Anatomi fungsional jalur sensorik somatik
Jalur sensorik antara kulit dan struktur-struktur yang lebih dalam dan korteks serebral mencakup tiga neuron dengan 2 sinaps sentral. Badan sel dari neuron sensorik pertama nervus spinal ganglion dorsalis. Setiap sel yang berlokasi di sana mengirim suatu proses periferal yang berakhir di ujung serabut saraf bebas atau reseptor sensorik tak berkapsul dan juga suatu proses sentral yang memasuki medula spinalis. Reseptor-reseptor sensoriknya relatif terspesialisasi untuk sensasi tertentu meliputi badan Meissner (kasar), badan Merkell , dan sel-sel rambut (sentuhan), Krause enbulbs (dingin) dan badan Ruffini (panas). Lokasi sinaps sentral pertama tergantung pada tipe sensasinya, akan tetapi ia terdapat baik pada bagian posterior kolumna abu-abu medula spinalis atau pada ekstensi kolumna pada batang otak. Sinaps keduanya terletak pada bagian anterior nukleus talamus anterolateral dimana terdapat radiasi sensorik ke korteks serebral. Di dalam medula spinalis , serabut-serabut saraf yang memediasi sentuhan, tekanan dan sensasi postural naik ke atas pada bagian posterior kolumna putih medula spinalis, dimana mereka akan bergabung di dalam nuklei gracille dan cuneata. Dari nuklei-nuklei ini, serabut sarafnya memotong midline dan pada lemnikus medial,serabut-serabut saraf ini berasendens menuju ke talamus. Serabut-serabut saraf lainnya yang memediasi sentuhan dan serabut yang bertanggunag jawab atas rasa nyeri dan pengaturan suhu tubuh bersinapsis pada neuron-neuron yang terletak di kornu posterior medula spinalis terutama dalam substansia gelatinosa. Serabut-serabut saraf dari neuron-neuron ini kemudian akan menyeberangi midline berasenden di bagian anterolateral medula spinalis; serabut-serabut yang memediasi sentuhan akan lewat di atas traktus spinotalamikus anterior, sedangkan serabut-serabut nyeri dan suhu biasanya berjalan di lateral traktus spinotalamikus. Serabut-serabut dari sistem anterolateral ini akan lewat di nukleus pusat talamus dan juga ke nuklei talamus nonspesifik dan formasi retikular mesensefal. Serabut-serabut dari sistem lemniskal dan sistem anterolateral kemudian akan bersatu di dalam batang otak dan mereka dihubungkan oleh serabut-serabut yang mengirimkan sensasi dari kepala. Nyeri sefalik dan dan sensasi suhu tergantung pada nukleus spinal N V, dimana untuk rasa sentuh, tekanan dan sensasi postural sebagian besar diatur oleh nuklei sensorik utama dan nuklei mesensefalik dari nervus ini.
Sejarah
Gangguan sensorik dapat terdiri dari kehilangan sensasi, sensasi abnormal atau rasa nyeri.
Istilah paraestesia digunakan untuk mengungkapkan sensasi spontan abnormal seperti rasa terbakar, nyeri seperti ditusuk atau rasa tertusuk-tusuk jarum atau pin. Kata disestesia digunakan untuk menunjukkan semua sensasi tidak menyenangkan yang dihasilkan oleh stimulus yang biaasanya tidak nyeri. Sedangkan yang disebut dengan numbness/ rasa kebas adalah suatu sensasi rasa berat, kelemahan atau mati rasa pada bagian badan yang terkena- dan terkadang digunakan sebagai indikator untuk mengenali suatu kerusakan sensorik yang harus segera diklarifikasi.
Untuk mendapatkan sejarah keluhan sensorik yang tepat, penting untuk mengetahui dimana lokasi gejala, mode onset dan progresifitas gejala, apakah gejalanya konstan atau episodik, ada tidaknya faktor-faktor yang secara spesifik menghasilkan, meningkatkan atau mengatasi gejala dan apakah ada gejala-gejala penyerta atau tidak.
Lokasi dari gejala akan memberikan petunjuk tentang darimana gejala itu berasal. Sebagai contoh, gangguan sensorik yang mengenai seluruh ekstremitas mengindikasikan adanya neuropati perifer, lesi-lesi medula servikal atau batang otak atau adanya suatu gangguan metabolik seperti sindroma hiperventilasi misalnya. Keterkaitan satu kesatuan ekstremitas atau satu sisi tubuh menunjukkan adanya lesi sentral pada otak atau medula spinalis. Lesi hemisfer atau batang otak akan menghasilkan gejala-gejala sensorik yang terlateralisasi, tapi wajah juga seringkali terkena. Selain itu bisa juga ditemukan tanda dan gejala lainnya seperti afasia, apraksia dan penyempitan lapangan pandang pada penyakit-penyakit yang menyerang hemisfer atau disartria, kelemahan, vertigo, diplopia, ketidakseimbangan dan ataksia pada penyakit-penyakit batang otak. keterlibatan suatu bagian ekstremitas atau suatu regio diskreta batang tubuh akan meningkatkan kecurigaan adanya lesi serabut saraf atau akarnya, tergantung pada distribusi gejalanya. Pada suatu lesi akar serabut saraf, gejala-gejalanya mungkin berhubungan dengan pergerakan leher atau kepala dan rasa nyeri seringkali samar.
Keluhan-keluhan tentang serangan sensorik yang dialami akan memberikan petunjuk tentang kausanya. Gejala-gejala transien yang intermiten atau repetitif mungkin merepresentasikan serangan jantung, fenomena iskemik atau gangguan-gangguan metabolik seperti gejala-gejala yang biasanya menyertai hiperventilasi. Gejala-gejala intermiten terlokalisasi yang terjadi pada suatu periode waktu yang konsisten dapat mengarah pada suatu diagnosa atau adanya suatu faktor presipitasi eksogen. Sebagai contoh, rasa nyeri dan paraestesia sindroma Carpal tunnel (kompresi saraf median pergelangan tangan) yang khas terjadi pada malam hari dan membuat pasien terbangun dari tidur mereka.
Pemeriksaan Sensorik
Dalam suatu investigasi keluhan sensorik, akan dilakukan berbagai macam tes modalitas dan distribusi abnormalitasnya dinilai dengan mengunakan referensi akar serabut saraf normal dan teritori nervus perifer yang normal. Kehilangan apresiasi terhadap sentuhan secara komplet disebut dengan anastesia, kehilangan parsial disebut hipestesia dan peningkatan sensitifitasnya disebut dengan hiperestesia. Istilah-istilah yang mengacu pada apresiasi terhadap nyeri adalah analgesia, hipalgesia dan hiperalgesia atau hiperpasia; alodinia adalah suatu kesalahan persepsi sensasi taktil trivial sebagai suatu rasa nyeri.
