Skip to main content

Medication Error


 I. DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI MEDICATION ERROR

Menurut the US Pharmacopoeia medication error didefinisikan sebagai:
any preventable event that may cause or lead to inappropriate medication use or patient harm while the medication is in the control of the health care professional, patient, or consumer. Such events may be related to professional practice, health care products, procedures, and systems, including prescribing; order communication; product labeling, packaging, and nomenclature; compounding; dispensing; distribution; administration; education; monitoring; and use”.

Dari definisi di atas terlihat bahwa medication error tidak saja hanya menyangkut kesalahan peresepan, tetapi juga termasuk prosedur pemberian obat yang tidak jelas yang mengakibatkan kelirunya penggunaan obat di pihak pasien.

Berbeda dengan adverse drug reactions, medication errors terjadi sebagai akibat dari kesalahan manusia atau lemahnya sistem yang ada. Medication error dapat terjadi dalam setiap langkah penyiapan obat mulai dari proses pemilihan obat, permintaan melalui resep, pembacaan resep, formulasi obat, penyerahan obat kepada pasien hingga penggunaannya oleh pasien atau petugas kesehatan.

Menurut laporan dari The Institute of Medicine setiap tahun medical error menyebabkan kematian pada 44,000-98,000 pasien di Amerika Serikat.3 Angka kematian ini jauh lebih besar dari angka kematian yang disebabkan oleh 8 penyebab utama kematian di Amerika.4 Diperkirakan biaya total yang harus dikeluarkan untuk mengatasi medical error mencapai US$17-29 milyar.5 Meskipun prosentase medical error yang disebabkan oleh obat (medication error) pada pasien rawat jalan tidak diketahui, namun obat merupakan salah satu penyebab yang umum untuk terjadinya medical error, yaitu sekitar 3.7% dari seluruh pasien.6,7 Dengan demikian jelaslah bahwa medication error menjadi komponen yang signifikan untuk terjadinya medical error di rumahsakit-rumahsakit di Amerika Serikat.

Kejadian medication error di rumahsakit cukup bervariasi, berkisar antara 3-6.9% untuk pasien rawat inap.6,8-11 Peneliti lain melaporkan angka kejadian medication error yang lebih besar yaitu 4-17% dari seluruh pasien yang dirawat di rumahsakit.12-13 Masih dari studi yang sama ditemukan bahwa antibiotika, analgetika, dan obat-obat kardiovaskuler adalah yang paling sering berkaitan dengan kejadian medication error. Error yang terjadi akibat kekeliruan instruksi peresepan mencapai 16.9%.9,14 Satu studi di rumahsakit melaporkan bahwa 11% medication error terjadi dalam bentuk pharmacy dispensing errors berupa pemberian obat atau dosis yang keliru.10 Laporan yang dikompilasi oleh the United States Pharmacopeia pada tahun 1999 menunjukkan hanya 3% dari 6224 medication errors berakhir dengan kegawatan pada pasien.15

Suatu studi yang melibatkan 1116 rumahsakit menemukan kejadian medication error sebanyak 5,07% yang 0,25% diantaranya berakhir fatal.16 Dalam studi tersebut juga dilaporkan bahwa kejadian medication error di rumahsakit yang tidak memiliki afiliasi ataupun kerjasama dengan sekolah pendidikan/fakultas farmasi ternyata 72% lebih tinggi dibandingkan dengan rumahsakit yang memiliki afiliasi dengan fakultas farmasi.

Dari berbagai hasil penelitian terlihat bahwa angka kejadian medication error cenderung underestimate atau jauh lebih kecil dari sebenarnya terjadi. Hal ini dapat dipahami mengingat dalam keseharian masalah tersebut sering luput dari pengamatan karena tidak dikenal, tidak dianggap sebagai suatu kesalahan atau karena tidak memberikan risiko yang berarti bagi pasien.

