saluran empedu.
Patogenesis kolesistitis akut akibat tertutupnya duktus sistikus oleh batu terjepit. Kemudian terjadi hidrops dari kandung empedu. Penambahan volume kandung empedu dan edema kandung empedu menyebabkan iskemi dari dinding kandung empedu yang dapat berkembang ke proses nekrosis dan perforasi. Jadi pada permulaannya terjadi peradangan steril dan baru pada tahap kemudian terjadi superinfeksi bakteri.
Kolesistitis akut juga dapat disebabkan lumpur batu empedu (kolesistitis akalkulus). Komplikasi lain seperti ikterus, kolangitis, dan pankreatitis dibahas pada penanganan batu saluran empedu.

DIAGNOSIS
Sebelum dikembangkannya pencitraan mutakhir seperti Ultrasound (US), sejumlah pasien dengan penyakit batu empedu sering salah didiagnosis dengan gastritis atau hepatitis berulang.
Dewasa ini US merupakan pencitraan pilihan pertama untuk mendiagnosis batu kandung empedu dengan sensitivitas tinggi melebihi 95% sedangkan untuk deteksi batu saluran empedu sinsitivitasnya relatif rendah berkisar antara 18-74%.
Pada satu studi di Jakarta yang melibatkan 325 pasien dengan dugaan penyakit bilier, nilai diagnostik ultrasound dalam mendiagnosis batu saluran empedu telah dibandingkan dengan endoscopic retrograde cholangio pancreatography (ERCP) sebagai acuan metode standar kolangiografi direk. Secara keseluruhan akurasi ultrasound untuk batu saluran empedu adalah sebesar 77%.
ERCP sangat bermanfaat dalam mendeteksi batu saluran empedu dengan sensitivitas 90%, spesivisitas 98%, dan akurasi 96%, tetapi prosedur ini invasif dan dapat menimbulkan komplikasi pankreatitis dan kolangitis yang dapat berakibat fatal.

PENANGANAN BATU KANDUNG EMPEDU
Penanganan profilaktik untuk batu empedu asimtomatik tidak dianjurkan. Sebagian besar pasien dengan batu asimtomatik tidak akan mengalami keluhan dan jumlah, besar, dan komposisi batu tidak berhubungan dengan timbulnya keluhan selama pemantauan. Kalaupun nantu tumbul kelihan umumnya ringan sehingga penanganan dapat elektif. Hanya sebagian kecil yang akan mengalami simtom akut (kolesistitis akut, kolangitis, pankreatitis, dan karsinoma kandung empedu).
Untuk batu kandung empedu simtomatik, teknik kolesistektomi laparaskopik yang diperkenalkan pada akhir dekade 1980 telah menggantikan teknik operasi kolesistektomi terbuka pada sebagian besar kasus. kolesistektomi terbuka masih dibutuhkan bila kolesistektomi laparoskopik gagal atau tidak memungkinkan.
Kolesistektomi laparoskopik adalah teknik pembedahan invasif minimal di dalam rongga abdomen dengan menggunakan pneumoperitoneum, sistem endokamera dan instrumen khusus melalui layar monirot tanpa melihat dan menyentuh langsung kandng empedunya. Sejak pertama kali diperkenalkan, teknik bedah laparoskopik ini telah memperlihatkan keunggulan yang bermakna dibandingkan dengan teknik bedah konvensional.
Rasa nyeri yang minimal, masa pulih yang cepat, masa rawat yang pendek dan luka parut yang sangat minimal merupakan kelebihan bedah laparoskopik.
Komplikasi cedera saluran empedu dari teknik ini yang umumnya terjadi pada tahap belajar dapat diatasi pada sebagian besar kasus dengan pemasangan stent atau kateter nasobilier dengan ERCP.

PENATALAKSANAAN BATU SALURAN EMPEDU
ERCP terapeutik dengan melakukan sfingterotomi endoskopik untuk mengeluarkan batu saluran empedu tanpa operasi pertama kali dilakukan tahun 1974. Sejak itu teknik ini telah berkembang pesat dan menjadi standar baku terapi non-operatif untuk batu saluran empedu.
Selanjutnya batu di dalam saluran empedu dikeluarkan dengan basket kawat atau balon-ekstraksi melalui muara yang sudah besar tersebut menuju lumen duodenum sehingga batu dapat keluar bersama tinja atau dikeluarkan melalui mulut bersama skopnya.
Pada awalnya sfingterotomi endoskopik hanya diperuntukkan pada pasien usia lanjut yang mempunyai batu saluran empedu residif atay tertinggal pasca kolesistektomi atau mereka yang mempunyai resiko tinggi untuk mengalami komplikasi operasi saluran empedu.
Pada kebanyakan senter besar ekstraksibatu dapat dicapai pada 80-90% dengan komplikasi dini sebesar 7-10% dan mortalitas 1-2%. Komplikasi penting dari sfingterotomi dan ekstraksi batu meliputi pankreatitis akut, perdarahan dan perforasi.
Keberhasilan sfingterotomi yang begitu mengesankan ini dan kehendak pasien yang kuat telah mendorong banyak senter untuk memperluas indikasi sfingterotomi endoskopik terhadap orang dewasa muda dan bahkan pasien dengan kandung empedu utuh dengan masalah klinis batu saluran empedu.

