PENDAHULUAN
Kelainan mata yang diakibatkan oleh infeksi virus herpes simpleks meliputi blefaritis, konjungtivitis, keratitis, uveitis, dan glaukoma sekunder. Keratitis herpes simpleks merupakan radang kornea yang disebabkan oleh infeksi virus Herpes simpleks tipe 1 maupun tipe 2. Di negara-negara barat 90% dari populasi orang dewasa dilaporkan memiliki antibodi terhadap herpes simpleks(1). Namun demikian, hanya kurang dari 1% yang menimbulkan kelainan pada mata(2). Sebagian besar bersifat sub klinis dan tidak terdiagnosis. Frekuensi keratitis herpes simpleks di AmerikaSerikat Sebesar 5% di antara seluruh kasus kelainan mata(3). Di Negara- negara berkembang insidensi keratitis herpes simpleks berkisar antara 5,9-20,7 per 100.000 orang tiap tahun (Cit. 4). Di Tanzania 35-60% ulkus kornea disebabkan oleh keratitis herpes simpleks(5).
Keratitis herpes simpleks dapat merupakan infeksi primer dan'bentuk kambuhan. Kelainan akibat infeksi primer biasanya bersifat epitelial dan ringan. Gejala-gejala klinis keratitis herpes simpleks kambuhan tergantung berat ringannya daerah yang terkena. Dibedakan atas bentuk lesi epitelial, ulserasi trophik, stromal, iridosiklitis, dan trabekulitis(6). Namun demikian secara umum gejalanya meliputi: mata merah, nrocos, penglihatan kabur, adanya infiltrat maupun defek kornea dan yang sangat spesifik adanya insensibilitas kornea.
Diagnosis keratitis herpes simpleks kadang-kadang sulit dibedakan dengan kelainan kornea yang lain. Dalam hat ini pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan untuk membedakan dengan keratitis lain, misalnya keratitis bakteri, jamur, dan trauma kimia. Pemeriksaan laboratorium yang sangat mendukung konfirmasi diagnosis adalah pemeriksaan cuplikan debridement kornea dengan immunofluorescent assay maupun DNA probes.
Pengobatan keratitis herpes simpleks makin marak semenjak ditemukannya idoksunidina pada tahun 1962, kemudian diikuti dengan penemuan vidarabina; namun ternyata kedua obat tersebut bersifat toksik terhadap sel kornea normal. Penemuan obat-
obat anti viral terus berkembang dengan ditemukannya asiklovir, gansiklovir, dan penggunaan interferon tetes mata. Beberapa permasalahan yang mungkin dijumpai dalam penanganan keratitis herpes simplek antara lain: kekambuhan yang berulang, resistensi antiviral, tingkat keparahan penyakit pada saat mendapat pelayanan kesehatan yang memadai, dan kemungkinan semakin meningkatnyajumlah kasus. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang pembuatan diagnosis maupun penatalaksanaan keratitis herpes simpleks serta pengalaman praktis dalam penggunaan antiviral. Diharapkan informasi ini akan menambah wawasan para klinisi dalam menangani keratitis herpes simpleks.
PATOGENESIS
Infeksi virus herpes simpleks (HSV) banyak terjadi pada manusia , hampir 100% dari mereka yang berusia lebih dari 60 tahun memiliki HSV dalam ganglia trigeminal mereka pada saat otopsi. Telah diperkirakan bahwa sepertiga dari populasi dunia menderita infeksi rekuren. Oleh karena itu, infeksi HSV mewakili permasalahan kesehatan umum yang luas dan terjadi di seluruh dunia.
HSV tipe 1(HSV-1) dan tipe 2 (HSV-2) secara antigenik berhubungan dan dapat menginfeksi silang saraf ganglia yang sama. HSV-1 lebih sering menyebabkan infeksi di atas pinggang (infeksi orofasial dan okular), dan HSV-2 di bawah pinggang (infeksi genital), namun kedua virus dapat menyebabkan penyakit pada lokasi manapun. Dalam masyarakat industrialisasi, 40 – 80% dari dewasa memiliki antibodi serum terhadap HSV-1, yang mewakili penurunan dalam infeksi dari dekade sebelumnya, dan usia dari konversi serologis meningkat.
