Skip to main content

Efek samping penggunaan kortikosteroid pada mata

Bahan ini neh, susah banget gw bikinnya. sembari gw bertanya pada pembimbing gw, eh banyak juga yang gk diketahui.
alasannya sih karena bahannya susah... woooyyy,, residen aja susah mikirnya apalagi gw seorang koass???
tega bener dah ni supervisor ngasih gw bahan ini buat dibikin refarat. tapi Puji Tuhan, 2 minggu *kuranglebih* gw bikin ini bisa jadi.. hehhe..

gw kasih judul
EFEK SAMPING PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA MATA





BAB  I
PENDAHULUAN

Banyak orang yang terkena alergi pada mata mengobati sakit mereka dan sangat efektif dengan menggunakan produk-produk yang beredar di pasaran. Jika obat-obatan tersebut tidak bekerja atau jika terdapat nyeri pada mata mereka, mata merah yang sangat hebat, terdapat lebih banyak lagi kotoran pada mata, kita harus memberikan saran-saran yang berhubungan dengan kesehatan mata yang benar.
Kortikosteroid sering digunakan dalam beberapa bentuk, untuk menyembuhkan beberapa kondisi yang berbeda. Karena kortikosteroid mengurangi rasa gatal, bengkak, merah, dan reaksi alergi, kortikosteroid sering digunakan pada penyembuhan masalah kulit, alergi yang hebat, asma, dan arthritis. Obat-obatan jenis kortikosteroid juga menekan respon imun dalam tubuh, jadi kortikosteroid digunakan pada pasien yang menerima transplantasi organ, untuk mengurangi kesempatan penolakan organ yang di transplantasi. Pada beberapa pasien yang tidak memproduksi cukup kortikosteroid alami, obat kortikosteroid dapat meningkatkan level dari hormon-hormon tersebut. Kortikosteroid juga digunakan untuk penyembuhan kanker (bersama dengan obat-obatan yang lain), dan untuk mengurangi inflamasi pada obat-obatan yang lain.

BAB  II
TINJAUAN PUSTAKA

A.KORTIKOSTEROID
1.Definisi
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan dibagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis, atau atas angiotensin II. Hormon ini berperan pada banyak sistem fisiologis tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah  laku.1
Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan atas aktivitas biologis yang menonjol darinya, yakni glukokortikoid (contohnya kortisol) yang berperan mengendalikan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, juga bersifat anti inflamasi dengan cara menghambat pelepasan fosfolipid, serta dapat pula menurunkan kinerja eosinofil. Kelompok lain dari kortikosteroid adalah mineralokortikoid (contohnya aldosteron), yang berfungsi mengatur kadar elektrolit dan air, dengan cara penahanan garam di ginjal. Beberapa kortikosteroid menunjukkan kedua jenis aktivitas tersebut dalam beberapa derajat, dan  lainnya hanya mengeluarkan satu  jenis efek.
Hormon kortikosteroid dihasilkan dari kolesterol di korteks kelenjar adrenal yang terletak diatas ginjal. Reaksi pembentukannya dikatalisis oleh enzim golongan sitokrom P450.
Dalam bidang farmasi, obat-obatan disintesis sehingga memiliki efek seperti hormon kortikosteroid alami memiliki manfaat yang cukup penting. Deksametason dan turunannya tergolong glukokortikoid, sedangkan prednisone dan turunannya memiliki kerja mineralokotikoid.
Obat-obat golongan kortikosteroid seperti prednisone, dexamethason dan hidrokortison memiliki potensi efek terapi yang cukup ampuh dalam pengobatan berbagai penyakit seperti asma, lupus, rheumatoid arthritis dan berbagai kasus inflamasi lainnya. Tapi kortikosteroid juga memiliki berbagai efek samping yang tidak menyenangkan.2

2.Mekanisme Kerja3
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif. Hanya jaringan target hormon ini bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel dan membentuk kompleks reseptor steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini yang akan menghasilkan efek fisiologik steroid.
Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon steroid merangsang transkripsi dan sintesis protein spesifik; pada jaringan lain, misalnya sel limfoid dan fibroblast hormon steroid merangsang sintesis protein yang sifatnya menghambat atau toksik terhadap sel-sel limfoid, hal ini menimbulkan efek katabolik.