Dampak dari medication error sangat beragam mulai dari keluhan ringan yang dialami pasien hingga kejadian serius yang memerlukan perawatan rumahsakit lebih lama atau bahkan kematian. Di Amerika Serikat medication errors meningkatkan biaya pelayanan kesehatan sekitar US$1900 per pasien.13 Laporan yang ada juga menyebutkan bahwa di antara 90.000 kasus klaim asuransi di AS, medication error termasuk masalah kedua yang paling sering dan paling mahal biaya klaimnya. Bidang pediatrik termasuk 6 terbesar di antara 16 spesialisasi lain yang acap kali menuai klaim atas medication error, yang jumlahnya mencapai rata-rata $292 136 per kasus.13

II. BENTUK-BENTUK DAN KATEGORISASI MEDICATION ERROR

Disadari ataupun tidak, medication error sebenarnya sering dan banyak terjadi di sekeliling kita, mulai di lingkungan puskesmas, rumahsakit, apotek hingga pelayanan-pelayanan kesehatan lainnya. Cukup banyak contoh yang dapat diberikan, misalnya resep dalam bentuk puyer yang berisi campuran antara antibiotika dan obat-obat simptomatik serta multivitamin yang sering diberikan pada pasien anak. Dari resep-resep jenis ini jika ditelaah lebih lanjut akan terlihat adanya dosis yang tidak tepat, cara pemberian keliru, dan lama pemberian yang tidak sesuai.

Pemberian obat per infus yang hanya disuntikkan di plabot infus adalah contoh lain dari medication error yang hingga saat ini masih sering terjadi di unit-unit perawatan. Memberikan obat-obat yang bersifat “narrow therapeutic margin” atau memiliki indeks terapi sempit (seperti misalnya digoksin, teofilin, gentamisin, fenitoin) secara intravenosa tanpa menggunakan syringe pump juga termasuk medication error.

Menurut American Hospital Association, medication error antara lain dapat terjadi pada situasi berikut:
a) Informasi pasien yang tidak lengkap, misalnya tidak ada informasi tentang riwayat alergi dan penggunaan obat sebelumnya,
b) Tidak diberikan informasi obat yang layak, misalnya cara minum atau menggunakan obat, frekuensi dan lama pemberian hingga peringatan jika timbul efek samping.
c) Miskomunikasi dalam peresepan, misalnya interpretasi farmasis yang keliru dalam membaca resep dokter, kesalahan membaca nama obat yang relatif mirip dengan obat lainnya, kesalahan membaca desimal, pembacaan unit dosis hingga singkatan peresepan yang tidak jelas (q.d atau q.i.d/QD);
d) Pelabelan kemasan obat yang tidak jelas sehingga berisiko dibaca keliru oleh pasien; dan
e) Faktor-faktor lingkungan, seperti ruang apotek/ruang obat yang tidak terang, hingga suasana tempat kerja yang tidak nyaman yang dapat mengakibatkan timbulnya medication error

Adapun bentuk-bentuk medication error disajikan dalam Tabel 1.17

Tabel 1. Bentuk-bentuk Medication error

Prescribing
Transcribing
Dispensing
Administration
1. Kontraindikasi
2. Duplikasi
3. Tidak terbaca
4. Instruksi tidak jelas
5. Instruksi keliru
6. Instrukti tidak lengkap
7. Penghitungan dosis keliru
1. Copy error
2. Dibaca keliru
3. Ada instruksi yang terlewatkan
4. Mis-stamped
5. Instruksi tidak dikerjakan
6. Instruksi verbal diterjemahkan salah
a) Kontraindikasi
b) Extra dose
c) Kegagalan mencek instruksi
d) Sediaan obat buruk
e) Instruksi pengguna-an obat tidak jelas
f) Salah menghitung dosis
g) Salah memberi label
h) Salah menulis instruksi
i) Dosis keliru
j) Pemberian obat di luar instruksi
k) Instruksi verbal dijalankan keliru
1. Administration error
2. Kontraindikasi
3. Obat tertinggal di samping bed
4. Extra dose
5. Kegagalan mencek instruksi
6. Tidak mencek identitas pasien
7. Dosis keliru
8. Salah menulis instruksi
9. Patient off unit
10. Pemberian obat di luar instruksi
11. Instruksi verbal dijalankan keliru

Dari Tabel 1 terlihat bahwa medication error sangat luas cakupannya mulai dari saat peresepan, pembacaan resep oleh farmasis, penyerahan obat, hingga pemberian/ penggunaan obat oleh pasien. Melalui gambaran tersebut maka kesalahan yang terjadi di salah satu komponen dapat saja secara berantai menimbulkan kesalahan lain di komponen-komponen selanjutnya.

