Skip to main content

KARAKTERISTIK SINGLE CELLS RETROGRADE SIGNALING DENGAN FAKTOR NEUROTOPIK DERIVAT OTAK (BDNF)

Factor neurotropik derivate otak (BDNF) merupakan kunci pengaturan keelastisisan saraf hippocampus dalam menghitung system saraf pada orang dewasa. Factor ini dapat dilepaskan dari dendrite saraf pyramidal dan berfungsi sebagai sebuah signal untuk kepentingan komunikasi interselular yang kembali memburuk. Meskipun telah banyak yang telah dipelajari tentang fungsi BDNF melalui stimulasi saraf hippocampus, namun tetap diketahui apakah potensial aksi depolarisasi dari single sel ini mampu melepaskan BDNF yang cukup untuk mempengaruhi tranmisi pada sinaps-sinaps individu. Dalam kasus ini, menunjuk langsung pada modulasi level single sel yang dapat menyembuhkan. Dengan menggunakan K-25 2a, antibody anti BDNF dan pemutusan pelepasan regulasi dapat dipastikan sebuah model di mana post sinaptik depolarisasi dari pelepasan kalsium dependen oleh BDNF yang memperburuk keadaan dan meningkatkan pelepasan pre sinaptik transmitter.



PENDAHULUAN

Pada beberapa tahun belakangan ini, telah jelas bahwa komunikasi antar neuron adalah dua arah, dengan kedua termianal akson dan dendrite yang mampu untuk mengirim dan menerima signal dari pasangan sinapsnya. Ada 2 kategori umum dari retrograde signaling yang terpisah yang terpisah oleh waktu dan model aksinya (Fitsimonds and Poo, 1998; ginty and Segal, 2002). Tipe pertama adalah primarily thropic dan melibatkan transport panjangi target-target signal dari terminal distal sampai ke nucleus. Yang kedua lebih local dan cepat, melibatkan factor- factor pelepasan aktivitas dependen dari saraf post-sinaptik yang terikat pada reseptor di sel presinaps mengakibatkan perubahan jarak kecepatan pelepasan transmitter yang mengakibatkan perubahan struktur signal (Chao, 2003; Du and Poo, 2004; Schmidt, 2004).

Ada kejadian yang mendasari terjadinya pengaruh BDNF pada kedua tipe retrograde signaling. Factor ini dapat dilepaskan dari target sel dan dapat menginduksi endositosis dari reseptornya sendiri yang kemudian dibawa kembali ke dalam tubuh. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa BDNF dapat mendeteksi dengan cepat perubahan pre sinaptik dalam aktivitas sinaptik. Keelastisisan tipe sinaptik ini diketahui bahwa pembakaran aksi potensial dapat mencetuskan pelepasan BDNF tetapi tidak diketahui apakah keterbatasan depolarisasi dari tipe ini dapat diawasi sejak perkembangannya pertama, di mana ini juga dapat menyebabkan pelepasan BDNF. Lebih daripada itu, tidak dapat dibuktikan seluruhnya apakah BDNF benar-benar sebagai molekul retrograde signaling yang berkualitas, khususnya sebagai single sel level. Untuk menyeimbangkan kembali hal ini maka criteria tesnya adalah sebagai berikut : 1. Induksi plepasan post sinaptik dari single sel; 2. Demonstrasikan bahwa pelepasan post sinaptik ini member perubahan pada aktivitas pre sinaptik; 3. Konfirmasikan bahwa BDNF dapat dipindahkan melalui aplikasi dimluar genetic, blok dengan spesifik antagonis dan pelepasan inhibisi. Tujuan penelitian ini adalah untuk menetapkan apakah depolarisasi post sinaptik dapat mengakibatkan pelepasan BDNF dari saraf embrionik hipocampus dan apakah BDNF memuaskan sebagai criteria formal bagi sebuah mlekul retrograde signaling.