3.Efek Kortikosteroid3,4
Kortisol dan analog sintetiknya dapat mencegah atau menekan timbulnya gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik atau alergen. Gejala ini umumnya berupa kemerahan, rasa sakit dan panas, pembengkakan di tempat radang. Secara mikroskopik obat ini menghambat fenomena inflamasi dini yaitu edema, deposit fibrin, dilatasi perifer, migrasi leukosit ke tempat radang dan aktivitas fagositosis. Selain itu juga dapat menghambat manifestasi inflamasi yang telah lanjut yaitu proliferasi kapiler dan fibroblast, pengumpulan kolagen dan pembentukan sikatriks.
Penggunaan klinik kortikosteroid sebagai antiinflamasi merupakan terapi paliatif, yaitu hanya gejalanya yang dihambat sedangkan penyebab penyakit tetap ada. Sebebarnya hal inilah yang menyebabkan obat ini banyak digunakan untuk berbagai penyakit, bahkan sering disebut life saving drug, tetapi hal ini juga yang menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan. Karena gejala inflamasi ini sering digunakan sebagai dasar evaluasi terapi inflamasi, maka pada penggunaan glukokortikoid kadang-kadang terjadi masking effect, dari luar penyakit nampaknya sudah sembuh tetapi infeksi di dalam masih terus menjalar.
Konsep terbaru memperkirakan bahwa efek imunosupresan dan antiinflamasi yang selama ini dianggap sebagai efek farmakologi kortikosteroid sesungguhnya secara fisiologis pun merupakan mekanisme protektif. Banyak mediator reaksi imun yang terkait dengan reaksi inflamasi sesungguhnya akan menyebabkan kolapsnya sistem kardiovaskuler bila tidak ada kortikosteroid yang melawannya. Hipotesis ini ditunjang oleh tingginya produksi kortikosteroid dalam keadaan stress yaitu bisa sampai 10 kali lipat. Juga ternyata semua efek farmakologi didapat melalui mekanisme kerja di reseptor yang sama dengan yang terjadi secara fisiologis.
Kortikosteroid dapat mempengaruhi sel-sel melalui reseptor-respetor glukokortikoidnya dengan mekanisme kerja sebagai berikut : kortikosteroid berdifusi ke dalam sel melewati membran sel dan selanjutnya berikatan dengan reseptor. Kompleks kortikosteroid-reseptor masuk ke dalam nukleus dalam bentuk aktif, dan akan mengikat DNA serta meningkatkan sintesis messenger RNA (mRNA). Messenger RNA ini akan menimbulkan sintesis protein yang baru. Protein baru ini akan menghambat fungsi sel-sel limfoid dengan penghambatan uptake glukosa.
Pengaruh kortikosteroid yang terpenting pada manusia adalah penghambatan akumulasi makrofag dan netrofil di tempat radang. Selain itu kortikosteroid juga menyebabkan berkurangnya aktivitas makrofag, baik yang beredar dalam darah (monosit) maupun yang terfiksir dalam jaringan (sel Kupffer). Pengaruh tersebut diperkirakan akibat penghambatan kerja faktor-faktor limfokin yang dilepaskan oleh sel-T sensitif pada makrofag. Penghambatan akumulasi netrofil di tempat radang adalah akibat kerja kortikosteroid mengurangi daya lekat netrofil pada dinding endotel pembuluh darah, bukan akibat penghambatan kemotaksis yang hanya dapat dihambat oleh kortikosteroid pada kadar suprafarmakologik.