Menurut National Coordinating Council for Medication error Reporting and Prevention (NCC MERP) kategorisasi medication error adalah sebagai berikut18:

Tabel 2 Taksonomi & kategorisasi Medication error

Tipe error
Kategori
Keterangan
NO ERROR
A
Keadaan atau kejadian yang potensial menyebabkan terjadinya error
ERROR-
NO HARM
B
Error terjadi, tetapi obat belum mencapai pasien
C
Error terjadi, obat sudah mencapai pasien tetapi tidak menimbulkan risiko
a) Obat mencapai pasien dan sudah terlanjut diminum/digunakan
b) Obat mencapai pasien tetapi belum sempat diminum/digunakan
D
Error terjadi dan konsekuensinya diperlukan monitoring terhadap pasien, tetapi tidak menimbulkan risiko (harm) pada pasien
ERROR-HARM
E
Error terjadi dan pasien memerlukan terapi atau intervensi serta menimbulkan risiko (harm) pada pasien yang bersifat sementara
F
Error terjadi & pasien memerlukan perawatan atau perpanjangan perawatan di rumahsakit disertai cacat yang bersifat sementara
G
Error terjadi dan menyebabkan risiko (harm) permanen
H
Error terjadi dan nyaris menimbulkan kematian (mis. Anafilaksi, henti jantung)
ERROR-DEATH
I
Error terjadi dan menyebabkan kematian pasien

III. BAGAIMANA MENCEGAH MEDICATION ERROR?

Berbagai penelitian mengenai medication error telah banyak dilakukan, tidak hanya dalam hal identifikasi dan analisisnya tetapi juga rekomendasi untuk mencegah terjadinya medication error. Namun demikian tidak banyak yang mengulasnya secara komprehensif dan sistematis. Pencegahan terjadinya medication error dapat didekati dengan konsep-konsep human error sebagaimana ditulis oleh Belay18