HSV saat ini lebih sering terjadi pada masa remaja daripada masa anak – anak. Infeksi HSV disebarkan oleh kontak langsung dengan lesi yang terinfeksi atau sekresinya namun paling sering terjadi sebagai hasil dari pajanan terhadap virus yang dilepaskan secara asimtomatis. HSV dapat ditransmisikan ke neonatus saat mereka melewati jalan lahir dari seorang ibu dengan infeksi genital, dan pada bayi baru lahir, dapat menyebabkan penyakit terbatas pada kulit dan membran mukosa maupun infeksi sistemik meliputi ensefalitis. Pediatric Ophthalmology and Strabismus, membahas infeksi herpes neonatal secara lebih rinci.
Infeksi HSV-1 primer dalam manusia paling sering terjadi pada kulit dan permukaan mukosa yang diinercasi oleh saraf kranialis V (saraf trigeminal). Infeksi primer sering bermanifestasi sebagai infeksi saluran pernafasan atas non spesifik dan dikenali sebagai HSV kurang dari 5% dari waktu.
HSV dapat menyebar melalui kulit dan epitel mukosal yang terinfeksi melalui akson saraf sensorius untuk menghasilkan infeksi laten dalam ganglia saraf sensorius yang berhubungan, termasuk ganglion trigeminal. Infeksi laten dari ganglion trigeminal terjadi dalam keadaan tidak adanya infeksi primer yang dikenali, dan reaktivasi dari virus dapat mengikuti dalam salah satu dari 3 cabang CN V, selain penyakit primer pada daerah inervasi dari satu cabang khusus. Sekitar 0,15% dari populasi Amerika Serikat memiliki riwayat untuk infeksi HSV okular eksternal, dan dari mereka sekitar seperlima mengalami keratitis stromal, gambaran infeksi yang membutakan yang paling sering.
GEJALA KLINIS
Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat primer dan kambuhan. lnfeksi primer ditandai oleh adanya demam, malaise, limfadenopati preaurikuler, konjungtivitis folikutans, bleparitis, dan 2/3 kasus terjadi keratitis epitelial. Kira-kira 94-99% kasus bersifat unilateral, walaupun pada 40% atau lebih dapat terjadi bilateral khususnya pada pasien-pasien atopik.
Infeksi primer dapat terjadi pada setiap umur, tetapi biasanya antara umur 6 bulan-5 tahun atau 16-25 tahun.
Keratitis herpes simpleks didominir oleh kelompok laki-laki pada umur 40 tahun ke atas. Gejala-gejala subyektif keratitis epitelial meliputi: nrocos, fotofobia, injeksi perikornea, dan penglihatan kabur. Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi epitel, berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus diwaspadai terhadap keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea, misalnya pada: herpes zoster oftalmikus,keratitis akibat pemaparan dan mata kering, pengguna lensa kontak, keratopati bulosa, dan keratitis kronik. Gejala spesifik pada keratitis herpes simpleks ringan adalah tidak adanya fotofobia. Infeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu pasca infeksi primer(7).
Dengan mekanisnie yang tidak jelas, virus menjadi inaktif dalam neuron sensorik atau ganglion otonom(8). Dalam hal ini ganglion servikalis superior, ganglion n. trigeminus, dan ganglion siliaris berperan sebagai penyimpan virus(9). Namun akhir-akhir ini dibuktikan bahwa jaringan kornea sendiri berperan sebagai tempat berlindung virus herpes simpleks(4).