METODE

Kultur jaringan

Hipokampus dari janin dikeluarkan dari jaringan otak dan meningen. Saraf hipokampus kemudian dipisahkan dengan tripsinisasi, diikuti dengan triturisasi melalui pasteurisasi. Saraf-saraf yang ditempatkan dalam kapsul poly-D-lysine 35mm Nunc (Napperville, IL) dicuci dan dimasukkan ke dalam media bebas serum. Media bebas serum ini terdiri atas campuran dari Ham’s F-12 dan Eagle’s MEM ditambahkan dengan 25 ug/ml insulin, 100 ug/ml transferring, 60 uM putrescine, 20nM progesterone, 30 nM selenium dan 6 mg/ml glukosa. Sel-sel ini ditempatkan pada piring kaca dengan densitas 4x105 sel/35 mm dan dikembangbiakkan pada suhu 30 oC dalam 5% CO2.

Rekaman Elektrofisiologikal

Rekaman keseluruhan sel patch clamp terlihat setelah 12-15 d dalam kultur. Sekarang dicatat dengan 200 amplifier axopath, digitized pada 2,9 kHz dan disaring pada 1 kHz. Program analisis data digunakan sebelumnya. Solution eksternal bath (neuron recording solution) mengandung 1,67 CaCl2, 1 MgCl2, 5,36 KCl, 137 NaCl, 17 glukosa, 10 HEPES, dan 13,15 sukrosa. Pipette solution mengandung 105 Cs-methanesulfonate, 17,5 CsCl, 10 HEPES, 0,2 EGTA, 8NaCl, 2 Mg-ATP, 2 Na2ATP, 0,3 Na-GTP, dan 20 fosfokreatinin. pH dari internal solution, diatur hingga 7,3 dengan C5OH. Tipe jarak dari resisten pipette adalah 3-5 M(omega). Untuk merekam mESPCs, perfusi solusi NRS dan BDNF mengandung 1(mikro)m tetrodotoxin. Tipe sel pyramidal didapatkan pada mode jepitan voltase dan potensial membrane dispesifikasi seperti pada tulisan.

KRITERIA KEJADIAN

Kejadian dimasukkn untuk dianalisa jika memiliki amplitude minimum yaitu 5pA atau 25 % lebih besar dari bats ambang kebisingan. Criteria tambahan termasuk kenaikan cepat, puncak yang jelas, dan kerusakan monoeksponensial. Kejadian memenuhi criteria di mana dipredominasi oleh miniature glutamatergic EPSC5 (mEPSC5) diperoleh dengan perfusi dari CNQX dan AP-5. Untuk saat ini rangkaian analisis respon ditegaskan untuk menopang kejadian dalam aktifitas sekurangnya 2 SEs di atas normal. Konsisten dengan pekerjaan sebelumnya. Mayoritas neuron tercatat pada kondisi di bawah control direspon hingga depolarisasi -40 mV dengan kenaikan dalam frekuensi MEPSC. Sebagian kecil sel yang tidak berespon diasumsi menjadi subtype neuronal berbeda dan tidak dimasukkan dalam analisa.

Konstruksi DNA

Vector viral yang diambil dari HIV berdasarkan lentiviral tulang belakang yang ditetapkan oleh dr. K Ressler (Universitas Emory, Atlanta, GA). Plasmid lentivirus mengandung protein flouresent hijau (GFP) adalah pWPT-GFP. Konstruksi Box1 dan Box2+3 mengandung BDNF encoding amino 19-43 dan 44-102, respectively, bergabung dengan GFP dan subkloning ke dalam pWPT-GFP vector menggantikan fragmen GFP menggunakan BamHI dan Salt.