1) Error awareness." Dalam konteks ini maka setiap individu yang terlibat harus menyadari bahwa medication error dapat terjadi kapan saja, di mana saja, dan menimpa siapa saja. Bahwa jika terjadi medication error maka konsekuensi yang dapat timbul akan sangat beragam mulai dari yang ringan/tanpa gejala hingga menyebabkan kematian. Pemahaman yang baik mengenai medication error ini perlu diterapkan di unit-unit pelayanan yang langsung berkaitan dengan obat dan pengobatan, mulai dari dokter, perawat, apoteker, asisten apoteker dan petugas administrasi obat.
2) Lakukan pengamatan sistematik. Awal dari terjadinya medication error dapat berasal dari individu tetapi juga sistem. Petugas yang lelah, ceroboh, atau dalam situasi psikologis yang buruk dapat sewaktu-waktu mengawali terjadinya medication error. Namun demikian sistem yang buruk, yang tidak mendukung mekanisme kerja yang baik, atau tidak dijalankan atas dasar prosedur yang standar juga dapat menjadi sumber medication error yang latent. Oleh sebab itu perlu dilakukan pengamatan secara sistematik apakah sistem yang ada ikut berperan untuk terjadinya error. Sebagai contoh, buruknya sistem kerjasama antara dokter, perawat, dan apoteker akan selalu menjadi penyebab laten timbulnya medication error.
3) Gunakan data medication error sebagai alat untuk menyusun instrumen analisis error. Untuk komponen ini maka setiap unit pelayanan hendaknya memiliki data medication error yang pengumpulannya dilakukan secara berkesinambungan. Dari data yang ada selanjutnya dapat dilakukan analisis untuk mengidentifikasi area-area yang berpotensi untuk terjadinya error, sehingga upaya antisipasi dapat dilakukan secara baik dan benar.
4) Kembangkan kemauan untuk mendesign ulang sistem yang ada. Tantangan yang paling berat bagi semua orang adalah mengubah atau mengganti sama sekali prosedur atau mekanisme yang selama ini sudah berjalan. Sistem yang buruk tentu akan menghasilkan produk yang buruk. Oleh sebab itu jika terbukti kejadian medication error umumnya bersumber dari sistem maka tidak ada salahnya untuk mengubah sistem yang ada yang mampu mencegah terjadinya error di masa mendatang. Apabila misalnya sistem pencampuran/peracikan obat yang ada masih bersifat tradisional, manual dan merisiko terjadinya error, maka perubahan ke sistem yang lebih automatik sangat dianjurkan.  
5) Gunakan simulasi jika memungkinkan. Contoh untuk ini adalah di dunia penerbangan yang selalu menggunakan flight simulators untuk menguji kemampuan, ketahanan, dan stamina pilot. Di bidang kefarmasian hal ini bisa dilakukan misalnya dengan interactive computer assissted learning atau dapat juga menggunakan role playing. Pendekatan ini akan sangat bermanfaat bagi petugas untuk setiap saat mawas diri dan mampu bersikap secara benar untuk meminimalkan terjadinya medication error.  
6) Pengumpulan data secara otomatis untuk analisis error. Sistem komputerisasi dan automatisasi dalam proses pengumpulan data medication error akan sangat bermanfaat dalam mendeteksi dini setiap kejadian error. Perintah peresepan melalui komputer juga terbukti menurunkan kejadian error hingga lebih dari 60%. Melalui sistem ini maka setiap komponen yang terlibat akan berpikir beberapa kali untuk memasukkan data secara akurat, misalnya perintah peresepan, instruksi mengenai cara pemberian, dosis dsb.
7) Lakukan evaluasi terhadap kinerja petugas. Jika error sudah terjadi, mekanisme defensif pasti muncul pada diri setiap orang. Tidak ada satupun petugas yang secara ksatria mengakui bahwa dialah yang paling bertanggungjawab dalam kejadian medication error. Oleh sebab itu perlu dikembangkan suatu mekanisme evaluasi yang sistematik dan komprehensif untuk mengetahui kinerja petugas dari waktu ke waktu. Kinerja ini kemudian diumpanbalikkan secara terus menerus sehingga masing-masing petugas mengetahui hal-hal apa saja yang selama ini dilakukannya yang berpotensi menimbulkan medication error. Melalui cara ini maka setiap petugas akan selalu tersadar untuk tidak mengulang hal yang sama di kemudian hari, karena penayangan hasil kinerja yang buruk akan sangat berpengaruh secara psikologis bagi yang bersangkutan.  
8) Antisipasi error melalui sistem koding dan SOP yang lebih baik. Standard operating procedure (SOP) untuk prescribing, transcribing, dispensing dan administering perlu dibuat untuk meminimalkan risiko medication error. Sebagai contoh jika ada bagian resep yang tidak terbaca, maka konsultasi langsung ke penulis resep haruslah menjadi langkah pertama yang harus dilakukan. Pencatatan nama dan alamat pasien sebenarnya merupakan satu SOP yang baik, hanya sayangnya selama ini tidak pernah ada evaluasi harian bagi apotek untuk selanjutnya segera menghubungi pasien pada hari yang sama jika terbukti terjadi kekeliruan.
9) Computerised prescribing. Metode ini telah dilakukan di berbagai rumahsakit di Amerika, khususnya untuk pasien rawat inap. Penulisan resep oleh dokter tidak dilakukan di secarik kertas resep tetapi melalui komputer. Suatu perangkat lunak (software) kemudian menerjemahkan dan menginformasikan mengenai ketepatan dosis, frekuensi, dan cara pemberian obat serta kemungkinan interaksi obat yang terjadi dalam peresepan yang dituliskan oleh dokter. Melalui cara ini risiko medication error dapat dikurangi hingga 75%.

Langkah-langkah di atas merupakan salah satu upaya sistematik yang dapat dikembangkan untuk mencegah terjadinya medication error. Setiap institusi dapat lebih mendetailkan setiap langkah ke dalam satu bentuk standard operating procedure yang dapat diadopsi oleh segenap staf/petugas, baik di apotek, bangsal, maupun poliklinik. Salah satu hal yang penting dipertimbangkan adalah bahwa apabila kita tidak pernah merasa bahwa medication error ada, maka sebenarnya kita sudah menjadi bagian dari medication error itu sendiri.