Beberapa kondisi yang berperan terjadinya infeksi kambuhan antara lain: demam, infeksi saluran nafas bagian atas, stres emosional,pemaparan sinar matahari atau angin, haid, renjatan anafilaksis, dan kondisi. Kremer,dkk. (1991) melaporkan pada 1,16% pasien pasca cangkok ginjal yang disertai penggunaan imunosupresan dalam kurun waktu 4 minggu ternyata timbul keratitis herpes simp1eks(10). Jumlah kasus keratitis herpes mungkin semakin meningkat sehubungan dengan bertambahnya kasus penderita AIDS di masa mendatang. Walaupun diobati, kira-kira 25% pasien akan kambuh pada tahun pertama, dan meningkat menjadi 33% pada tahun kedua(11). Peneliti lain bahkan melaporkan angka yang lebih besar yaitu 4657% keratitis herpes simpleks kambuh dalam kurun waktu 4 bulan setelah infeksi primer(1). Penelitian di Yogyakarta mendapatkan angka kekambuhan hanya 11,5% dalam kurun waktu 6 bulan pengamatan setelah penyembuhan(12).
Perbedaan angka-angka tersebut dimungkinkan oleh perbedaan cara pengobatan. Terjadinya kekambuhan lebih sering terjadi pada pasien dengan HLA-B5(13). Hasil penelitian di Tanzania melaporkan adanya peningkatan jumlah kasus keratitis herpes simpleks, yang Sebagian besar diderita oleh kelompok umur balita(5). Di Tanzania kejadian keratitis herpes simpleks dihubungkan dengan terjadinya wabah malaria. Keratitis herpes simpleks kambuhan atau lazim disebut keratitis herpes simpleks dibedakan atas bentuk superfisial, profunda, dan bersamaan dengan uveitis atau kerato uveitis. Keratitis superfisial dapat berupa pungtata, dendritik, dan geografik. Keratitis dendritika merupakan proses kelanjutan dari keratitis pungtata yang diakibatkan oleh perbanyakan virus dan menyebar sambil menimbulkañ kematian sel serta membentuk defek dengan gambaran bercabang. Keratitis dendritika dapat berkembang menjadi keratitis geografika, hat ini terjadi akibat bentukan ulkus bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi ovoid. Dengan demikian gambaran ulkus menjadi seperti peta geografi dengan kaki cabang mengelilingi ulkus.
Keratitis herpes simpleks bentuk dendrit harus dibedakan dengan keratitis herpes zoster, pada herpes zoster bukan suatu ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel yang
dikelilingi mucus plaques; selain itu, bentuk dendriform lebih kecil(14). Tooma dkk. melaporkan 29 kasus keratitis bentuk dendrit, setelah dilakukan konfirmasi ternyata yang benar-benar keratitis herpes simpleks hanya 17, 7 kasus merupakan herpes zoster, 2 kasus lainnya berhubungan dengan penggunaan lensa kontak, dan sisanya merupakan defek epitelial akibat trauma (cit. 14). Tirosinemia juga sering menimbulkan lesi dendriform, tetapi biasanya bilateral dan terjadi pada anak-anak. Lesi semacam ini pernah pula dilaporkan sebagai akibat infeksi Acanthamoeba, trauma kimia, dan akibat toksisitas thiornerosal.
Keratitis epitelial dapat berkembang menjadi ulkus metaherpetik, dalam hal ini terjadi perobekan membrana basalis. Ulkus metaherpetik bersifat steril, deepitelisasi meluas sampai stroma.Ulkus ini berbentuk bulat atau lonjong dengan ukuran beberapa mm dan bersifat tunggal.