Transfeksi

Sel-sel yang tertransfeksi dengan metode CaP. Untuk tiap konstruksi, 4ul dari 2mM CaCl2/35mm dikombinasi dalam tabung Eppendorf dgn 3ug dari DNA dan 20 ul air steril. 30mL dari 2xHBS (dalam mM: 274 NaCl, 10KCl, 1,4 Na2HPO4, 15 glukosa, 42 HEPES). Ditambahkan dopwise pada setiap tabung dan disimpan dalam gelap selama 30 menit pada suhu ruangan. Kultur neuron dicuci 2x dan SFM, dan 30 ul campuran DNA ditambahkan pada tiap bagian dan ditaruh kembali dalam incubator untuk 20 menit. Kultur dicuci lagi 2x dan SFM setelah ditambahkan 1,5 ml media yang sudah dipelajari sebelum mengembalikan sel ke incubator. Sel di transfected 3-4 d in vitro dan dikenal 9 d kemudian.

HASIL

Objektivitas dari studi ini dinilai ari pelepasan BDNF sebagai respon untuk depolarisasi moderate dan utuk menguji secara formal, meskipun BDNF memenuhi criteria untuk retrograde messenger. Pada sebagian, diuji secara berurutan 1. Depolarisasi induce pelepasan BDNF dari neuron post sinaptik tunggal. 2. Kapabilitas dari pelepasan BDNF untuk berdifusi ke neuron pre sinaps dan memodulasi pelepasan transmitter. 3. Konfirmasi BDNF merupakan difussible messenger oleh efek rekapitulasi dari depolarisasi dengan aplikasi dari BDNF eksogen dan oleh efek pencegahan dari depolarisasi dengan BDNF spesifik blocking compound, dan menginhibisis regulasi pelepasan BDNF.

Ditetapkan dua criteria utama dengan menggunakan sel utuh dengan patch-clamp dari kultur embrionik saraf hipokampus selama 18 hari. Saat dikultur dan diatur lebih dari 12 hari in vitro, neuron-neuron ini membentuk jaringan sinaptik. Pelepasan BDNF dari saraf-saraf individu, diinduksi dengan depolarisasi lanngsung dari sel itu sendiri. Perubahan dalam aktivitas presinaptik dipengaruhi oleh aplikasi TTX yang mengijinkan mEPSC direkam secara spontan dari sel yang direkam tersebut. Frekuensi dari mEPSC kemudian digunakan sebagai alat ukur probabilitas pelepasan pre sinaptik. Saat depolarisasi pada membrane potensial -40 mV, lebih dari 85 % dari saraf-saraf yang terekam, menunjukkan peningkatan yang berangsur-angsur dalam frekuensi mEPSCs (239 +/_ 46% dari baseline; n=8). Peningkatan dalam frekuensi ini bukan langsung merupakan hasil dari rekaman karena sel-sel yang ada pada potensial yang lebih negative -70 mV tidak menunjukkan peningkatan yang sam dalam aktivitasnya di antara sel-sel yang lain (112+/- 13%; n=7). Data ini merekomendasikan bahwa depolarisasi dari sel postsinaptik cukup untuk mencetuskan pelepasan dendrite BDNF yang kemudian berdifusi ke terminal dari saraf presinaptik pada probabilitas pelepasan presinaps yang lain. Validasi dari hipotesis ini sebagaimana 3 kriteria di atas.

Untuk mengesahkan hipotesis ini, seperti halnya kriteria/ukuran yang ketiga diatas, kita menguji masing-masing langkah kritis tersebut dalam proses retrograde signaling yang menunjukkan bahwa (1) aplikasi exogenous dari BDNF yang direproduksi pada efek depolarisasi, (2) respon yang tergantung pada aktivasi presinaptik trkB, (3) BDNF yang dilepaskan pada medium ekstraseluler dapat berdifusi pada neuron presinaptik, dan (4) sekresi BDNF tergantung pada pelepasan regulasi dari saraf presinaptik.

Seperti yang diharapkan oleh beberapa studi sebelumnya yang telah dilakukan (Poo, 2001; Alder et al., 2005), aplikasi dari BDNF didapatkan bahwa kira-kira double frekuensi mEPSC yang mulai antara 5min dari onset pembukaan, mirip dengan batasan yang telah diproduksi ketika saraf presinaptik terjadi pada -40mV. Percobaan ini menunjukkan bahwa -70 mV berpotensi untuk merespon BDNF pada Figure 1.