IV. PENUTUP

Medication error dapat terjadi di mana saja, kapan saja, dan menimpa siapa saja. Dampak yang ditimbulkannya sangatlah beragam mulai yang tidak memberi risiko sama sekali hingga yang berakhir dengan kecacatan atau bahkan kematian. Medication error dapat terjadi di masing-masing proses dari peresepan, mulai dari penulisan resep, pembacaan resep oleh apotek, penyerahan obat, hingga penggunaan obat oleh pasien. Kesalahan dalam salah satu bagian bisa secara berantai meningkatkan risiko medication error di langkah berikutnya dalam proses peresepan. Jika obat sudah mencapai pasien, apalagi diminum atau digunakan, maka yang dapat diharapkan adalah kemungkinan timbulnya risiko efek samping yang dapat diprediksi. Pada situasi ini tentu sangat sulit untuk menjamin bahwa medication error dapat dikurangi. Namun dengan upaya sistematik, baik melalui identifikasi berkala terhadap kinerja, sistem komputerisasi dan automatisasi pengumpulan data hingga penyusunan standard operating prosedur akan dapat meminimalkan risiko terjadinya medication error

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Dilatasi dan Kuretase

Indikasi             Prosedur dilatasi dan kuretase biasanya dilakukan atas indikasi : diagnosis dan terapi perdarahan uterus abnormal, abortus, kanker pada uterus. Teknik Dilatasi Serviks Dilatasi serviks dapat dilakukan dalam anestesi umum, spinal, epidural atau paraservikal, tergantung dari indikasi tindakan. Dilatasi biasanya dilakukan sebelum kuretase tapi juga bisa sebagai tindakan terapeutik pada stenosis servikalis. ·          Pasien dalam posisi litotomi, perineum, vagina dilakukan a dan antisepsis. Pasien dianjurkan untuk berkemih sebelum tindakan, kateterisasi dilakukan bila dicurigai masih terdapat residu urin yang signifikan. ·          Pemeriksaan dalam perlu dilakukan sebelum melakukan dilatasi serviks, menentukan ukuran dan posisi seviks, uterus dan adneksa.   ·          Dipasang spekulum atas dan bawah, serviks ditampakkan. Bibir anterior serviks dijepit dengan tenakulum. ·          Dilakukan inspeksi dengan teliti terhadap serviks dan vagina ·          Terdapat d

Uji Maddox - ROD

Tujuan Tes digunakan untuk mengukur heteroforia atau tropia kecil Dasar Kedua mata melihat dengan fovea Disosiasi terjadi bila dipakai Maddox rod pada mata Alat Kamar yang gelap Filter Maddox rod(terdiri sejumlah silinder plano konveks paralel dengan jarak fokus pendek). Teknik Jarak pemeriksaan dapat jauh ataupun dekat. Kedua mata diberi kacamata koreksi. Maddox rod dipasang pada satu mata (dipakai Maddox merah) biasanya mata kanan. Dengan kedua mata terbuka pasien diminta berfiksasi pada lampu. Pasien diminta menerangkan letak garis (dilihat melalui Maddox rod) bandingkan dengan letak lampu. Bila garis Maddox rod dipasang vertikal maka garis cahaya melalui Maddox rod berupa garis horizontal. Bila garis Maddox rod dipasang horizontal maka garis cahaya melalui Maddox rod berupa garis vertikal. Bila dipasang untuk menyatukannya maka dapat ditentukan berat foria atau tropia. Nilai Bila sinar vertikal M

Morbus Hansen - Kusta

PENDAHULUAN Kusta merupakan salah satu penyakit yang sudah ada sejak dulu. Kata kusta berasal dari bahasa India kusta, dikenal sejak 1400 tahun SM. Kata lepra disebjut dalam kitab Injil, terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnhya mencakup beberapa penyakit lainnya. Ternyata bahwa pelbagai deskripsi mengenai penyakit ini sangat kabur apabila dibandingkan dengan kusta yang dikenal saat ini. Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya adalah Mycobacterium leprae. Bakteri ini bersifat intraseluler obligat, dengan saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke orga lain kecuali susunan saraf pusat. Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan sangat ditakuti oleh karena dapat terjadi ulserasi, mutilasi, dan deformitas. Oleh sebab itu penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga dikucilkan masyarakat disekitarnya akibat cacat pada wajah dan anggota tubuh. Insid