Pada kasus ini dapat dijumpai adanya edema stroma yang berat disertai lipatan membrana Descemet. Reaksi iritasi konjungtiva bersifat ringan akibat adanya hipestesia. Reflek lakrimasi berkurang, sehingga produksi tear film menjadi relatif tidak cukup. Ulkus metaherpetik dapat menetap dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan. Untuk penyembuhannya memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 minggu(15)
Terdapat dua bentuk keratitis stroma, yaitu keratitis disciform dan keratitis interstitial. Keratitis disciform dihipotesiskan sebagai reaksi hipersensitivitas tipe lambat, sedang keratitis interstitialis terjadi akibat reaksi hipersensitivitas imun komp1ek(6).Karakteristik keratitis disciform berupa edema stroma berbentuk lonjong atau gambaran meiingkar seperti cakram dengan ukuran diameter 57 mm, biasanya disertai infiltrat ringan. Edema dapat terbatas pada bagian depan stroma, tetapi dapat juga meluas ke seluruh tebal stroma. Keratic precipitates biasanya dijumpai menempel di endotel kornea belakang daerah edema. Keluhan penderita antara lain: penglihatan kabur, nrocos, rasa tidak enak, dan fotofobia terjadi bila disertai adanya iritis. Pada kasus yang ringan, tanpa disertai nekrosis dan neovaskularisasi penyembuhan dapat terjadi dalam beberapa bulan tanpa meninggalkan sikatriks. Pada kasus yang berat, penyembuhan memerlukan waktu sampai 1 tahun atau lebih, bahkan sering terjadi penyullt berupa penipisan kornea maupun perforasi. Keratitis disciform dapat pula terjadi akibat infeksi herpes zoster, varisela, campak, keratitis karena bahan kimia, dan trauma tumpul yang mengenai kornea. Pada keratitis disciform dapat diisolir virus herpes simpleks dan cairan akuos(16). Keratitis instertitialis memiliki bentuk bervariasi, lesi dapat tunggal maupun beberapa tempat. Gambaran klinisnya bahkan dapat mirip keratitis bakteri maupun jamur. Infiltrat tampak mengelilingi daerah stroma yang edema, dan dijumpai adanya neovaskularisasi. Kadang-kadang dijumpai adanya infiltrat marginal atau lebih dikenal sebagai Wessely ring, diduga sebagai infiltrat polimorfonuklear disertai reaksi antigen antibodi virus herpes simpleks(17). Beberapa penyulit keratitis stroma antara lain: kornea luluh, descemetocele, penipisan kornea, superinfeksi, dan perforasi. Terjadinya kornea luluh disebabkan oleh mekanisme aktif enzim kolagenase, nekrosis, replikasi virus, dan efek steroid. Enzim kolagenase dilepaskan oleh sd epitel rusak, sel polimorfonuklear, dan fibroblas selama reaksi radang.
KLASIFIKASI DIAGNOSIS
Hogan dkk. (1964) membuat kiasifikasi diagnosis keratitis
herpes simpleks sebagai berikut:
1. Superfisial, dibedakan atas bentuk dendritika, dendritika dan stroma, geografika.
2. Profunda, dibedakan atas stroma dan disciform, stroma dan penyembuhan, stroma dan ulserasi.
3. Uveitis, dibedakan atas kerato uveitis dan uveitis; dalam hal ini keratouveitisdibedakan atas bentukulserasi dan non ulserasi. Klasifikasi tersebut ternyata kurang sempurna, karena bentuk keratitis pungtata yang merupakan awal keratitis dendnitik tidak dimasukkan. Selain itu, pada beberapa kasus yang berat ternyata dijumpai glaukoma sekunder yang diakibatkan oleh radang jaringan trabekulum. Untuk membuat diagnosis, sekarang ini dianut kiasifikasi yang dibuat oleh Pavan-Langston (1983) sebagai berikut(6):
1. Ulserasi epitelial, dibedakan atas bentuk pungtata, dendritika, dendrogeografika,
geografika.
2. Ulserasi trophik atau meta herpetika.
3. Stroma, dibedakan atas bentuk keratitis disciform, keratitis interstitialis.
4. Uveitis anterior dan trabekulitis.
Klasifikasi menurut Pavan-Langston inipun belum semua, mengingat sangat jarang ditemukan kasus uveitis anterior maupun trabekulitis yang berdiri sendiri tanpa melibatkan adanya keratitis.
MANAJEMEN
Sebagian besar kasus keratitis epitelial HSV mereda secara spontan, dan tidak terdapat bukti yang menunjukkan bahwa bentuk dari terapi antiviral mempengaruhi perkembangan selanjutnya dari keratitis stromal atau penyakit epitelial rekuren. Namun, pengobatan mempersingkat rangkaian klinis dan dapat memungkinkan berkurangnya neuropati herpetik yang berhubungan.