4.Indikasi3
Dari pengalaman klinis dapat diajukan minimal 6 prinsip terapi yang perlu diperhatikan sebelum obat ini digunakan :
a.Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan trial and error, dan harus dievaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan penyakit.
b.Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya.
c.Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya kontraindikasi spesifik, tidak membahayakan kecuali dengan dosis sangat besar.
d.Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih hingga dosis melebihi dosis substitusi, insiden efek samping dan efek letal potensial akan bertambah; dosis ekivalen hidrokortisol 100 mg/hari lebih dari 2 minggu hampir selalu menimbulkan iatrogenic chusing syndrome. Bila terpaksa pasien harus juga diberi diet tinggi protein dan kalium.
e.Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan merupakan terapi kasual ataupun kuratif tetapi hanya bersifat paliatif karena efek anti-inflamasinya.
f.Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis yang besar, mempunyai resiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat mengancam jiwa pasien.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa bila kortikosteroid akan digunakan untuk jangaka panjang, harus diberikan dalam dosis minimal yang masih efektif. Dosis ini ditentukan secara trial and error.
Untuk keadaan yang tidak mengancam jiwa pasien, kortikosteroid dosis besar dapat diberikan untuk waktu yang singkat selama tidak ada kontraindikasi spesifik.

5.Penggunaan Klinis
Kortikosteroid merupakan obat yang sangat banyak dan luas dipakai dalam dunia kedokteran terutama golongan glukokortikoid. Glukokortikoid sintetik digunakan pada pengobatan nyeri sendi, arteritis temporal, dermatitis, reaksi alergi, asma, hepatitis, SLE, inflammatory bowel disease, serta sarcoidosis. Selain sediaan oral. Terdapat pula sediaan dalam bentuk obat luar untuk pengobatan kulit, mata, dan juga inflammatory bowel disease. Kortikosteroid juga digunakan sebagai terapi penunjang untuk mengobati mual, dikombinasikan dengan antagonis 5-HT3 (misalnya ondansentron).5
Baik kortikosteroid alami maupun sintetik digunakan untuk diagnosis dan pengobatan kelainan fungsi adrenal. Hormon ini juga sering digunakan dalam dosis yang lebih besar untuk pengobatan berbagai kelainan peradangan dan imunologi.6
Penggunaan glukokortikoid pada pengobatan gangguan fungsi adrenal biasanya dberikan pada keadaan insufisiensi atau hiperfungsi dari adrenokortikal. Keadaan insufisiensi adrenokortikal dapat berupa akut maupun kronis (penyakit Addison) yang ditandai dengan hiperpigmentasi, lemah, kelelahan, berat badan menurun, hipotensi, dan tidak ada kemampuan untuk memelihara kadar gula darah selama puasa. Untuk keadaan hiperfungsi adrenokortikal misalnya terjadi pada hiperplasia adrenal kongenital, chusing sindrome atau aldosteronisme.6
Kortisol dan analog sintetiknya berguna dalam pengobatan berbagai kelompok penyakit yang tidak berhubungan dengan kelainan fungsi adrenal. Kegunaan kortikosteroid pada kelainan ini merupakan kemampuannya untuk menekan respon peradangan dan respon imun. Pada keadaan yang respons peradangan atau respon imunnya penting untuk mengendalikan proses patologi, terapi dengan kortikosteroid mungkin berbahaya tetapi dibenarkan untuk mencegah timbulnya kerusakan yang tidak dapat diperbaiki akibat respon peradangan jika digunakan bersama dengan terapi spesifik untuk proses penyakitnya.2

6.Kontraindikasi
Sebenarnya sampai sekarang tidak ada kontraindikasi absolut kortikosteroid. Pemberian dosis tunggal besar bila diperlukan selalu dapat dibenarkan, keadaan yang mungkin dapat merupakan kontraindikasi relatif dapat dilupakan, terutama pada keadaan yang mengancam jiwa pasien. Bila obat akan diberikan untuk beberapa hari atau beberapa minggu, kontraindikasi relatif yaitu diabetes mellitus, tukak peptic/duodenum, infeksi berat, hipertensi atau gangguan sistem kardiovaskuler lain patut diperhatikan. Dalam hal yang terakhir ini dibutuhkan pertimbangan matang antara resiko dan keuntungan sebelum obat diberikan.

