Skip to main content

Diffuse Axonal Injury


I. DEFINISI
Diffuse Axonal Injury (DAI) merupakan trauma kepala yang paling sering terjadi pada cedera otak traumatik, dan terjadi pada setengah dari semua kasus trauma kepala berat dan terjadi juga pada cedera kepala sedang dan ringan. DAI merupakan jenis cedera otak tipe diffuse, yang berarti suatu cedera kepala yang terjadi meliputi daerah kepala yang lebih luas daripada cedera otak secara fokal. DAI adalah lesi cedera yang extensif pada jalur matter putih dan merupakan salah satu penyebab utama penurunan kesadaran penderita.
Berbeda dengan cedera otak yang terjadi akibat benturan langsung maupun suatu deformitas pada otak, DAI terjadi akibat terobeknya axon karena daya accelerasi dan decelerasi yang mendadak akibat dari daya rotasional ataupun daya decelerasi yang hebat. Kecelakaan lalu lintas dengan menggunakan sepeda motor merupakan penyebab yang paling sering dari suatu DAI, penyebab diffuse axonal injury yang lain diantaranya adalah terjatuh, berkelahi, dan kekerasan terhadap anak seperti “shaken baby syndrome
Tanda tanda pada DAI adalah penurunan kesadaran, berlangsung 6 jam atau lebih. Seseorang dengan DAI yang ringan sampai sedang bisa menunjukan gejala lain dari kerusakan otak, tergantung dari daerah yang terkena.
Kerusakan utama yang terjadi pada DAI adalah terputusnya axon sehingga proses komunikasi antara satu neuron dengan neuron yang lain terputus. Jalur axon, yang berwarna putih merupakan selaput myelin, dikenal dengan white matter. Akselerasi menyebabkan cedera berupa robeknya axon, dimana bagian otak yang berbeda densitas dan axis dari arah rotasi akan tergeser antara satu sama yang lain, menyebabkan penegangan pada jalur axon pada bagian yang berbeda densitasnya, terutamanya pada bagian antara white matter dan grey matter. Hal ini menjelaskan bahwa dua per tiga dari diffuse axonal injury terjadi pada daerah pertemuan matter, white matter dan grey matter
DAI juga mengakibatkan matinya sel otak, dimana otak akan membengkak. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan di otak yang dapat mengakibatkan penurunan aliran darah ke otak. Pergeseran otak juga dapat melepaskan bahan kimia yang dapat menyebabkan cedera otak tambahan.
Impact akselerasi dan deselerasi yang secara tiba-tiba menyebabkan terbentuknya daya rotasi yang berefek pada otak. Kerusakan jaringan yang paling parah ialah pada daerah dimana perbedaan densitasnya yang paling terlihat. Hal ini menyebabkan dua per tiga dari lesi DAI terjadi di persimpangan substansia grisea dan substansia alba.
Apabila daya robekan ini terjadi di area di mana perbedaan densitasnya yang sangat besar, maka akson akan mengalami kerusakan sehingga menyebabkan edema dan kebocoran aksoplasmik, yang paling parah adalah pada 2 minggu pertama terjadinya trauma. Lokasi kerusakan tergantung pada bidang rotasi dan tidak dipengaruhi oleh jarak dari titik rotasi. Magnitud kerusakan tergantung pada 3 faktor yaitu jarak dari titik rotasi, arcus rotasi dan durasi serta intensitas daya yang dikenakan.

II. INSIDENS
Diffuse axonal injury terjadi pada setengah dari keseluruhan kasus lesi trauma intra - axial. Diffuse axonal injury jarang menyebabkan kematian. Sebanyak 90% dari semua pasien diffuse axonal injury menderita stase vegetatif persisten. Diffuse axonal injury dapat terjadi pada semua ras dan jenis kelamin, serta segala umur. Beberapa penelitian menyatakan diffuse axonal injury dapat terjadi pada janin dalam uterus jika janin mengalami daya impact yang cukup kuat .