Pembersihan penyekaan minimal dari keratitis epitelial HSV dengan aplikator berujung kapas kering atau spons selulosa mempercepat pemulihan. Terapi antiviral dapat digunakan secara terpisah atau dalam kombinasi dengan pembersihan epitelial. Solusio trifluridin 1% topikal 8 kali sehari bermanfaat baik untuk keratitis epitelial dendritik maupun geografik. Pengobatan dari keratitis epitelial HSV dengan antiviral topikal biasanya harus dihentikan dalam 10 – 14 hari untuk menghindari toksisitas yang tidak diinginkan pada permukaan okular.
Salap mata asiklovir 3% telah dilaporkan sama efektifnya dan kurang toksik dibandingkan trifluridin dan vidarabin untuk pengobatan dari keratitis epitelial, namun bentuk oftalmik tidak tersedia di Amerika Serikat. Asiklovir oral telah dilaporkan efektif sebagai antiviral topikal untuk pengobatan dari keratitis epitelial dan memiliki keuntungan dari tidak ada toksisitas okular. Valasiklovir, obat yang sama dengan asiklovir tampaknya sama efektifnya untuk penyakit okular, dapat menyebabkan purpura trombositopenik trombotik / sindroma uremia hemolitik dalam pasien imunokompromais yang sangat parah seperti mereka dengan AIDS; dengan demikian, ini harus digunakan dengan hati – hati bila status imunnya tidak diketahui. Kortikosteroid topikal merupakan kontraindikasi dalam keadaan adanya keratitis epitelial herpetik aktif. Pasien dengan keratitis epitelial herpetik yang menggunakan kortikosteroid sistemik untuk indikasi lain harus diberi pengobatan secara agresif dengan terapi antiviral sistemik.
PEMILIHAN ANTIVIRAL
Antiviral yang efektif dan aman adalah jika mampu menghentikan replikasi virus, tanpa merusak sel-sel sehat. Obat-obat lama sepenti idoksuridina dan vidarabina memiliki toksisitas semacam dan khasiat sepadan guna menghentikan replikasi virus. Efek samping pemberian idoksuridina antara lain: keratitis pungtata, dermatitis kontakta, konjungtivitis folikularis, dan oklusi pungtum lakrimalis(19).
Efektivitas kedua obat tersebut untuk pengobatan keratitis dendritik sebesar 80%, sedang trifluridina mempunyai efektivitas 97% dengan waktu penyembuhan 2 minggu. Tingkat kepatuhan pasien pengguna trifluridina mana lebih baik dibanding kedua obat antivinal tendahulu, karena
lebih mudah larut dalam air(20). Pada 3-5% kasus ternyata dalam 1 minggu tidak ada perbaikan dengan tnifluridin, dalam hal ini diperlukan debridement. Resistensi terhadap trifleridin sangat jarang, dan bila dijumpai ternyata tidak dijumpai resistensi silang terhadap idoksunidina maupun vidarabina. Hasil penelitian tentang daya guna asiklovir dengan idoksuridina pertama kali dilaporkan oleh Collum dkk. (1980), didapatkan hasil berupa lama penyembuhan keratitis dendritik rata-rata 4,4 hari dan secara bermakna lebih pendek dibandingkan kelompok idoksuridina. Untuk kasus-kasus keratitis geografik
memerlukan waktu penyembuhan rata-rata 5,6 hari(19). Keratitis stroma memiliki hasil kurang baik bila diobati dengan idoksuridina maupun asiklovin. Penggunaan kombinasi
antara asiklovir dengan steroid topikal dapat meningkatkan waktu penyembuhan. Steroid topikal dapat membantu menekan reaksi nadang, dan menghambat vaskularisasi(21)
Pornier dkk. (1982) membuktikan bahwa asiklorin topikal menghasilkan daya penetrasi terbaik dibandingkan vidarabina maupun trifluridina(16). Pada pasien-pasien keratitis stroma yang mendapat pengobatan kombinasi asiklovir salep mata dan betametason
0,01% ternyata sembuh komplit memerlukan waktu rata-rata 19,4 hari(22). Porter dkk. (1990) membandingkan pengobatan asiklovir secara topikal dan oral pada kasus-kasus keratitis disciform. Masing-masing kelompok menggunakan tambahan prednisolon
0,05% tetes mata 5 kali sehari. Hasil penelitian rnenunjukkan hilangnya lakrimasi dan perbaikan visus lebih cepat pada kelompok pemberian oral, sedang waktu penyembuhan tidak berbeda dan memerlukan waktu rata-rata 25,6 hari. Selain itu tidak dijumpai perbedaan angka kekambuhan pada pengamatan sampai 3 tahun pasca penyembuhan(23).