1. Modalitas Sensorik Primer
Sentuhan ringan
Apresiasi sentuhan ringan dievaluasi dengan menghapuskan kapas yang diarahkan ke bawah dengan hati-hati pada suatu regio yang kecil pada kulit. Pasien berbaring dengan tenang, mata tertutup dan memberikan isyarat setiap kali stimulusnya dapat dirasakan. Apresiasi sentuhan ringan ini tergantung pada serabut-serabut saraf yang melintang melewati kolumna posterior medula spinalis pada bagian ipsilateral fasikuli gracille (tungkai) dan cuneate (lengan), terus ke lemniskus medial batang otak dan juga pada serabut-serabut saraf anterior kontralateral traktus spinotalamikus.
Tes Pinprick (Tes Tusuk) Dan Temperatur
Apresiasi tusukan pin dites dengan cara meminta pasien untuk menunjukkan apakah ujung dari pin (bukan jarum hipodermal yang cenderung melukai kulit dan mengeluarkan darah) terasa tajam atau tumpul. Apresiasi terhadap tekanan atau sentuhan ujung pin jangan sampai disalah persepsikan dengan apresiasi ketajaman. Apresiasi suhu dievaluasi dengan aplikasi suatu kontainer air panas atau dingin pada kulit. Apresiasi pinprick dan suhu tergantung pada integritas traktus spinotalamikus lateral. Serabut-serabut aferennya melintas di depan kanalis sentralis setelah berasendens sebanyak 2-3 segmen dari level entrynya dalam medula spinalis.
Tekanan dalam
Sensibilitas tekanan dalam dievaluasi melalui tekanan yang diberikan terhadap tendon seperti tendon Acchiles pada engkel.
Getaran
Apresiasi getaran dievaluasi dengan menggunakan garpu tala (128 Hz) yang bergetar dan diletakkan di atas prominensia tulang; pasien diminta untuk menunjukkan apakah vibrasinya dirasakan ;ebih kuat dari hanya suatu tekanan simpleks. Banyak pasien-pasien sehat yang usianya lebih tua mengalami gangguan apresiasi vibrasi di bawah lutut.
Posisi Sendi
Sensasi posisi sendi dites dengan cara meminta pasien untuk menunjukkan arah gerakan pergerakan pasif yang kecil dari sendi interfalangs terminal jari tangan dan kaki. Pasien-pasien dengan gangguan sensasi posisi sendi yang berat dapat menunjukkan gerakan jari-jari yang lambat dan kontinu (pergerakan pseudotetoid) ketika berusaha untuk memegamg tangan yang direntangkan dengan mata tertutup. Dalam klinis, baik sensasi posisi sendi atau kemampuan merasakan getaran diduga tergantung pada serabut-serabut saraf yang melintas di kolumna posterior medula spinalis meski ada bukti yang menunjukkan hal ini tidak benar untuk vibrasi.
2. Fungsi Kompleks Sensorik
Tes Romberg
Pasien diminta untuk bertahan dalam posisi kedua tungkai satukan, lengan direntangkan dan mata tertutup kemudian diobservasi untuk kecenderungan bergerak atau jatuh. Tesnya positif (abnormal) apabila angka ketidakstabilanya jauh meningkat apabia matanya ditutup, seperti yang terjadi pada tabes dorsalis. Tes yang positif indikatif apabila terdapat gangguan sensasi posisi sendi pada tungkai.
Diskriminasi Dua Arah
Kemampuan untuk membedakan sentuhan pada dua titik yang bersebelahan tergantung pada integritas SSP dan susunan saraf perifer, derajat pemisahan kedua titik tadi dan bagian tubuh mana yang distimulasi. Pasien diminta untuk memperlihatkan apakah dia disentuh pada satu atau 2 titik yang berlainan, dimana jarak titik-titiknya bervariasi dengan tujuan untuk menunjukkan jarak terpendek yang dapat mereka identifikasi. Batas jarak tes ini sekitar 4 mm pada jari-jari dan mencapai beberapa cm pada punggung. Apabila fungsi sensorik perifernya intak, gangguan diskriminasi 2 arah ini menunjukkan adanya penyakit yang mengenai korteks sensorik.
Grapestesia, Stereognosis Dan Barognosis
Agrapestesia, suatu ketidakmampuan dalam mengidentifikasi angka yang dituliskan pada telapak tangan dengan sensasi kutaneus normal, mengimplikasikan adanya lesi yang mengenai lobus parietal kontralateral. Hal ini juga berlaku pada ketidakmampuan untuk membedakan berbagai macam bentuk (astereognosiss) atau gangguan kemampuan membedakan berat benda (abarognosis)
Diskriminasi sensasi bilateral
Pada beberapa pasien dengan sensasi yang tampak normal, stimulasi simultan dua sisi tubuh memperlihatkan adanya gangguan sensasi salah satu sisi yang biasanya dikarenakan adanya latar belakang lesi serebral kontralateral.
Perubahan-Perubahan Sensorik Dan Peranannya
Sangatlah penting untuk dapat menentukan letak dan distribusi suatu perubahan sensorik. Kegagalan menemukan bukti-bukti klinis kehilangan sensorik pada pasien-pasien dengan gejala sensori tidak boleh dijadikan sebagai landasan diagnosis bahwa penyakit ini berbasis masalah psikogenik. Gejala-gejala sensorik seringkali berkembang baik sebelum terjadi onset tanda-tanda sensorik.
Lesi-lesi Saraf Perifer
A. Mononeuropati
Pada pasien-pasien dengan lesi nervus perifer tunggal, kehilangan fungsi sensoriknya ternyata tidak seberat yang kita bayangkan sesusi dengan dasar anatomisnya. Hal ini dikarenakan adanya overlap dari nervus-nervus tambahan/adjacent. Selain itu, serabut-serabut saraf pada neuron sensorik dapat terserang dengan bentuk serangan yang berbeda-beda, tergantung tipe lesinya. Seperti misalnya lesi kompresif, yang mempunyai kecenderungan menyerang serabut-serabut saraf yang besar.
B. Polineuropati
Pasien-pasien polineuropati biasanya memiliki gejala kehilangan sensorik yang simetris dan lebih berat pada bagian distal dibandingkan bagian proksimal. Gejala ini ditunjukkan dengan adanya kehilangan sensorik tipe kaos kaki atau sarung tangan. Umumnya gejala kehilangan sensorik ini akan berkembang sampai hampir mengenai lutut sebelum dia mulai mengenai tangan. Kelainan-kelainan metabolik tertentu (seperti penyakit Tangier, suatu penyakit resesif yang dikarakterisasi dengan kadar HDL yang mendekati tidak ada) yang cenderung mengenai serabut-serabut saraf kecil yang berhubungan dengan apresiasi nyeri dan suhu. Kehilangan sensoriknya dapat disertai dengan defisit motorik dan perubahan refleks.