Pelepasan BDNF dari saraf presinaptik dapat dilakukan dalam reseptor trkB postsinaptik atau presinaptik. Walaupun perubahan frekusensi dalam mEPSC didiagnostik dari aksi presinaptik, penjelasan lain bisa menjadi mungkin. Untuk menentukan ini tanpa ragu-ragu, kami menambahkan trk inhibitor K252a atau termasuk pada larutan dalam pipet sementara mempertahankan potensial holding pada -40 mV. Tadinya kondisi sebelumnya diharapkan untuk bisa mempengaruhi kedua reseptor postsinaptik dan presinaptik, sedangkan kondisi selanjutnya akan memproduksi inhibisi yang terbatas pada sel postsinaptik. Konsisten dengan model kami, aplikasi bath dari K252a mencegah efek depolarisasi dari saraf postsinaptik, sedangkan aplikasi postsinaptik pada inhibitor tidak (Fig. 2B)

Untuk mengkonfirmasi peningkatan frekuensi mEPSC tergantung pada peningkatan BDNF pada lingkungan ekstraseluler, dan juga menggunakan manipulasi spesifik pada BDNF, kami mendepolarisasikan saraf pada -40 mV tapi menambahkan fungsi bloking anti-BDNF antibody (Promega, Madison, WT) pada solusi perfusi. Dibawah kondisi ini, frekuensi mEPSC menyisahkan secara keseluruhan rekaman tersebut. Untuk menguji kalsium yang tergantung pada peningkatan BDNF, kami meningkatkan konsentrasi EGTA dalam solusi pipet kamu dari 0,2 mM sampai 10 mM. manipulasi ini mencegah efek depolarisasi dari frekuensi mEPSC (Fig.2C)./

Untuk menetapkan depolarisasi yang menimbulkan peningkatan BDNF yang diatur, kami mentransfeksi saraf dengan GFP peleburan protein yang berisi daerah prodomain BDNF. Transfeksi protein berisi asam amino 44-102 dari prodomain [box 2+3 (Chen et al., 2005)] mencegah interaksi BDNF dengan sortilin dan sebagai hasilnya, terjadi peningkatan regulasi (Chen et al., 2005). Rekaman dari transfeksi (GFP-positif) sel menunjukkan bahwa depolarisasi tidak lagi menimbulkan peningkatan frekuensi mESPC. Sebagai kontrolnya, kami mentransfeksikan dengan protein yang mengandung asam amino 19-43 pada prodomain BDNF yang tidak mempengaruhi peningkatan BDNF. Untuk sel-sel ini, depolarisasi yang ditimbulkan diharapkan memberi respon.

Ketika kami menguji agregasi, data yang mendukung model dimana depolarisasi tonik menimbulkan peningkatan BDNF, dimana difus dari saraf postsinaptik ke saraf presinaptik, yang kemudian emngelevasi frekuensi mEPSC. Manipulasi yang bertentangan dengan pemilihan langkah-langkah ini mencegah terjadinya depolarisasi. Manipulasi itu tidak bertentangan dengan langkah-langkah ini.

DISKUSI

Secara bersama, data kami menunjukan bahwa depolarisasi tergantung peningkatan BDNF dari saraf postsinaptik yang dapat memproduksi potensial transmisi pada pasangan presinaptik mereka. Gangguan elevasi dari kalsium intraseluler, pelepasan yang diatur, difusi, dan presinaptik trkB semuanya mencegah respon presinaptik, begitu mengindikasi bahwa BDNF secara penuh memenuhi syarat sebagai molekul pemberi signal transinaptik retrograde. Walaupun aktivitas tergantung pada peningkatan BDNF telah dijelaskan sebelumnya, kami sekarang menunjukkan bahwa pelepasan ini dapa mengoperasi pada level sel yang spesifik yang tidak memerlukan penembakan aksi potensial.