Berdasarkan hasil uji laboratonik sensitivitas, beberapa antiviral terhadap virus herpes simpleks mengalami penurunan, tetapi untuk asiklovir maupun gansiklovir tidak sampai 10%; sedang untuk foscarnet, vidarabina, dan idoksuridina didapatkan penurunan sensitivitas jauh lebih banyak(25). Gansiklovir dan karbosiklik oksetanosin G merupakan
calon obat antiviral yang potensial, karena terbukti lebih baik dibandingkan asiklovir pada percobaan binatang(26). Interferon tetes mata sebagai terapi tunggal pada keratitis dendritik kurang bermanfaat, tetapi akan lebih efektif bila dikombinasi dengan antiviral selain vidarabina(20). Mekanisme dasar interferon sebagai terapi adalah membuat sel-sel sehat menjadi resisten terhadap virus, dan memblok penyebaran virus(27). Pada keratitis stroma pemberian kombinasi steroid dan interferon memberikan hasil yang baik pada percobaan binatang(26). Kombinasi antiviral dan interferon diharapkan dapat mengatasi resistensi virus herpes simpleks di masa mendatang.
Tabel 1 Agen Antiviral pada Infeksi Eksternal/Korneal oleh Virus Herpes Simpleks | |||
Agen | Mekanisme Kerja | Pemberian | Dosis untuk Penyakit Akut |
Vidarabin Trifluridin Asiklovir Famsiklovir4 Valasiklovir4 Pensiklovir | Analog purin Menghambat polimerase DNA Analog pirimidin Menghambat sintesis DNA Diaktivasi oleh HSV timidin kinase untuk menghambat polimerase DNA viral Obat yang serupa dengan pensiklovir L-valil ester dari asiklovir Menghambat polimerase DNA viral | Salap mata 3%1 Solusio mata 1% Salap mata 3%2 200, 400, 800 mg; Suspensi 200 mg/5 mL Salap kulit 5%3 125, 250, 500 mg 500, 1000 mg Krim kulit 1%3 | 5x/hari selama 10 hari 8x/hari selama 10 hari 5x/hari selama 10 hari 400 mg 5x/hari selama 10 hari 6x/hari selama 7 hari 250 mg 3x/hari selama 10 hari 1000 mg 2x/hari selama 10 hari 8x/hari selama 4 hari |
Tabel 2. Studi HEDS | ||||
Pertanyaan | Desain studi | Temuan | Komentar | |
Apakah steroid topikal menyembuhkan keratitis stromal? | 106 pasien dengan keratitis stromal diacak untuk steroid topikal atau plasebo selama 10 minggu. Pengobatan dimulai dengan prednisolon 1% 8x/hari dan diturunkan menjadi prednisolon 1/8% satu kali satu hari. Kedua kelompok menerima trifluridin topikal. | Ya. Steroid topikal secara signifikan menurunkan inflamasi stromal dan mempersingkat durasi keratitis. | Regimen steroid optimal tidak dievaluasi. Beberapa pasien berespon terhadap steroid yang lebih rendah dan beberapa dapat membutuhkan penurunan yang lebih singkat / lama. Menunda steroid untuk beberapa minggu dapat memiliki efek detrimental pada penglihatan. | |