7.Efek Samping
Ada dua penyebab timbulnya efek samping pada penggunaan kortikosteroid. Efek samping dapat timbul karena penghentian pemberian secara tiba-tiba atau pemberian terus-menerus terutama dengan dosis besar.
Pemberian kortikosteroid jangka lama yang dihentikan tiba-tiba dapat menimbulkan insufisiensi adrenal akut dengan gejala demam, mialgia, artralgia, dan malaise. Insufisiensi terjadi akibat kurang berfungsinya kelenjar adrenal yang telah lama tidak memproduksi kortikosteroid endogen karena rendahnya mekanisme umpan balik oleh kortikosteroid eksogen.
Komplikasi yang timbul akibat pengobatan lama ialah gangguan cairan dan elektrolit, hiperglikemia dan glikosuria, mudah mendapat infeksi terutama tuberkulosis, pasien tukak peptik mungkin dapat mengalami perdarahan atau perforasi, osteoporosis, miopati yang karakteristik, psikosis, habitus pasien Chusing (antara lain moon face, buffalo hump, timbunan lemak supraklavikular, obesitas sentral, ekstremitas kurus, striae, ekimosis, akne, dan hirsutisme).
Efek samping lain yang cukup serius meliputi perkembangan ulkus peptikum dan komplikasinya. Gambaran klinik yang menyertai kelainan lain, terutama infeksi bakteri dan jamur, dapat diselubungi oleh kortikosteroid, dan penderita harus diawasi dengan teliti untuk menghindari kecelakaan serius bila digunakan dosis tinggi. Beberapa penderita mengalami miopati, yang sifatnya belum diketahui. Frekuensi terjadinya miopati lebih besar pada penderita yang diobati dengan triamnisolon. Penggunaan obat ini maupun metilprednisolon berhubungan dengan timbulnya mual, pusing dan penurunan berat badan pada beberapa penderita.7
Psikosis juga dapat terjadi, terutama pada penderita yang mendapat dosis besar kortikosteroid. Tetapi jangka lama dapat menimbulkan perkembangan katarak subkapsular posterior. Hal ini ditunjukkan dengan pemeriksaan slitlamp periodik pada penderita. Biasa terjadi peningkatan tekanan intraokular, dan mungkin saja bisa menyebabkan glaukoma. Juga terjadi hipertensi intrakranial jinak. Pada dosis 45 mg/m2/hari atau lebih, dapat terjadi retardasi pertumbuhan pada anak-anak.8,9
Jika diberikan dalam jumlah lebih besar dari jumlah fisiologi, steroid seperti kortison dan hidrokortison yang mempunyai efek mineralokortikoid selain efek glukokortikoid, dapat menyebabkan retensi natrium dan cairan serta hilangnya kalium. Pada penderita dengan fungsi kardiovaskuler dan ginjal normal, hal ini dapat menimbulkan alkalosis hipokloremik hipokalemik, dan akhirnya peningkatan tekanan darah. Pada penderita hiponatremia, penyakit ginjal, atau penyakit hati, dapat terjadi edema. Pada penderita penyakit jantung, tingkat retensi natrium yang sedikit saja dapat menyebabkan gagal jantung kongestif.9

8.Penanganan efek samping kortikosteroid.
Penanganan yang disarankan untuk saat ini pada penderita yang mendapatkan efek samping kortikosteroid adalah dengan melakukan penurunan konsumsi dosis kortikosteroid secara perlahan – lahan (tapering off). Jika timbul diabetes, diobati dengan diet dan insulin. Sering pendertita yang resisten dengan insulin, namun jarang berkembang menjadi ketoasidosis. Pada umumnya penderita yang diobati dengan kortikosteroid seharusnya diberi diet protein tinggi, dan peningkatan pemberian kalium serta rendah natrium seharusnya digunakan apabila diperlukan.9,10