III. FISIOLOGI
Axon merupakan penonjolan panjang yang keluar dari badan sel neuron yang berfungsi membawa impulse keluar dari badan sel neuron ke target sel. Axon merupakan jalur transmisi utama pada sistem nervous, dimana kumpulan axon adalah yang membentuk nervous.
Axon dibalut oleh selaput membran semi - permeabilitas, bilayar phospholipid, yang dapat dilewati oleh beberapa partikel dan tidak dapat dilewati oleh sebagian partikel jenis lain. Axon berfungsi sebagai transmisi impulse nervous, membrane ini bersifat selektif membolehkan pertukaran ion-ion di antara membrans. Membrans ini mempunyai pintu khas yang dikenal sebagai “ion channels” yang bersifat dapat dilewati oleh ions khas. Dua jenis ion channels yang berperan dalam axon adalah Na+ channels dan K+ channels. Pada saat istirahat, terjadi mekanisme pengeluaran ion Na+ dari badan sel dan membentuk suatu potential elektrik menyeberang membranes axon. Ini dikenali sebagai “resting potential”.Pada saat nervous terangsang, suatu gelombang depolarisasi yang explosif terbentuk disepanjang axon sampai ke daerah terminal presinaps. Ini terjadi akibat dari Na+memasuki badan sel melewati Na+ channels.
Pada vertebra kebanyakan axon dari neuron dilapisi oleh selaput myelin, yang akan membentuk 2 jenis sel glial: sel Schwann yang terdapat pada neurons perifer dan oligodendrocytes yang terdapat pada sistem saraf pusat. Sepanjang nervous yang diselaputi oleh selaput myelin, terdapat celah yang dinamakan nodes of Ravier yang berfungsi untuk pelonjatan impulse yang dikenali sebagai saltation.
IV. PATOFISIOLOGI
Impact akselerasi dan deselerasi yang secara tiba-tiba menyebabkan terbentuknya daya rotasi yang berefek pada otak. Kerusakan jaringan yang paling parah ialah pada daerah dimana perbedaan densitasnya yang paling terlihat. Hal ini menyebabkan dua per tiga dari lesi DAI terjadi di persimpangan substansia grisea dan substansia alba.
Apabila daya robekan ini terjadi di area di mana perbedaan densitasnya yang sangat besar, maka akson akan mengalami kerusakan sehingga menyebabkan edema dan kebocoran aksoplasmik, yang paling parah adalah pada 2 minggu pertama terjadinya trauma. Lokasi kerusakan tergantung pada bidang rotasi dan tidak dipengaruhi oleh jarak dari titik rotasi. Magnitud kerusakan tergantung pada 3 faktor yaitu jarak dari titik rotasi, arcus rotasi dan durasi serta intensitas daya yang dikenakan.
Secara mikroskpis, akson yang terkena tidak dirobek secara total pada trauma pertama tetapi trauma masih bisa menyebabkan perubahan fokal pada membran aksoplasmik, lalu menyebabkan gangguan transport aksoplasmik. Hal ini akan menyebabkan edema aksoplamik yang kemudian akan berbelah dua. Akson itu kemudian akan mengalami degenerasi wallerian. Restruktur dendrit bisa terjadi.
Di ganglia basal, efek dari diffuse axonal injury menyebabkan terjadinya atropi parenkim. Astrosit di bagian lateral dan ventral nucleus mengecil, tetapi nucleus anterior dan dorsomedial, pulvinar, nucleus sentromedian dan badan geniculata lateral tidak terefek. Neuron cholinergic lebih mudah rusak pada trauma dibandingkan neuron dengan neurotransmitter lain. Lesi perifer biasanya lebih kecil dibanding dengan lesi sentral. Lesinya biasanya berbentuk ovoid atau elips, dengan aksis panjang paralel dengan arah traktus akson yang terlibat.
Lesi patologik diffuse axonal injury bisa diidentifikasi dengan mengunakan pewarnaan argentum dan protein prekursor beta amyloid.
Secara tipikal, proses cedera pada axon terjadi secara diffuse dan bilateral, terjadi pada pertemuan antara white matter dan grey matter. Corpus callosum juga sering termasmengalami cedera, sebagian dorsolateral dari batang otak. DAI paling sering terjadi padadaerah white matter di frontal dan temporal, diikuti dengan posterior badan dan spienium dari corpus callosum, dan juga terjadi pada nuclei caudal, thalamus, tegmentum dan capsul internal.
Berikut merupakan stage yang dijelaskan oleh Adams dan teman berdasarkan lesi pada lokasi anatomi.
Stage 1
Terkena region parasagittal lobus frontal, periventrikuler lobus temporal, dan jarang, lobus pariental dan lobus occipital, kapsular internal dan external, dan cerebellum.
Stage 2
Terkena juga daerah corpus callosum selain juga daerah matter putih yang terkena di stage 1. Stage 2 ini diobservasi dan sekitar 20% pasien. Paling sering terjadi pada badan posterior dan splenium. Tetapi proses ini dipercaya merupakan cedera advance dari daerah anterior. Kedua- dua sisi corpus collosum bisa terkena, tetapi biasanya terkena pada unilateral dan boleh merupakan hemorrhagic.
Stage 3
Terkena daerah - daerah dari stage 2 dan tambahan terkena pada batang otak.Predileksiterkeluar dari peduncle cerebellar superior, lemnisci medial, dan traktus kortikospinalis.