Keterkaitan Akar Serabut Saraf
Keterkaitan akar serabut saraf dalam suatu penyakit akan menghasilkan gangguan sensasi kutaneus dengan pola segmental, akan tetapi dengan adanya overlap saraf, biasanya tidak terdapat kehilangan sensasi kecuali ada 2 atau lebih akar tambahan yang terkena. Nyeri seringkali tersamar pada pasien-pasien dengan lesi akar yang kompresif. Tergantung pada level akar yang terkena, mungkin akan ditemukan hilangnya refleks tendon (C5-6, biseps dan brakioradialis; C7-8, triseps; L3-4, lutut; S1, engkel) dan apabila akar anterior juga terkena, mungkin akan ditemukan kelemahan dan atrofi otot.
Lesi Medula
Pada pasien-pasien dengan lesi medula, mungkin akan ditemukan adanya level sensorik transversa. Terdapat area-area fisiologis yang sensitifitasnya meningkat, akan tetapi peningkatan sensitifitas pada batas kosta, di atas payudara dan selangkangan tidaklah bisa dianggap abnormal. Jadi, level suatu defisit sensorik yang mengenai batang badan paling baik diperiksa dengan uji sensorik yang seksama pada punggung dari pada di dada atau abdomen.
A. Lesi Sentral Medula
Dengan suatu lesi medula sentral- seperti yang terjadi pada siringomielia, paska trauma dan dengan tumor-tumor medula tertentu- terdapat suatu kehilangan apresiasi nyeri dan suhu dimana modalitas lainnya masih tetap terjaga. Kehilangan sensorik ini diakibatkan adanya interupsi serabut-serabut saraf yang menyalurkan suhu dan nyeri yang menyeberang dari satu sisi medula ke traktus spinotalamikus di sisi lainnya. Kehilangan semacam itu biasanya bilateral, dapat asimetrik dan hanya mengenai serabut-serabut saraf segmen yang terkena. Gejala ini dapat disertai dengan kelemahan tipe LMN otot-otot yang dipersarafi oleh saraf yang terkena dan terkadang juga disertai defisit piramidal dan kolumna posterior di bawah lesi.
B. Lesi Anterolateral Medula
Lesi-lesi yang mengenai bagian anterolateral medula spinalis (traktus spintalamikus lateral) dapat menyebabkan kerusakan apresiasi suhu dan nyeri kontralateral di bawah level lesi. Traktus spinotalamikusnya terlaminasi, dengan serabut-serabut segmen sakralis yang terletak paling luar. Lesi intramedular seringkali menjaga saraf-saraf sakralis, dimana lesi ekstramedularnya yang mengkompresi medula, cenderung mengenai serabut-serabut saraf ini sama seperti yang berasal dari level-level yang lebih rostral lainnya.
C. Lesi Anterior Medula
Dengan lesi-lesi destruktif yang secara dominan mengenai porsi anterior medula spinalis, apresiasi nyeri dan suhunya mengalami gangguan yang lebih ringan dibandingkan yang berasal dari traktus spinotalamikus lateral. Selain itu, kelemahan atau paralisis yang terjadi berasal dari kerusakan motor neuron pada kornu anterior. Apabila penyakitnya semakin meluas, keterkaitan traktus kortikospinal dalam funikuli lateral dapat menyebabkan defisit piramidal di bawah lesi. Masih ada fungsi kolumna posterior yang relatif terjaga. Mielopati iskemik yang disebabkan oleh oklusi arteri spinal anterior akan bermanifestasi seperti lesi-lesi medula anterior.
D. Lesi posterior Medula
Pasien dengan lesi kolumna posterior dapat memberikan keluhan sensasi seperti terikat atau terbebat pada regio-regio yang berhubungan dengan level spinal yang terkena dan kadang dapat pula ditemukan parestesia yang menyebar ke ekstremitas ketika leher difleksikan (tanda Lhermitte). Terdapat kehilangan sensasi terhadap getaran dan posisi sendi di bawah level lesi, dimana modalitas sensorik lainnya masih dapat terjaga. Defisitnya bisa menyerupai gejala-gejala yang disebabkan penyakit yang disebabkan serabut-serabut besar di bagian posterior akar saraf.
E. Hemiseksi medula
Hemiseksi lateral medula akan mengakibatkan sindrom Brown Sequard. Di bawah lesinya akan didapatkan defisit piramidal ipsilateral dan gangguan apresiasi getaran dan posisi sendi, yang disertai dengan kehilangan apresiasi suhu dan nyeri kontralateral dimulai pada dua atau tiga segmen di bawah lesi.
Lesi Batang Otak
Gangguan-gangguan sensorik dapat disertai dengan defisit motorik, tanda-tanda serebral dan palsi nervus cranial, apabila lesinya terdapat pada batang otak.
Pada pasien-pasien yang lesinya mengenai traktus spinotalamikus di dorsolateral medulla dan pons, apresiasi nyeri dan suhu pada ekstremitas dan batang badan kontralateral akan hilang. Apabila suatu lesi yang sama terletak pada medula, secara tipikal dia akan mengenai nukleus trigeminal spinalis sehingga akan menyebabkan gangguan sensasi nyeri dan suhu pada sisi wajah yang sama seperti lesi dan ekstremitas kontralateral. Sebaliknya lesi thalamikus yang terletak di atas nukleus trigeminal spinal akan mengenai wajah, ekstremitas dan bagian badan kontralateral dari lesi. Apabila lesinya mengenai leniskus medial akan terjadi kehilangan sensasi sentuhan dan preprioseptik pada sisi badan yang berlawanan. Pada batang otak bagian atas, traktus thalamikus dan leniskus medial akan berjalan bersama-sama sehingga suatu lesi tunggal pada daerah itu akan menyebabkan kehilangan seluruh sensasi superfisial dan dalam pada sisi tubuh kontralateral.
Lesi Thalamik
Lesi-lesi thalamik dapat menyebabkan hilangnya atau gangguan semua jenis sensasi pada sisi kontralateral badan. Pada sisi yang terkena dapat ditemukan rasa nyeri spontan yang kadang bisa disertai dengan sensasi-sensasi tidak menyenangkan lainnya, seperti rasa terbakar, robek, teriris-iris atau rasa tertikam. Tapi seringkali sulit untuk didefinisikan. Berbagai bentuk stimulasi kutaneus akan dapat menyebabkan rasa nyeri atau sensasi yang tidak menyenangkan lainnya. Sindroma thalamik seperti ini (sindrom Dejerine-Roussy) kadang juga dapat disebabkan lesi pada substansia alba lobus parietal atau lesi pada medulla spinalis.