9.Penghambat Kortikosteroid3
Telah ditemukan beberapa zat yang dapat menghambat sekresi kortikosteroid, antara lain metirapon dan aminoglutetimid. Ketokonazol, suatu antifungal, menghambat steroidogenesis karena menghambat enzim CYP17 (17 alfa hidroksilase), hal ini dapat berdampak interaksi obat. Ketokonazol belum diketahui manfaat kliniknya untuk menghambat produksi steroid. Mifepriston menghambat mekanisme umpan balik sehingga meningkatkan ACTH dan kortisol. Karena kemampuannya menghambat kerja kortikosteroid obat ini sedang diteliti kemungkinan kegunaannya untuk kasus hiperkortisisme. Saat ini digunakan hanya bila obat lain tidak berhasil.


B.PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA MATA
Kortikosteroid biasanya digunakan untuk mengobati bengkak dan gatal pada mata yang disebabkan karna alergi, trauma, atau infeksi. Inflamasi yang terjadi pada mata dapat diterapi dengan pengobatan topikal dengan injeksi lokal atau sistemik.11
1.Glukokortikoid
Steroid digunakan secara topikal untuk mencegah atau menekan proses inflamasi yang terjadi pada mata akibat trauma dan uveitis. Pada injeksi  subkonjungtiva dan injeksi retrobulbar, steroid digunakan untuk terapi kasus seperti ini yang tergolong berat akibat terjadi inflamasi pada mata. Terapi sistemik steroid digunakan untuk terapi penyakit sistem imun seperti inflamasi pada mata yang berat yang sudah resisten dengan terapi topikal. Metilprednisolon intravena menjadi pilihan pada terapi demielinisasi saraf optik yang terinfeksi dan trauma pada saraf optik.
Glukokortikoid menginduksi efek sel spesifik dalam limfosit, makrofag, polimorfonuklear leukosit, sel endotel vaskuler, fibroblast, dan sel-sel lainnya.

2.Farmakologi kortikosteroid topical9
Kortikosteroid topikal digunakan pada aksi anti inflamasi. Aspek dari proses inflamasi seperti hiperemia, infiltrasi seluler, vaskularisasi dan proliferasi fibroblastik ditekan. Steroid menghambat respons inflamasi untuk merangsang agen-agen mekanis, kimia atau imunologi alami. Kortikosteroid topikal efektif digunakan pada kondisi inflamasi akut pada konjungtiva, sklera, kornea, kelopak mata, iris, badan siliar, dan segmen anterior dari bola mata, dan dalam kondisi alergi bola mata.
Mekanisme dari aksi anti inflamasi dipirkan untuk menjadi potensi dari vasokonstriksi epinefrin, stabilisasi dari membran lisosom, retardasi pergerakan makrofag, pencegahan dari pelepasan kinin, inhibisi dari limfosit dan fungsi neutrofil, inhibisi dari sintesis prostaglandin dan pada penggunaan jangka panjang menurunkan produksi antibodi.
Hambatan proliferasi fibroblast dapat mencegah terjadinya formasi simblefaron pada trauma kimia dan trauma panas. Pengurangan scar (bekas luka dalam bentuk jaringan ikat) dengan kornea yang lebih jernih setelah pemberian kortikosteroid topikal adalah hasil dari inhibisi proliferasi fibroblast dan vaskularisasi.

3.Indikasi
Pada keadaan inflamasi : kondisi pengobatan  dengan menggunakan steroid – responsif inflamasi pada palpebra dan konjungtiva bulbar, kelopak mata, kornea, dan segmen anterior bolamata seperti : konjungtivitis alergi, keratitis superficial nonspesifik, keratitis superficial punctata, keratitis herpes zoster, iritis, siklitis, konjungtivitis akibat infeksi bakteri ketika penggunaan steroid dengan resiko yang tidak bisa dipisahkan diterima untuk mengurangi terjadinya edema dan inflamasi. Rimexolone juga diindikasikan jika terjadi inflamasi post operasi yang mengikuti pada operasi bola mata.
Cedera kornea : juga digunakan pada cedera kornea akibat bahan kimia, radiasi atau trauma panas atau trauma benda asing.
Reaksi penolakan transplantasi : dapat digunakan untuk menekan reaksi penolakan transplantasi setelah keratopati.