V. PATOFISIOLOGI CEDERA OTAK SEKUNDER
Perfusi serebral setelah trauma kapitis
Penurunan perfusi serebral (PS) terjadi setelah trauma kapitis, tetapi, arterio-venous oxygen differences (AVDO2) menunjukkan bahwa walaupun terdapat penurunan PS, perfusinya masih jauh lebih tinggi dari kebutuhan metabolik pasien pada waktu ini dan tidak akan menyebabkan iskemia serebral.
Peningkatan PS terjadi pada beberapa hari pertama setelah trauma kapitis. Ini dikenal sebagai hiperemia atau “luxury perfusion”. Pada semua pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial (TIK) pada beberapa hari pertama setelah trauma kapitis, mayoritas (80%) akan mengalami hiperemia, manakala yang lain akan mengalami penurunan PS. Dengan pertimbangan ini, pasien trauma kapitis diklasifikasi di atas 3 kelompok berdasarkan pengukuran PS: PS rendah (55 ml/100 g/min). Pasien trauma kapitis dengan PS yang rendah lebih cenderung mengalami iskemia serebral sekunder karena hipotensi, manakala pasien dengan hiperemia akan mengalami peningkatan TIK. Pasien dengan peningkatan TIK akan mengalami iskemia serebral jikalau peningkatan TIK ini tidak ditangani.
Gangguan Electron Transport Sistem dan Homeostasis Ion
Penurunan tekanan perfusi serebral (TPS) dan/atau hipoksia akan mengakibatkan gangguan electron transport system (ETS), dan fosforilasi oksidatif, yang membutuhkan oksigen sebagai final electron acceptor. Gangguan potensi membran mitokondria akan mengakibatkan penurunan adenosine trifosfat (ATP) yang diperlukan untuk menetapkan potensi membran neuron. Gangguan pada ETS juga mengakibatkan pembentukan radikal oksigen bebas dan enzim oksidatif, yang secara langsung merusakan phospholipid bilayer neuron. Metabolisme anaerob menyebabkan peningkatan produksi laktat, CO2 dan K+ yang kemudiannya akan menurunkan pH dan menyebabkan udem selular lalu mencegah repolarisasi. Hal ini memburuk lagi penurunan ATP.
Eksitotosik Neurotransmitter
Penurunan PS(Konsentrasi PS glutamat, glycine dan aspartat meningkat dua hingga lapan kali lipat setelah trauma kapitis. Glutamat di sinaps membuka Ca2+ channel melalui aktivasi reseptor NMDA. Ca2+ intraselular yang tinggi akan mengaktivasi proses enzim multipel yang akan mengakibatkan uncoupling pada proses fosforilasi oksidatif dan pembentukan radikal bebas. Mekanisme reuptake glutamat juga akan terganggu.
Respon Imun
Pada periode pasca trauma terjadinya supresi kemampuan proliferasi dan konsentrasi sel T, IgG/M dan Il-2 responsive cell. Hal ini korelasi dengan risiko komplikasi infeksi yang tinggi pada 4 hari pertama pasca trauma.
Peningkatan produksi sitokin juga dilaporkan. Sitokin bisa menginhibisi atau mengeksitaki kaskad inflamasi. Elevasi Il-10 yang inhibisi, Il-6 dan Il-8 yang eksitasi, tumor growth factor-beta (TGF-β) dan tumor necrosis factor (TNF) juga dilaporkan. Faktor ini adanya efek direk terhadap disfungsi sawar darah otak dan pelepasan growth factor. Hipotermia mendepresikan Il-6 pada pasien trauma kapitis. Terdapat korelasi antara prognosa baik dengan pasien yang mengekalkan level Il-6 yang rendah setelah pemanasan.
Mikroglia yang teraktivasi akan melepaskan faktor yang menstimulasi produksi molekul adhesif dan menyebabkan migrasi leukosit ke dalam jaringan lalu menyebabkan respons inflamasi yang lanjut.