Lesi Pada Korteks Sensorik
Penyakit yang terbatas pada korteks sensorik akan dapat merusak fungsi sensorik diskriminatif, sehingga pasien-pasien tidak dapat melokalisir stimuli pada sisi tubuh yang terkena atau tidak dapat menentukan posisi bagian tubuh pada sisi yang berbeda. Mereka mungkin tidak dapat mengenali obyek-obyek yang disentuh, atau tidak dapat menentukan ukuran, berat, konsistensi atau tekstur benda. Gangguan-gangguan sensorik kortikal pada tangan biasanya lebih tersamar dibandingkan gangguan pada batang badan atau pada proksimal ekstremitas.
Pembedaan Gangguan-gangguan Psikogenik dan Organik
Gangguan-gangguan sensasi psikogenik mungkin berhubungan dengan penyakit-penyakit psikiatrik. Mereka bisa berbentuk apa saja, tapi paling sering berupa kehilangan sensasi kutaneus, dengan beberapa gambaran yang khas.
Kehilangan sensorik non organik tidak mempunyai pola distribusi neuro anatomik yang spesifik. Mereka bisa mengenai tulang-tulang atau di sekitar area superfisial dibanding rute inervasi saraf yang normal. Kehilangan sensorik periferal pada batang tubuh atau wajah, biasanya tidak melewati midline, akan tetapi terhenti pada 3-5 mm sebelumnya. Hal ini terjadi karena adanya inervasi yang overlap pada kedua sisi. Pada gangguan-gangguan non organik, kehilangan sensorik umumnya terhenti tepat pada midline.
Seringkali ditemukan transisi yang tiba-tiba dari area-area yang mengalami kehilangan sensorik anorganik dengan area-area yang sensasinya normal. Sebaliknya pada gangguan-gangguan organik, terdapat suatu area dengan perubahan sensasi di antara area-area insensitif dan area-area tambahan yang sensibilitasnya normal.
Pada gangguan-gangguan non organik dapat ditemukan kehilangan fungsi disosiasi yang sulit diinterpretasi basis anatomiknya. Sebagai contoh, dapat ditemukan apresiasi pin prick total dengan sensasi suhu yang masih terjaga. Selain itu, gejala-gejala yang menyerupai hilangnya fungsi kolumna posterior pada pasien-pasien ini masih disertai dengan kemampuan berjalan normal atau dapat bertahan merentangkan lengan tanpa kesulitan sama sekali atau ada gerakan-gerakan pseudoatetoid.
Pada gangguan sensorik non organik, apresiasi terhadap getarannya terganggu pada satu sisi tapi tidak pada sisi lainnya. Getarannya secara nyata dikonduksi pada kedua sisi oleh tulang, sehingga bahkan dengan adanya gangguan hemi sensorik, vibrasinya akan tetap dirasakan di sisi yang lainnya pada pasien-pasien dengan gangguan sensorik organik.
Pada akhirnya, harus selalu diingat bahwa gangguan-gangguan sensorik seringkali juga disugestikan pada pasien melalui ekspektasi pemeriksa sendiri. Penemuan-penemuan gejala klinis seperti ini dapat mengacaukan diagnosa karena bisa tepat penyebaran neuroanatomiknya. Satu pendekatan yang dapat sangat membantu adalah dengan memiliki outline pasien sebelum tes sensorik formalnya dilakukan.
LESI NERVUS PERIFER
Gejala-gejala sensorik biasanya merupakan gambaran yang samar pada pasien-pasien dengan lesi nervus perifer. Gangguan sensoriknya dapat berpola kaos kaki dan sarung tangan pada pasien-pasien polineuropati atau dapat mengikuti pola nervus perifer pada mononeuropati.
Klasifikasi
A. Mononeuropati simpleks
Istilah ini menggambarkan keterkaitan satu nervus perifer tunggal dalam manifestsi gejala penyakit.
B. Mononeuropati multipel
Pada penyakit ini, terdapat beberapa saraf perifer yang terkena, biasanya secara acak. Pemeriksaan kliniknya dapat menemukan defisit klinis yang berkaitan dengan satu atau lebih saraf perifer, kecuali mononeuropati multipleksnya ekstensif dan defisitnya sangat mengganggu.
C. Polineuropati
Istilah ini menjelaskan tentang gangguan pada sejumlah nervus periferal yang terjadi pada waktu yang sama. Hal ini mengkibatkan defisit yang lebih dominan pada bagian distal dan simetris, disertai dengan hilangnya refleks tendon, kecuali bila hanya serabut-serabut kecil yang terkena. Polineuropati terkadang diklasifikasikan sesuai letak lesi primer yang mengenai saraf. Pada aksonopati distal, akson serabut saraf merupakan target utama proses patologisnya; sebagian besar neuropati masuk dalam kategori ini. Mielinopati adalah suatu kelainan pada selubung mielin yang mengelilingi akson. Penyakit-penyakitnya meliputi polineuropati idiopatik (SGB), neuropati demielinisasi inflamatorik kronik, difteri, paraneoplastik tertentu dan status paraproteinemia, berbagai kondisi-kondisi herediter yang meliputi leukodistrofi metakromatik, penyakit Krabbe, dan CMP 1 & 3. Akhirnya, penyakit-penyakit tertentu yang dinamai dengan neuropati terutama menyerang badan sel saraf kornu anterior medulla spinalis atau ganglion dorsalis. Contohnya adalah neuropati motorik dan sensorik Charcot-Marie Tooth herediter tipe2, neuropati piridoksin dan beberapa sindroma paraneoplastik.
Gambaran-Gambaran Klinis
A. Gangguan-Gangguan Sensorik
Kelainan-kelainan pada serabut-serabut sensorik dapat menyebabkan mati rasa dan gangguan sensasi. Juga dapat menyebabkan sensasi-sensasi abnormal seperti nyeri dan paraestesi dan sensasi-sensasi abnormal seperti hiperpasia.
1. Nyeri merupakan gejala beberapa neuropati tertentu yang tersamarkan, terutama bila yang terkena adalah serabut-serabut kecil dalam saraf. Mekanisme pasti genesisnya masih belum jelas. Polineuropati yang disertai dengan nyeri hebat, biasanya merupakan polineuropati yang berhubungan dengan diabetes, alkoholisme, porfiria, penyakit Fabry, amiloidosis, arthritis reumatoid dan AIDS. Gejala yang sama juga dapat ditemui pada neuropati sensorik yang diturunkan secara dominan dan neuronopati sensorik paraneoplastik. Nyeri juga merupakan gambaran dari banyak neuropati lainnya dan pleksopati brakial idiopatik.