4.Kontraindikasi
Keratitis herpes simpleks superficial akut; penyakit yang disebabkan oleh jamur pada struktur bola mata; vaksinasi, varisela dan banyak lagi penyakit yang disebabkan oleh virus pada kornea dan konjungtiva, infeksi mikobakterium pada mata (contoh tuberculosis mata), penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme, hipersensitivitas, setelah pemindahan yang tidak utuh pada badan asing superficial kornea.
Medrysone tidak digunakan pada iritis dan uveitis; hasilnya belum di uji coba.

5.Peringatan
Jika seseorang dengan glaukoma, operasi katarak, infeksi mata, dan alergi pada mata perlu diperhatikan lebih teliti lagi. Pengobatan dengan kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk digunakan jika pada pasien terdapat infeksi pada mata yang disebabkan oleh virus (misalnya herpes simpleks), infeksi mata yang disebabkan oleh jamur, pengeluaran benda asing yang belum terlalu lama dilakukan. Obat ini dapat menyebabkan penglihatan kabur setelah terapi.
Inflamasi yang sedang sampai berat : menggunakan dosis tinggi untuk inflamasi yang sedang sampai berat. Pada kasus-kasus yang sulit dari penyakit segmen anterior pada mata, terapi sistemik dapat diperlukan. Ketika struktur bola mata yang lebih dalam lagi dilibatkan, menggunakan terapi sistemik.
Kerusakan bola mata : penggunaan kortikosteroid jangka panjang dapat menyebabkan terjadinya glaukoma, peningkatan tekanan intra okular, kerusakan saraf optik, defek pada ketajaman penglihatan dan lapangan pandang, katarak subkapsular posterior, atau infeksi mata sekunder dari pelepasan benda-benda patogen dari jaringan ikat pada mata. Periksa  tekanan bola mata dan lensa terus-menerus. Pada penyakit yang menyebabkan pengenceran dari sklera atau kornea, dapat terjadi perforasi dengan pengobatan steroid topikal.
Infeksi : akut, purulen, infeksi mata yang tidak diobati dapat disembunyikan atau aktivitasnya ditingkatkan oleh steroid. Infeksi jamur pada kornea dapat disembuhkan dengan aplikasi pengobatan steroid jangka panjang.

6.Efek Samping9,10,11
Kortikosteroid bisa menyebabkan terjadinya glaukoma. Pada glaukoma terjadi peningkatan tekanan intra okuler (TIO) dengan kerusakan saraf optik. Kortikosteroid juga bisa menyebabkan terjadi kehilangan tajam penglihatan (visus) dan tajam penglihatan, katarak subkapsular posterior, termasuk herpes simpleks dari jaringan mata, adanya perforasi dari bola mata, eksaserbasi infeksi mata akibat virus dan jamur, rasa nyeri yang sementara akibat dari trauma, penglihatan yang kabur, rasa tidak nyaman dan perih pada mata, adanya benda asing pada mata, hiperemia, dan pruritus.
Reaksi merugikan lain yang bisa terjadi pada mata akibat pemberian kortikosteroid yakni pada <1% pasien mengalami rasa lengket pada mata, peningkatan fibrin, mata kering, edema konjungtiva, kornea menjadi kotor, keratitis, fotofobia, iritasi, ulserasi kornea, edema kornea, infiltrat, erosi kornea.
Macam-macam reaksi yang lain yakni nyeri kepala, hipertensi yang sangat mengganggu atau bisa menjadi lebih buruk, rhinitis, faringitis, dan gangguan rasa.
Secara garis besar, kortikosteroid (glukokortikoid) dapat menyebabkan efek yang merugikan  pada mata. Efek samping dan komplikasi yang bisa terjadi antara lain :
a.Glaukoma
b.Katarak posterior sub kapsular
c.Eksaserbasi bakteri dan virus (khususnya herpes) melalui mekanisme penekanan atau perlindungan sistem imun
d.Ptosis
e.Midriasis
f.Atrofi kulit pada kelopak mata
Steroid menginduksi peningkatan tekanan intra okular dapat terjadi pada pemberian topikal, periokular, nasal dan terapi sistemik glukokortikoid. Perbedaan respons tiap individu : pada beberapa individu bisa terdapat peningkatan TIO hingga 4% - diatas 31 mmHg setelah 6 minggu terapi dengan topical kortikosteroid (dexamethasone). Mekanisme dari steroid yang menurunkan fasilitas akuos humor melalui trabecular meshwork belum bisa dipastikan dengan jelas.
Respons individual dari steroid sangat tinggi tergantung dari durasi, kekuatan, dan frekuensi dari terapi dan potensi dari agen yang digunakan. Steroid – menginduksi peningkatan TIO hampir tidak pernah terjadi pada kurang dari 5 hari dan bahkan kurang dari 2 minggu.