Protein Trauma Kapitis
Brain trauma-spesific tau proteins telah diidentifikasi dengan antibodi monoclonal yang dikembang dari screening hibridoma trauma kapitis vs pasien kontrol. Pemeriksaan Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) membuktikan bahwa terjadinya peningkatan 1000-kali lipat pada pasien trauma kapitis dibanding kontrol, normal pressure hydrocephalus dan multiple sclerosis. Level specific CSF tau berkadar tidak langsung dengan pemulihan. Isoform spesifik trauma kapitis didapati mengekalkan domain mikrotubule bersatu. Peptida amiloid akan menimbun dalam neuron dengan jejas traumatik.

VI. DIAGNOSIS
Secara klasik, diffuse axonal injury telah diklasifikasi sebagai trauma kepala primer, dengan kerusakan terjadi pada saat terjadinya trauma, Penelitian menunjukkan terdapat komponen yang lain yang menyebabkan diffuse axonal injury, yaitu komponen sekunder, oleh karena axon sudah cedera, edema sekunder akan terjadi padanya, maka terbentuknya benjolan pada axon yang akan menegangkan axon. Pada pasien yang menderita diffuse axonal injury, 80% daripadanya menunjukkandaerah kecederaan multiple pada computer tomography (CT scans).
Keparahan cedera secara mikroskopik biasanya dianggap lebih parah dari penampakan yang terdapat dari diagnostic imaging, dan gejala klinis yang menentukan point ini.Ini menyebabkan diagnosis diffuse axonal injury akan dianjurkaan pada penderita yang mempunyai gejala kliniks yang tidak didukung oleh gambaran CT scans yang telah dibuat pada penderita itu. Diffuse axonal injury menyebabkan kesadaraan menurun pada penderita, dan kebanyakan pasien (> 90%) akan tetap berada dalam keadaan stage vegetatif, oleh karena fungsi batang otak tidak terganggu.


VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
MRI merupakan pemeriksaan penunjang yang menentukan diffuse axonal injury, walaupun kadang- kadang CT scan boleh menunjukkan kemungkinan terjadinya diffuse axonal injury.

VIII. CT SCAN
Dari semua pasien yang terbukti menderitadiffuse axonal injury, 50- 80% menunjukkan hasil CT scan yang normal. Pengambilan CT scan yang sengaja ditunda mungkin membantu menunjukkan edema atau atropi. Petechial hemorrhages yang harus, yang terlokalisasi pada daerah penemuan matter putih dan abu-abu, dan juga pada corpus callosum dan batang otak, merupakan hasil CT scan kecederaan akut yang mendukung diagnosis diffuse axonal injury .
Berikut merupakan kritiria CT scan yang mendukung diagnosis yang dipaparkan oleh Wang dan teman.
·Satu atau lebih perdarahan intraparenchymal yang diameter
·Perdarahaan intraventricular.
·Perdarahan pada corpus callosum.
·Perdarahan fokal yang diameternya
·Perdarahan pada batang otak.

 
IX. PENANGANAN
Penanganan Konservatif
Tujuan penanganan adalah untuk mencegah terjadinya jejas otak sekunder dari hematoma intracranial, iskemia, peningkatan tekanan intracranial denganherniasi tentorium atau tonsilar dan infeksi.
  • Memastikan airway terbuka dan oksigenasi darah yang adekuat. Intubasi untuk pasien yang ‘mengelak dari rangsangan nyeri’ atau lebih parah. Ventilasi mungkin dibutuhkan jika terjadinya depresi respirasi atau gangguan fungsi paru seperti ‘flail chest’, pneumonia aspirasi, contusion pulmo atau emboli lemak. Hipoksia bisa menyebabkan kerusakan serebral direk, dan vasodilatasi yang mengakibatkan peningkatan volume serebral darah lalu menyebabkan peningkatan TIK.
  • Space-occupying hematoma memerlukan evakuasi emergent. Jika kesadaran pasien menurun, bolus mannitol (20% 100ml) i.v diberikan. Koagulasi diperiksa dan deficit dikoreksi.
  • Laserasi kepala harus dibersihkan dan diinspeksi untuk mengeliminasi fraktur kompresi serta dijahit.
  • Hipovolemia dikoreksi- tetapi mencegah terjadinya ‘fluid overload’ yang bisa menyebabkan udem serebral. Pada dewasa, 2L/hari sudah memadaii. Pemberian cairan melalui oral atau NGT mengikut kondisi.
  • Antikonvulsan harus diberikan secara i.v kapan terjadinya kejang. Kejang lanjut dan status epilepticus meningkatkan risiko terjadinya anoksia serebral.
  • Monitor TIK, tekanan darah dan tekanan perfusi serebral pada pasien dengan udem difus atau evakuasi hematoma intrakarnial. Tekanan perfusi serebral dikekalkan dengan meningkatkan tekanan darah atau dengan menangani peningkatan TIK.
  • Brain protective agent seperti scavenger radikal bebas, calcium channel blockers, dan glutamate antagonist bisa diberikan.
  • Defek dural dibaiki secara operatif kalau bocor liquor serebrospinal lebih dari 7 hari.