2. Kehilangan disosiasi sensorik adalah kerusakan beberapa modalitas sensorik seperti nyeri dan suhu dimana modalitas sensorik lainnya masih dapat terjaga. Meskipun keadaan ini seringkali mengindikasikan adanya lesi medulla spinalis, ia juga dapat ditemukan pada neuropati perifer dimana kelainannya terjadi secara selektif terhadap serabut-serabut saraf ukuran tertentu seperti yang terjadi pada neuropati amiloid, neuritis lepra atau neuropati sensorik herediter. Pada kasus-kasus semacam ini, kecenderungan serangannya pada serabut-sarabut saraf kecil umumnya menyebabkan gangguan apresiasi nyeri dan suhu yang disproporsional, nyeri spontan dan disfungsi otonom. Sebaliknya, penyakit-penyakit yang mengenai serabut-serabut saraf yang besar akan menyebabkan defek sensasi, sentuhan, vibrasi dan posisi sendi, hilangnya reflek tendon yang dini dan gejala-gejala motorik yang berat.
B. Defisit Motorik
Defisit motorik yang terjadi pada lesi nervus perifer akan berupa kelemahan otot yang diinervasi dan pada kasus yang berat akan disertai dengan wasting dan fasikulasi. Bisa juga didapat kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari dan dapat disertai dengan kehilangan fungsi sensorik. Gambaran klinisnya merefleksikan defisit motorik tipe LMN dan distribusi tanda-tanda klinis dan perubahan refleknya akan menunjukkan ada tidaknya kelainan pada nervus perifer.
C. Refleks-refleks Tendon
Refleks-refleks ini akan terganggu atau hilang apabila serabut sarafnya terhambat baik pada sisi aferen maupun sisi eferennya (C5-6, biseps dan brakioradialis; C7-8, trisep; L3-4, lutut; S1, engkel). Refleks engkel biasanya merupakan yang pertama yang hilang pada pasien-pasien polineuropati, tapi bisa juga hilang pada pasien yang lebih tua.
D. Gangguan-Gangguan Otonom
Gangguan-gangguan otonom bisa sangat tersamar pada beberapa neuropati perifer-terutama SGB dan neuropati-neuropati yang berhubungan dengan diabetes, gagal ginjal, porfiria atau amiloidosis. Gejala-gejalanya meliputi hipotensi postural, ekstremitas dingin, gangguan termoregulatorik dan berkeringat, gangguan pencernaan dan fungsi urinarik dan impotensi.
E. Perbesaran Saraf
Perbesaran nervus yang sampai bisa teraba akan meningkatkan kemungkinan terjadinya leprosi, amiloidosis, neuropati sensorik dan motorik herediter, penyakit Refsum, akromegali atau polineuropati demielinisasi inflamatorik kronik.
Evaluasi Pasien
A. Waktu Serangan
Polineuropati yang berkembang secara akut selama beberapa hari biasanya berhubungan dengan suatu proses inflamatorik seperti SGB. Keadaan ini bisa juga berkaitan dengan latar belakang neoplasma, infeksi seperti difteria, penyakit metabolik seperti porfiria intermiten akut atau pemaparan dengan zat-zat toksik seerti talium atau tiortokresil fosfat. Suatu serangan kronik dengan evolusi yang bertahap selama beberapa tahun adalah gejala yang khas untuk banyak jenis polineuropati herediter atau metabolik, juga polineuropati demielinisasi inflamatorik kronik.
Mononeuropati dengan onset yang akut cenderung disebabkan oleh trauma atau iskemia, sedangkan pada yang penyakitnya berkembang secara bertahap biasanya berhubungan dengan entrapment (kompresi oleh struktur anatomik tetanga) atau karena trauma minor rekuren.
B. Usia Onset
Polineuropati yang berkembang pada masa kanak-kanak atau masa dewasa awal seringkali berbasis herediter, akan tetapi bisa juga berhubungan dengan latar belakang penyakit inflamatorik. Penyakit yang berkembang pada usia lanjut seringkali dikarenakan latar belakang metabolik, toksik atau penyakit inflamatorik atau sebuah neoplasma.
Mononeuropati yang muncul pada periode neonatal cenderung merupakan perkembangan atau berkaitan dengan cedera waktu lahir; yang berkembang pada usia lanjut mungkin berhubungan dengan entrapmen atau cedera saat bekerja.
C. Riwayat Pekerjaan
Berbagai macam zat-zat industrial dapat mengakibatkan neuropati perifer, zat-zatnya meliputi karbon disulfida, n-heksana, etilen oksida, metil bromida, akrilamida, tiortokresil fosfat dan organofosfat tertentu lainnya, ddt, arsenik, timbal dan talium. Mononeuropati terkadang merupakan manifestasi klinis pertama dari polineuropati akibat pekerjaan, akan tetapi ia juga dapat terjadi sebagai respon dari sindroma Carpal-Tunnel atau trauma kerja minor rekuren. Sebagai contoh, sindroma Carpal-Tunnel lebih sering ditemui pada orang-orang yang melakukan kerja manual berat atau melakukan gerakan repetitif yang menyebabkan cedera seperti menggunakan komputer terus-menerus dan lesi pada cabang serabut dalam palmar nervus ulnaris karena adanya penekanan terus-menerus terhadap palmar tangan seperti menekan stapler dengan kuat berulang-ulang atau menggunakan peralatan yang berat seperti kasus pneumatik road dril (tukang aspal).
D. Riwayat Medis
1. neuropati periferal dapat berkaitan dengan penyakit metabolik seperti DM, uremia, penyakit hati, miksedema, akromegali, lekodistrofi metakromatik atau penyakit Fabry. Yang berkaitan dengan DM umumnya mempunyai kepentingan klinis yang sangat penting dan dapat menyerupai mononeuropati entrapmen, mononeuritis iskemik akut, polineuropati sensorimotor distal, poliradikulopati motorik proksimal (diabetik amiotrofi), radikulopati torakoabdominal atau neuropati otonom.
2. suatu neuropati periferal juga dapat berhubungan dengan latar belakang neoplasma maligna. Fleksus nervus perifer, spinal dan ekstremitas dapat mengalami kompresi atau infiltrasi ekstensi tumor primer atau metastatik nodus limfatik. Penyakit neoplastik juga dapat menyebabkan polineuropati sensorik atau sensorimotorik nonmetastatik (paraneoplastik) atau sindroma Lambert-Eaton, suatu penyakit transmisi neuromuskuler.
3. penyakit-penyakit jaringan konektif tertentu, terutama poliarteritis nodosa, arthritis rheumatoid(AR), sindrom Churg-Strauss dan granulomatosis Wegener dapat berkaitan dengan mononeuropati multipel atau yang lebih jarang polineuropati atau neuropati kranial. Polineuropati lebih sering ditemui pada SLE. Pasien dengan AR cenderung mengalami entrapmen fokal atau mononeuropati kompresif sendi yang sakit.