BAB  III
PENUTUP

Kortikosteriod adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan dibagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis atau atas angiotensin II.
Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok besar berdasarkan atas aktivitas biologis yang menonjol darinya, yakni glukokortikoid (mengendalikan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, juga bersifat anti inflamasi). Kelompok lain yaitu mineralokortikoid (mengatur kadar elektrolit dan air).
Efek kortikosteroid secara umum yaitu kortisol dan analog sintetiknya dapat mencegah atau menekan timbulnya gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik, atau alergen. Penggunaan klinik kortikosteroid sebagai anti inflamasi merupakan terapi paliatif, yaitu hanya gejalanya yang dihambat sedangkan penyebab penyakit tetap ada.
Pengaruh kortikosteroid yang terpenting pada manusia adalah penghambatan akumulasi makrofag dan netrofil di tempat radang juga menyebabkan berkurangnya aktivitas makrofag. Akibatnya terjadi penghambatan kerja faktor-faktor limfokin yang dilepaskan oleh sel-T sensitif pada makrofag.
Pada mata, kortikosteroid biasanya digunakan untuk mengobati bengkak dan gatal pada mata yang disebabkan karena alergi, trauma, atau infeksi.
Kontraindikasi penggunaan kortikosteroid pada mata, yaitu pada pasien dengan keratitis herpes simpleks superfisial akut, penyakit yang disebabkan oleh jamur pada struktur bola mata, vaksinasi, varisela dan banyak lagi penyakit yang disebabkan oleh virus pada kornea dan konjungtiva, infeksi mikobakterium pada mata, penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme, hipersensitivitas, setelah pemindahan yang tidak utuh pada badan asing superficial kornea.
Secara khusus, efek samping penggunaan kortikosteroid pada mata paling sering terjadi pada pemberian dalam jangka waktu lama yaitu glaukoma dan katarak. Pada glaukoma, terjadi peningkatan tekanan intra okuler yang disertai dengan kerusakan saraf optik. Jenis glaukoma yang biasa terjadi yaitu glaukoma sudut terbuka. Secara teori, kortikosteroid menginduksi protein (miosilin) yang berada di daerah trabekulum sehingga menyebabkan terjadinya edema di daerah tersebut. Edema tersebut yang menginduksi terjadinya glaukoma sudut terbuka.
Efek samping yang lain yaitu kortikosteroid bisa menyebabkan terjadinya katarak. Jenis katarak yang bisa terjadi yaitu katarak posterior sub kapsular. Biasanya pada penggunaan kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama bisa menyebabkan katarak posterior sub kapsular. Patofisiologi terjadinya katarak akibat pemberian kortikosteroid dalam jangka waktu lama belum bisa dipastikan dengan jelas. Namun yang pasti jenis kortikosteroid yang bisa menyebabkan terjadinya katarak yaitu jenis glukokortikoid. Ini semua berhubungan dengan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, dan berhubungan dengan anti inflamasi dengan cara menghambat pelepasan  fosfolipid.