Penanganan Operatif
Penanganan diffuse axonal injury bersifat konservatif, pembedahan hanya dilakukan pada diffuse axonal injury yang juga disertai dengan perdarahan epidural, perdarahan subdural, ataupun perdarahan intraserebral.
Tujuan operasi adalah untuk mencegah peningkatan tekanan intracranial dan komplikasi yang lain.

X. PROGNOSIS
Prognosis diffuse axonal injury adalah berdasarkan stagesnya. Pada stage 1 murni, prognosis pasien itu adalah terjadi vegetatif, karena pada stage 1 murni, fungsi batang otak tidak terganggu, manakala pada stage 2 dan stage 3, trauma yang terjadi sudah terkena pada bagian berdekatan dengan batang otak, dan biasanya pasien berakhir dengan kegagalan fungsi batang otak.

Comments

Popular posts from this blog

KERJAKANLAH KESELAMATANMU (Filipi 2 : 12 – 18)

Mau diajak percaya kepada Tuhan Yesus pasti banyak yang mau. Karena dengan percaya Yesus kita bisa menerima anugerah hidup kekal. Tapi ketika kita sudah percaya sama Tuhan Yesus, apa yang harus kita lakukan? Dalam renungan kali ini Rasul Paulus mengajak kita semua untuk senantiasa taat. Percaya tanpa taat adalah suatu hal yang sia – sia . Dalam ketaatan itu kita bisa mengerjakan keselamatan kita dengan takut dan gentar. Itulah yang harus kita lakukan sebagai respon atas anugerah keselamatan yang telah Tuhan anugerahkan kepada kita semua. Mengerjakan karya keselamatan dari Allah dengan tidak bersungut – sungut agar bisa menjadi terang dalam dunia yang penuh dengan kegelapan adalah tugas kita sebagai orang percaya. Tidak gampang memang melakukan semua itu. Tapi ingat bahwa Tuhan yang bekerja dalam kita. Kita hanyalah alat Tuhan dalam melakukan pekerjaanNya . Minta kekuatan pada Tuhan agar kita mampu melakukannya sehingga kita tidak mengandalkan kekuatan kita sendiri tapi kekuatan Tuha

Dilatasi dan Kuretase

Indikasi             Prosedur dilatasi dan kuretase biasanya dilakukan atas indikasi : diagnosis dan terapi perdarahan uterus abnormal, abortus, kanker pada uterus. Teknik Dilatasi Serviks Dilatasi serviks dapat dilakukan dalam anestesi umum, spinal, epidural atau paraservikal, tergantung dari indikasi tindakan. Dilatasi biasanya dilakukan sebelum kuretase tapi juga bisa sebagai tindakan terapeutik pada stenosis servikalis. ·          Pasien dalam posisi litotomi, perineum, vagina dilakukan a dan antisepsis. Pasien dianjurkan untuk berkemih sebelum tindakan, kateterisasi dilakukan bila dicurigai masih terdapat residu urin yang signifikan. ·          Pemeriksaan dalam perlu dilakukan sebelum melakukan dilatasi serviks, menentukan ukuran dan posisi seviks, uterus dan adneksa.   ·          Dipasang spekulum atas dan bawah, serviks ditampakkan. Bibir anterior serviks dijepit dengan tenakulum. ·          Dilakukan inspeksi dengan teliti terhadap serviks dan vagina ·          Terdapat d

Morbus Hansen - Kusta

PENDAHULUAN Kusta merupakan salah satu penyakit yang sudah ada sejak dulu. Kata kusta berasal dari bahasa India kusta, dikenal sejak 1400 tahun SM. Kata lepra disebjut dalam kitab Injil, terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnhya mencakup beberapa penyakit lainnya. Ternyata bahwa pelbagai deskripsi mengenai penyakit ini sangat kabur apabila dibandingkan dengan kusta yang dikenal saat ini. Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya adalah Mycobacterium leprae. Bakteri ini bersifat intraseluler obligat, dengan saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke orga lain kecuali susunan saraf pusat. Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan sangat ditakuti oleh karena dapat terjadi ulserasi, mutilasi, dan deformitas. Oleh sebab itu penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga dikucilkan masyarakat disekitarnya akibat cacat pada wajah dan anggota tubuh. Insid