4. AIDS seringkali berkaitan dengan polineuropati, kebanyakan sensorik, distal simetris. Penyakit nervus perifer pada AIDS lebih jarang berupa polineuropati demielinisasi inflamatorik kronik atau akut, poliradikulopati, mononeuropati multipleks atau neuropati otonom. Neuropati juga dapat ditemui pada pasien kompleks AIDS, infeksi HIV1 dan serokonversi HIV1.
E. Riwayat Obat-obatan dan Alkohol
Beberapa obat yang menyebabkan neuropati perifer dapat dilihat pada tabel 6-2; diduga ada keterkaitan antara obat-obat ini dengan kelainan saraf motorik maupun sensorik.
F. Latar Belakang Keluarga
Polineuropati-polineuropati tertentu memiliki basis herediter. Hal ini akan didiskusikan pada bagian lain dari bab ini.
Diagnosis Banding
Neuropati perifer dapat mengakibatkan terjadinya defisit motorik atau sensorik atau keduanya. Refleks tendon dan sensasi sensorik yang masih berfungsi dengan baik akan membedakan antara defisit motorik karena lesi piramidal murni atau atrofi muskular spinal, miopati atau penyakit transmisi neuromuskular yang disebabkan kelainan nervus perifer.
Mielopati dikarakterisasi oleh defisit piramidal di bawah level lesi dan juga kehilangan sensorik bagian distal.
Pada tabes dorsalis, seringkali terdapat riwayat sifilis dan pemeriksaan klinisnya menunjukkan tanda khas sifilis lainnya. Selain itu, sensasi taktilnya normal.
Radikulopati dapat dibedakan dari neuropati perifer melalui distribusi defisit motorik atau sensoriknya. Adanya rasa nyeri pada punggung atau leher yang menyebar ke ekstremitas dengan bentuk distribusi radikular juga menunjukkan adanya lesi pada saraf.
Studi-Studi Investigatif
Studi laboratorik pasien-pasien neuropati periferal ditujukan untuk dapat mengkonfirmasi diagnosis dan menemukan latar belakang penyakitnya. Elektromiografi dapat mengungkapkan bukti-bukti denervasi saraf pada otot yang sakit dan dapat digunakan untuk menentukan ada tidaknya unit motorik yang masih di bawah kontrol voluntarik yang tersisa. Studi konduksi sarafnya akan memperlihatkan kecepatan konduksi saraf serabut saraf motorik dan sensoriknya. Dengan berdasar pada studi elektrodiagnostik dan histopatologik, neuropati perifer dapat digolongkan menjadi neuropati demielinisasi atau aksonal. Pada bentuk demielinisasi, elektromiografi biasanya menunjukkan bukti denervasi yang sangat sedikit atau bahkan tidak ada dan terdapat blokade konduksi atau terjadi penurunan kecepatan konduksi maksimal yang bermakna pada saraf yang terkena. Pada neuropati aksonal, elektromiografi menunjukkan bukti- bukti terjadinya denervasi terutama bagian distal ekstremitas, tapi kecepatan konduksi maksimal sarafnya normal atau hanya sedikit melambat.
Pasien-pasien yang studi elektrofisiologisnya mengkonfirmasikan neuropati periferal, studi laboratoriknya harus meliputi hitungan darah lengkap, angka sedimentasi eritrosit, BUN serum, GDP dan vitamin B12 serum; protein serum, elektroforesis protein dan imunoelektroforesis, tes fungsi hati dan tiroid, tes serologik untuk sifilis, faktor reumatoid dan antibodi antinuklear ditambah X-ray dada. Tergantung pada keadaan klinisnya, tes serologis untuk penyakit Lyme, hepatitis atau infeksi HIV mungkin perlu untuk dilakukan. Studi genetik juga mungkin diperlukan setelah dilakukan konseling genetik yang tepat. Jika dicurigai toksik sebagai penyebab, koleksi urin 24 jam diikuti tes untuk logam mungkin diperlukan dan penjepitan rambut dan kuku jari tangan dapat digunakan untuk memeriksa kadar arsen. Pemeriksaan urin segar untuk porfobilinogen dan asam gama levulinat penting dilakukan apabila dicurigai terjadi porfiria.
Terapi
Terapi terhadap penyakit latar belakangnya mungkin akan dapat menghambat perkembangan penyakit atau bahkan menyembuhkan neuropatinya. Nursing care mungkin diperlukan oleh pasien-pasien dengan defisit motorik dan sensorik yang berat untuk mencegah terbentuknya ulkus dekubitus, kontraktur sendi dan kompresi tambahn pada kerusakan saraf perifer. Funsi respiratoriknya juga harus diawasi secara seksama terutama pada SGB, polineuropati demielinisasi inflamatorik kronik dan neuropati difteri, dan tindakan ini harus dipersiapkan apabila VCnya turun di bawah 1 L. Pada pasien dengan diestesia berat dapat digunakan suatu penopang (bingkai metal yang diinversi) untuk mencegah baju yang dikenakan mengenai daerah sensitif kulit. Terapi dengan fenitoin 300 mg/hari, karbamazepin >1200 mg/hari atau meksiletin 600-900 mg/hari terkadang sangat membantu mengatasi rasa sakit neuropati-neuropati tertentu. Jika nyerinya lebih konstan, disertai rasa terbakar atau disestesia, pemberian amitriptilin 25-100 mg sebelum tidur seringkali membantu seperti juga agen-agen trisiklik lainnya. Gabapentin 300 mg 3 kali sehari dengan peningkatan dosis yang tergantung pada respon dan toleransinya, efektif dalam mengobati berbagai macam neuropati yang disertai rasa nyeri. Efeknya kurang lebih sama dengan lamotrigin atau topiramat, akan tetapi obat-obatan ini belum didokumentasikan dengan baik. Capsaicin topikal juga sangat berguna pada sindroma nyeri neuropatik.
Ekstremitas yang mengalami kehilangan fungsi sensorik harus dilindungi dari trauma minor berulang, seperti cedera termal yang akan menghancurkan jaringan temperatur panas permukaan yang bersinggunggan harus dicek terlebih dahulu pada daerah yang sensasinya normal dan pemanas air juga harus diatur suhunya agar kulit tidak melepuh.
Gejala-gejala disotonomiknya dapat sangat menyulitkan, terutama pada polineuropati diabetik atau alkoholik waist-high elastic hosiery, diet dengan tambahan garam dan terapi menggunakan fludrokortison 0,1-1 mg/hari oral dapat membentu mengatasi hipotensi postural akan tetapi pasien harus tetap diawasi agar tidak terjadi hipertensi posisi rekumben. Menyuruh pasien untuk tidur dengan posisi yang semitegak dapat sangat membantu karena pasien disotonomik seringkali tidak mampu untuk mengkonversi garam dan gula ketika berbaring pada malam hari.