tahu gak sih?
waktu gw baca refarat ini sama supervisor, gw disuruh jawab pake bahasa Inggris.. alasannya karena kebanyakan daftar pustaka gw pake textbook *yaiyalah, orang gw dikasi sama residen textbook sama jurnal smua..*
tapi Puji Tuhan bisa selesai dengan baik.

so, buat temantemin semua, khususnya temantemin yg kuliahnya di bidang ilmu kedokteran, semoga ini bisa membantu ya :)


Ini dia nih, temen2 koass seperjuangan dari mata, THT, sampai bedah.
terima kasih temantemin

:)

Comments

Popular posts from this blog

Dilatasi dan Kuretase

Indikasi             Prosedur dilatasi dan kuretase biasanya dilakukan atas indikasi : diagnosis dan terapi perdarahan uterus abnormal, abortus, kanker pada uterus. Teknik Dilatasi Serviks Dilatasi serviks dapat dilakukan dalam anestesi umum, spinal, epidural atau paraservikal, tergantung dari indikasi tindakan. Dilatasi biasanya dilakukan sebelum kuretase tapi juga bisa sebagai tindakan terapeutik pada stenosis servikalis. ·          Pasien dalam posisi litotomi, perineum, vagina dilakukan a dan antisepsis. Pasien dianjurkan untuk berkemih sebelum tindakan, kateterisasi dilakukan bila dicurigai masih terdapat residu urin yang signifikan. ·          Pemeriksaan dalam perlu dilakukan sebelum melakukan dilatasi serviks, menentukan ukuran dan posisi seviks, uterus dan adneksa.   ·          Dipasang spekulum atas dan bawah, serviks ditampakkan. Bibir anterior serviks dijepit dengan tenakulum. ·          Dilakukan inspeksi dengan teliti terhadap serviks dan vagina ·          Terdapat d

Uji Maddox - ROD

Tujuan Tes digunakan untuk mengukur heteroforia atau tropia kecil Dasar Kedua mata melihat dengan fovea Disosiasi terjadi bila dipakai Maddox rod pada mata Alat Kamar yang gelap Filter Maddox rod(terdiri sejumlah silinder plano konveks paralel dengan jarak fokus pendek). Teknik Jarak pemeriksaan dapat jauh ataupun dekat. Kedua mata diberi kacamata koreksi. Maddox rod dipasang pada satu mata (dipakai Maddox merah) biasanya mata kanan. Dengan kedua mata terbuka pasien diminta berfiksasi pada lampu. Pasien diminta menerangkan letak garis (dilihat melalui Maddox rod) bandingkan dengan letak lampu. Bila garis Maddox rod dipasang vertikal maka garis cahaya melalui Maddox rod berupa garis horizontal. Bila garis Maddox rod dipasang horizontal maka garis cahaya melalui Maddox rod berupa garis vertikal. Bila dipasang untuk menyatukannya maka dapat ditentukan berat foria atau tropia. Nilai Bila sinar vertikal M

Morbus Hansen - Kusta

PENDAHULUAN Kusta merupakan salah satu penyakit yang sudah ada sejak dulu. Kata kusta berasal dari bahasa India kusta, dikenal sejak 1400 tahun SM. Kata lepra disebjut dalam kitab Injil, terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnhya mencakup beberapa penyakit lainnya. Ternyata bahwa pelbagai deskripsi mengenai penyakit ini sangat kabur apabila dibandingkan dengan kusta yang dikenal saat ini. Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya adalah Mycobacterium leprae. Bakteri ini bersifat intraseluler obligat, dengan saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke orga lain kecuali susunan saraf pusat. Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan sangat ditakuti oleh karena dapat terjadi ulserasi, mutilasi, dan deformitas. Oleh sebab itu penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga dikucilkan masyarakat disekitarnya akibat cacat pada wajah dan anggota tubuh. Insid