Apakah asiklovir oral (tambahan pada pengobatan dengan trifluridin dan steroid) membantu dalam mengobati keratitis stromal? | 104 pasien dengan keratitis stromal diacak untuk asiklovir oral (400 mg 5x/hari) dibandingkan dengan plasebo untuk rangkaian 10 minggu. Kedua kelompok juga menerima prednisolon topikal dan trifluridin. | Tidak. Pengobatan dari keratitis stromal non nekrotikans dengan asiklovir oral tidak bermanfaat. | Pasien yang tidak mencukupi dengan keratitis stromal nekrotikans untuk mengkomentari efektivitas dari asiklovir. | |
Apakah asiklovir oral dosis pengobatan membantu untuk mengatasi iritis HSV? | 50 pasien dengan iritis diobati dengan asiklovir oral (400 mg 5x/hari) dibandingkan dengan plasebo selama rangkaian 10 minggu. | Terlalu sedikit pasien. Kecenderungan yang tidak signifikan secara statistik mengenai penggunaan asiklovir oral. | Banyak dokter memilih menggunakan asiklovir oral untuk pengobatan dari iridosiklitis HSV. | |
Apakah asiklovir oral mencegah pasien keratitis epitelial dari mengalami keratitis stromal dan iritis? | 287 pasien dengan keratitis epitelial menerima asiklovir oral 3 minggu (400 mg 5x/hari) dibandingkan plasebo; diikuti selama 12 bulan. | Tidak. Tidak ada perbedaan dalam perkembangan dari keratitis stromal atau iritis. | Prediktor terbaik untuk keratitis stromal adalah riwayat keratitis stromal sebelumnya. | |
Apakah profilaksis asiklovir meminimasilsasi rekurensi HSV? | 703 pasien dengan penyakit inaktif dan tanpa pengobatan diacak untuk asiklovir oral (400 mg 2x/hari) dibandingkan plasebo selama 12 bulan; diikuti selama 18 bulan. | Penyakit okular rekuren lebih sedikit (sekitar 50%) pada kelompok dengan profilaksis oral, khususnya pada mereka dengan keratitis stromal rekuren. | Profilaksis jangka panjang direkomendasikan untuk pasien dengan keratitis stromal HSV rekuren. | |
Apakah yang memicu rekurensi HSV? | 308 pasien diberikan beban mingguan untuk stres, infeksi sistemik, pajanan sinar matahari, menstruasi, penggunaan CL, dan cedera mata. | Tidak ada faktor yang dipastikan sebagai pemicu untuk rekurensi. |
Komplikasi
Komplikasi dari penyakit mata herpetik. Komplikasi mengenai seluruh lapisan dari kornea. Epiteliopati biasa terjadi bila pengobatan antiviral topikal diberikan berkepanjangan, dan keparahan serta durasinya secara langsung berhubungan dengan durasi dari penggunaan antiviral. Toksisitas antiviral topikal terjadi paling sering sebagai erosi epitelial korneal pungtata difus dengan injeksi konjungtival.
Keratopati neurotropik dapat terjadi pada pasien dengan sensasi korneal yang berkurang setelah infeksi herpetik sebelumnya. Erosi epitelial pungtata, kadang – kadang dengan pola vorteks dari pengecatan fluoresensi pungtata, garis regenerasi epitelal kronis, dan ulkus neurotropik yang rapuh menandai keratopati neurotropik. Ulkus ini dapat dibedakan dari keratitis epitelial herpetik melalui ketidak beradaan relatif dari pengecatan rose bengal.