POLINEUROPATI
Polineuropati Idiopatik Akut (SGB)
SGB merupakan sindroma polineuropati akut atau subakut yang mungkin mengikuti penyakit-penyakit infektif minor, inokulasi atau prosedur pembedahan, atau bisa juga terjadi tanpa presipitan yang jelas. Bukti klinis dan epidemiologis penyakit ini menunjukkan kaitannya dengan infeksi Campylobacter jejuni. Penyebab pastinya masih belum jelas tapi diduga berbasis imunologis. Telah dikenal 2 bentuknya, yaitu demielinisasi dan aksonal, yang keduanya memiliki gambaran klinis dan elektrofisiologis yang berbeda. bentuk demielinisasi lebih sering ditemukan di AS akan tetapi kadang juga ditemukan bentuk aksonal (neuropati motor sensorik aksonal akut).
A. Gambaran Klinis
Gambaran yang berguna dalam mendiagnosa SGB dimuat pada tabel 6-3. pasien biasanya datang dengan kelemahan simetrik yang biasanya dimulai pada tungkai dan lebih nyata di bagian proksimal dibanding distal dan terkadang bisa sangat parah sehingga membahayakan jiwa, terutama apabila mengenai otot respiratorik atau menelan. Wasting otot biasanya berkembang apabila telah terjadi degenerasi aksonal. Kelainan sensorik, yang biasanya lebih tidak nyata dibanding motorik, juga sering ditemui. Refleks tendon dalam biasanya menghilang. Dapat juga ditemukan disfungsi otonom yang bermakna, dengan takikardia, iregulatorik kardiak, TD labil, gangguan berkeringat, kerusakan fungsi pulmoner, gangguan spinkter, ileus paralitik dan kelainan-kelainan lainnya.
B. Studi-studi Investigatif
Gambaran CSFnya seringkali menunjukkan abnormalitas yang khas dengan peningkatan konsentrasi protein dan hitungan darah yang normal; kelainannya mungkin tidak terlihat pada minggu pertama. Studi alktrofisiologisnya menunjukkan penurunan kecepatan konduksi sensorik dan motorik, atau bukti denervasi dan kehilangan aksonal. Waktu ditemukannya perubahan elektrofisiologisnya tidak harus selalu paralel dengan kondisi klinis. Jika dicurigai infeksi HIV1, perlu dilakukan studi serologik yang relevan untuk mengkonfirmasinya.
C. Terapi
Plasmaparesis tampaknya dapat mengurangi durasi waktu yang diperlukan untuk pemulihan dan juga dapat menurunkan kecenderungan terjadinya defisit neurologis residual dan terutama diindikasikan untuk pasien-pasien dengan penurunan kemampuan respiratorik yang berat atau progresif. Pemberian Ig IV (400 mg/kg/hr selama 5 hari) tampaknya juga efektif dan dianjurkan untuk digunakan sebagai alternatif dari plasmaparesis bagi pasien dewasa yang mengalami instabilitas kardiovaskular dan juga pada anak-anak; kedua terapi ini tidak aditif satu dengan yang lainnya.
Terapi lainnya adalah terapi asimtomatik yang bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi-komplikasi seperti gagal napas atau kolaps vaskular. Karena alasan inilah, sebaiknya pasien yang sakitnya berat lebih baik dirawat di ICU, dimana terdapat fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk mengawasi dan membantu fungsi respiratorik. Volume pengganti darah atau terapi dengan pressor agent dan heparin dosis rendah akan sangat membantu mencegah embolisme pulmonar. Kortikosteroid dapat memberikan efek samping yang mempengaruhi hasil akhir atau memperlambat pemulihan sehingga tidak diindikasikan.
D. Prognosis
Tanda dan gejala kliniknya akan meningkat dalam durasi 4 minggu setelah onset penyakit. Penyakit ini dapat sembuh sendiri dan perbaikan klinisnya terjadi setelah beberapa minggu atau bulan. Sekitar 70-75 % pasien dapat pulih sempurna, 25% hidup dengan defisit neurologis ringan dan 5 % meninggal, terutama disebabkan karena kegagalan respiratorik. Prognosisnya lebih jelek bila ada bukti-bukti yang menunjukkan adanya infeksi Campilobacter pylori dan kemungkinan untuk sembuh sempurna juga lebih kecil bila bentuk SGB berupa degenerasi aksonal. Usia lanjut, kebutuhan untuk menggunakan suplai ventilatorik ataupun onset gejala yang lebih cepat terjadi merupakan indikator prognosis yang buruk.
Polineuropati Demielinisasi Inflamatorik Kronik
Gejala penyakit ini secara klinik mirip dengan SGB, tetapi prosesnya kronis, atau serangannya sering mengalami relaps dan tanpa perbaikan klinis yang tampak setelah 6 bulan dari onset. Penyebabnya tidak diketahui. Gambaran klinisnya diperlihatkan pada tabel 6-4. gambaran CSSnya mirip seperti SGB. Pemeriksaan elektro fisiologisnya mengindikasikan adanya neuropati demielinatif yang mengalami superimposed dengan degenerasi aksonal. Penyakit ini biasanya responsif terhadap terapi kortikosteroid (prednison 60 -100 mg perhari selama 2 - 4 minggu kemudian dikurangi secara bertahap sampai 5 - 10 mg perhari). Pengobatannya mungkin harus dilanjutkan dengan pola pemberian jangka panjang. Terapi menggunakan imunoglobulin intravena (1 gram/KGBB perhari selama 2 hari dengan tambahan dosis tunggal IV pada minggu ketiga atau 400 mg/KGBB perhari yang dibagi selama 5 hari untuk memenuhi dosis total sebanyak 2 gram, yang dapat ditambah dengan dosis lanjutan apabila diteruskan). Terapi ini juga efektif sebagai terapi awal maupun terapi lanjut. Apabila digunakan sebagai terapi inisiasi, efek sampingnya akan lebih rendah, dan jauh lebih mahal. Mekanisme aksi terapi ini belum pasti. Penggantian plasma merupakan terapi imunomodulator yang efektif, tetapi lebih sulit diterapkan. Pada pasien-pasien yang tidak responsif, dapat diberikan terapi Azathioprine dan Siklophosphamid yang juga efektif.
NEUROPATI METABOLIK DAN NUTRISIONAL
Diabetes Melitus (DM)
Kelainan nervus perifer pada DM sering ditemui dan dapat dikarakterisasi sebagai polineuropati campuran (sensorik, motorik dan otonim). Dapat ditemukan pada 70 % kasus dengan kelainan sensorik yang lebih dominan pada sekitar 30% pasien. Sisanya berupa mononeuropati multipleks atau simpleks. Insidensi kelainan nervus perifer ini mungkin dapat diubah apabila kontrol DM dilakukan secara optimal.