BATU SALURAN EMPEDU SULIT
Yang dimaksud dengan batu saluran empedu sulit adalah batu besar, batu yagn terjepit di saluran empedu, atau batu yang terletak di atas saluran empedu yang semput. Untuk mengeluarkan batu empedu sulit, diperlukan beberapa prosedur endoskopik tambahan sesudah sfingterotomi seperti pemecahan batu dengan litotripsi mekanik, litotripsi laser, electro-hydraulic shock wave lithotripsy, dan extracorporeal shock wave lithotripsy. Bila usaha pemecahan batu empedu dengan berbagai cari di atas gagal sedangkan pasien mempunyai resiko operasi tinggi maka dapat dilakukan pemasangan stent bilier perendoskopik disepanjang batu yang terjepit.


Laurentius A. Lesmana
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam

Comments

Popular posts from this blog

Dilatasi dan Kuretase

Indikasi             Prosedur dilatasi dan kuretase biasanya dilakukan atas indikasi : diagnosis dan terapi perdarahan uterus abnormal, abortus, kanker pada uterus. Teknik Dilatasi Serviks Dilatasi serviks dapat dilakukan dalam anestesi umum, spinal, epidural atau paraservikal, tergantung dari indikasi tindakan. Dilatasi biasanya dilakukan sebelum kuretase tapi juga bisa sebagai tindakan terapeutik pada stenosis servikalis. ·          Pasien dalam posisi litotomi, perineum, vagina dilakukan a dan antisepsis. Pasien dianjurkan untuk berkemih sebelum tindakan, kateterisasi dilakukan bila dicurigai masih terdapat residu urin yang signifikan. ·          Pemeriksaan dalam perlu dilakukan sebelum melakukan dilatasi serviks, menentukan ukuran dan posisi seviks, uterus dan adneksa.   ·          Dipasang spekulum atas dan bawah, serviks ditampakkan. Bibir anterior serviks dijepit dengan tenakulum. ·          Dilakukan inspeksi dengan teliti terhadap serviks dan vagina ·          Terdapat d

Uji Maddox - ROD

Tujuan Tes digunakan untuk mengukur heteroforia atau tropia kecil Dasar Kedua mata melihat dengan fovea Disosiasi terjadi bila dipakai Maddox rod pada mata Alat Kamar yang gelap Filter Maddox rod(terdiri sejumlah silinder plano konveks paralel dengan jarak fokus pendek). Teknik Jarak pemeriksaan dapat jauh ataupun dekat. Kedua mata diberi kacamata koreksi. Maddox rod dipasang pada satu mata (dipakai Maddox merah) biasanya mata kanan. Dengan kedua mata terbuka pasien diminta berfiksasi pada lampu. Pasien diminta menerangkan letak garis (dilihat melalui Maddox rod) bandingkan dengan letak lampu. Bila garis Maddox rod dipasang vertikal maka garis cahaya melalui Maddox rod berupa garis horizontal. Bila garis Maddox rod dipasang horizontal maka garis cahaya melalui Maddox rod berupa garis vertikal. Bila dipasang untuk menyatukannya maka dapat ditentukan berat foria atau tropia. Nilai Bila sinar vertikal M

Morbus Hansen - Kusta

PENDAHULUAN Kusta merupakan salah satu penyakit yang sudah ada sejak dulu. Kata kusta berasal dari bahasa India kusta, dikenal sejak 1400 tahun SM. Kata lepra disebjut dalam kitab Injil, terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnhya mencakup beberapa penyakit lainnya. Ternyata bahwa pelbagai deskripsi mengenai penyakit ini sangat kabur apabila dibandingkan dengan kusta yang dikenal saat ini. Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya adalah Mycobacterium leprae. Bakteri ini bersifat intraseluler obligat, dengan saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke orga lain kecuali susunan saraf pusat. Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan sangat ditakuti oleh karena dapat terjadi ulserasi, mutilasi, dan deformitas. Oleh sebab itu penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga dikucilkan masyarakat disekitarnya akibat cacat pada wajah dan anggota tubuh. Insid