Ulkus neurotropik biasanya bulat atau oval dan berlokasi pada kornea sentral atau inferior. Epitelium korneal pada tepi dari ulkus neurotropik dapat tampak bergulung pada dirinya sendiri dan biasanya memiliki penampakan peningkatan abu – abu. Penggunaan secara bebas dari tetes, gel, dan salap pelicin yang tidak diawetkan dikombinasikan dengan oklusi pungtal merupakan terapi yang utama. Untuk mencegah penipisan dan perforasi stromal progresif, tarsorafi diindikasikan untuk ulkus neurotropik yang gagal memberikan respon pada terapi konservatif.
Kadang – kadang, keratitis stromal interstisial yang pulih atau aktif yang disebabkan oleh HSV berhubungan dengan defek epitelial kronis yang tidak terwarnai dengan rose bengal. Ulkus yang disebut ulkus metaherpetik ini kemungkinan terjadi dari mekanisme neurotropik atau stroma korneal yang terdevitalisasi.
Keratitis disiformis yang parah atau berkepanjangan dapat terjadi dalam keratopati bulosa persisten. Inflamasi stromal secara umum, baik interstisial maupun nekrotisasi, biasanya menyebabkan pembentukan jaringan parut korneal yang permanen serta astigmatisma yang ireguler. Baik pembentukan jaringan parut maupun astigmatisma dapat membaik seiring dengan waktu dalam beberapa pasien.
Penyesuaian dengan lensa kontak yang permeabel terhadap gas biasanya memperbaiki ketajaman visual di luar yang dicapai dengan refraksi dengan kacamata. Dalam pasien dengan vaskularisasi stromal korneal dalam yang disebabkan oleh inflamasi herpetik nekrotisasi sebelumnya, keratopati lemak sekunder lebih jauh dapat mengganggu penglihatan. Kortikosteroid topikal dapat menghambat pertumbuhan pembuluh darah baru dan menghentikan deposisi lemak tambahan.
PENGOBATAN PEMBEDAHAN.
Keratoplasti yang penetratif (PK) diindikasikan pada pasien tertentu dengan pembentukan jaringan parut stromal dan astigmatisma yang signifikan secara visual yang tidak dapat dikoreksi dengan kacamata maupun lensa kontak. Terapi antiviral oral dapat memperbaiki daya tahan cangkok dengan mengurangi risiko rekurensi HSV dan memampukan lebih banyak penggunaan kortikosteroid topikal secara bebas. Antiviral oral kurang memiliki toksisitas epitelial dan oleh karena itu secara umum lebih dipilih untuk antiviral topikal pada pasien setelah keratoplasti penetratif.
Keratoplasti penetratif tektonik diindikasikan dalam perforasi korneal yang rapuh atau mengancam yang disebabkan oleh ulkus nekrotisasi atau neurotropik. Inflamasi stromal, ulserasi, dan kegagalan cangkok dapat terjadi dalam mata herpetik inflamasi yang mengalami keratoplasti penetratif tektonik. Oleh karena itu, desmetosel dan perforasi kecil dalam mata yang inflamasi mungkin paling baik diterapi dengan penggunaan perekat jaringan terapeutik dan lensa kontak perban, dengan PK yang ditunda hingga inflamasi dapat dikendalikan. Prognosis untuk keberhasilan optik mendekati 80% dalam mata tanpa tanda – tanda dari inflamasi aktif selama sedikitnya 6 bulan sebelum pembedahan
KESIMPULAN
Diagnosis keratitis herpes simpleks bentuk epitelial relatif mudah, tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium. Namun biasanya kasus yang dijumpai sudah dalam bentuk kambuhan, sehingga sering sudah terjadi super infeksi dan secara klinis tidak spesifik. Hal ini memberi konsekuensi yang sulit dalam penanganannya. Oleh karena itu, peningkatan kewaspadaan dalam diagnosis awal perlu ditingkatkan. Adanya kecenderungan resistensi laboratorik beberapa anti-viral tidak bisa dipungkiri, tetapi asiklovir maupun gansiklovir masih cukup memadai. Masalah yang lebih penting adalah
bagaimana mencegah kegagalan dalam penyembuhan keratitis herpes simpleks, terutama pada kasus-kasus yang sudah terlambat.
Comments
Post a Comment