A. Gambaran Klinis
Manifestasi klinis yang paling sering ditemui adalah kelainan sensorik distal atau polineuropati campuran, yang kadang dapat didiagnosa dari adanya penurunan refleks tendon dan gangguan apresiasi vibrasi pada tungkai. Gejala-gejalanya klinisnya lebih sering ditemui terdapat pada tungkai daripada lengan, berupa mati rasa, nyeri atau paraestesia. Pada kasus yang berat dapat ditemukan kehilangan fungsi sensorik distal pada semua ekstremitas dan beberapa gangguan motorik penyerta dan beberapa gangguan motorik. Disotonomia diabetik dapat menyebabkan hipotensi postural, gangguan ritme kardiak, kerusakan termoregulatorik dan berkeringat serta gangguan sistem cerna dan urinaria serta fungsi seksual. Polineuropati multipleks diabetik biasanya ditandai dengan rasa nyeri dan kelemahan dan seringkali mempunyai basis vaskular. Defisit neurologiknya akan tergantung pada saraf-saraf yang terkena. Amiotrofi diabetik disebabkan oleh radikulofleksopati, poliradikulopati atau poliradikuloneuropati. Yang khas adalah adanya rasa nyeri, kelemahan dan atrofi otot-otot paha dan panggul yang disertai dengan hilangnya refleks quadriceps dan kehilangan sensorik ringan. Onset mononeuropati simpleks diabetik biasanya tertunda dan sangat nyeri. Protein CSF ditemukan sangat meningkat pada poli dan mononeuropati multipleks diabetik.
B. Terapi dan Prognosis
Tidak ada terapi yang spesifik untuk komplikasi nervus periferal diabetik. Kecuali bila pasien mengalami neuropati intrapment, sehingga mungkin terbantu dengan prosedur-prosedur kompresi. Rasa nyeri mungkin sangat mengganggu pada beberapa pasien dan terapinya telah dibahas pada bagian sebelumnya (hal 17).
Hipotensi postural akan berespon terhadap terapi suplementasi garam, tidur dengan posisi berdiri, memakai penopang panggul elastis, fludrokortison 0,1 - 1 mg perhari dan Midodrim 10 mg 3 kali sehari. Terapi lainnya simptomatis. Amiotropi dan mononeuropati simpleks diabetik biasanya akan membaik dan sembuh spontan.
Endokrinopati Lainnya
Hipotiroidisme merupakan penyebab polineuropati yang jarang. Hipotiroidisme lebih sering ditemukan berkaitan dengan neuropati entrapmen, khususnya sindroma Carpal Tunnel. Polineuropati bisa salah didiagnosa dengan hipotiroid miopati yang ditandai dengan kelemahan ekstremitas proksimal atau dengan manifestasi neuropati independen yang merupakan manifestasi klinik klasik dari hipotiroid, dimana gambaran kliniknya berupa lambatnya relaksasi setelah refleks tendon. Manifestasi neurologis hipotiroid lainnya berupa status konvulsional akut, demensia dan degenerasi sereberal.
Akromegali juga seringkali menyebabkan sindroma Carpal Tunnel dan yang lebih jarang ditemui polineuropati. Karena banyak diantara pasien-pasien akromegali menderita diabetes, jadi sulit untuk menentukan penyakit manakah yang menyebabkan polineuropati.
Uremia
Suatu polineuropati sensorimotorik yang simetris biasanya bertipe aksonal, dapat terjadi pada uremia. Penyakit ini cenderung mengenai tungkai daripada lengan, dan lebih nyata pada bagian distal dibanding bagian proksimal. Otot tungkai yang terus berkontraksi, kram otot dan rasa terbakar pada kaki, seringkali dikaitkan dengan uremia. Beratnya gangguan nervus perifer tampaknya berhubungan dengan derajat beratnya kerusakan fungsi renal. Neuropatinya dapat mengalami perbaikan yang bermakna setelah dilakukan transplantasi ginjal. Sindroma Carpal Tunnel juga dapat ditemukan pada pasien-pasien penyakit ginjal dan dapat membentuk fistula-fistula dibagian distal arteri dan vena di lengan bawah, yang sering digunakan untuk hemodialisa. Pada pasien-pasien yang menjalani hemodialisa dalam waktu lama, sering mengalami amiloidosis dan akumulasi B-2-mikroglobulin
Penyakit Hati
Sirosis bilier primer dapat menyebabkan neuropati sensorik yang mungkin bertipe aksonal. Suatu polineuropati demielinatif dapat terjadi pada pasien-pasien dengan penyakit hati kronis. Tampaknya tidak ada hubungan antara kelainan-kelainan neurologis ini dengan disfungsi hati yang dialami.
Defisiensi Vitamin B12
Defisiensi Vitamin B12 seringkali berkaitan dengan gambaran-gambaran klinis yang khas pada neuropati seperti gangguan fungsi sensorik distal simetris, kerusakan motorik primer dan hilangnya refleks tendon. Masih terdapat kontroversi tentang kepentingan klinis defisiensi B12 dalam polineuropati dan miolopati.
NEUROPATI INFEKTIF DAN GRANULOMATOUS
AIDS
Neuropati sering ditemui sebagai komplikasi HIV1 dan kelainan nervus perifer ditemukan pada otopsi 40% pasien dengan AIDS. Polineuropati sensorimotorik distal simetris merupakan neuropati tersering yang ditemui pada pasien HIV1. lebih sering bertipe aksonal. Penyebabnya tidak diketahui, akan tetapi pada beberapa pasien dengan defisiensi vitamin B 12 atau paparan dengan obat-obat neurotoksik mungkin berperan. HIV1 jarang diidentifikasi pada nervus-nervus yang terkena. Gejala-gejala sensoriknya dominan dan biasanya berupa nyeri dan parestesia yang terutama menyerang kaki. Kelemahan merupakan gejala minor atau fase lanjut. Refleks lutut dan tungkai kadaing hilang. Serangannya biasanya progresif, dan belum ada terapi yng efektif. Namun nyerinya dapat dikendalikan secara farmakologis. Plasmapheresis tidak berguna sama sekali.
Polineuropati demielinisasi inflamatorik dapat terjadi setelah infeksi HIV1 dini atau setelah infeksi akut atau kronis. Neuropatinya mungkin berbasis imunologis, tapi terkadang bisa juga dari infeksi viral primer atau sekunder seperti CMV. Penyakit ini dikarakterisasi dengan kelemahan otot proksimal, terkadang distal dengan gangguan sensorik yang lebih samar, dan arefleksia artau hiporefleksia. CSFnya normal dengan peningkatan konsentrasi protein dan sering ditemukan pleositosis limfositik.
Comments
Post a Comment