Kemampuan dari depolarisasi tonik untuk menimbulkan peningkatan BDNF adalah aspek novel dalam studi ini. Untuk alasan penjelasan dibawah, kami memilih -40 mV sebagai stimulus kami, dimana kira-kira apa yang akan dicapai oleh elevasi konsenrasi K+ 10 mM. untuk menguji mediator potensial dari efek ini, kami mengkonduksi rekaman dimana konsentrasi intraseluler dari EGTA ditingkatkan mulai dari 0,2 mM sampai 10 mM agar supaya menumpulkan peningkatan dari kalsium intraseluler. Kalsium influx telah ditunjukkan………….





Penelitian ini juga menunjukkan bahwa depolarisasi dari presinaps secara dramatis meningkatkan kemampuan BDNF sebagai neuromuscular sinaps Xenopus. Sebaliknya telah ditunjukkan dalam kultur saraf hippocampus pada pelepasan sinaps yang rendah kemungkinan dipengaruhi oleh BDNF di luar gen. sebuah cara yang menarik unytuk menyatukan temuan ini adalah dengan menyatukan sinaps-sinaps yang secara khusus dicurigai sebagai BDNF, akan tetapi semakin mereka matang dibutuhkan depolarisasi kembali untuk mempengaruhi sampai muncul manifestasinya.

Pelepasan BDNF telah dicapai dengan berbagai macam cara dan pendekatan. Tujuan kedua dari penelitian ini adalah menyatukan kedua aspek yang berbeda dengan mempelajari pelepasan BDNF secara endogen dalam single sel level dan menjawab pertanyaan apakah BDNF memenuhi criteria sebagai retrograde messenger. Dalam berbagai penjelasan oleh Alger (2002), criteria ini didaftarkan berdasarkan transmisi retrograde dengan endocannabinnoid. Meskipun aksi pre sinaptik muncul dalam waktu yang lebih lambat dibandingkan endo cannabinnoid pendekatannya relevan karena fungsi dari pelepasan BDNF endogen dari single sel belum dapat dipastikan, meskipun berbagai penelitian tentang BDNF telah memberikan informasi yang tidak dapat dipastikan, sebab hal ini dapat dikritik sebagai suatu kepalsuan karena pelepasan BDNF dapat diakibatkan oleh produksi BDNF yang berlebihan. Sehingga digunakan penjelasan yang lebih baik melalui frkuensi mEPSC sebagai indikator pelepasan BDNF endogen. Dengan mendepolarisasi sebuah neuron menjadi 40 mV dan mereksm frekuensinya dalam mEPSC dapat diketahui bahwa stimulasi fisiologi dapat mencetus respon fungsional. Dengan menggunakan selektif blocker BDNF, dapat diidentifikasi sebagai BDNF, memenuhi criteria sebagai transmisi retrograde.

Regulasi Pelepasan BDNF menunjukkan fungsi dari pertumbuhan neurit dan formasi spinal mulai dari formasi pendek sampai panjang pada keelastisisan sinaps untuk dikenali dan dipelajari. Mechanisme dari pelepasan ini berangsur-angsur dimengerti bahwa respon interaksi molecular untuk pengaturan dan pelepasan telah teridentifikasi, akan tetapi berbagai isu-isu fungsional masih perlu diklarifikasi. Selanjutnya sangat penting untuk menilai kembali hubungan antara anterograde dan retrograde BDNF signaling, keduanya memiliki stimulisasi dan hasl fungsional yang berbeda.

Comments

Popular posts from this blog

KERJAKANLAH KESELAMATANMU (Filipi 2 : 12 – 18)

Mau diajak percaya kepada Tuhan Yesus pasti banyak yang mau. Karena dengan percaya Yesus kita bisa menerima anugerah hidup kekal. Tapi ketika kita sudah percaya sama Tuhan Yesus, apa yang harus kita lakukan? Dalam renungan kali ini Rasul Paulus mengajak kita semua untuk senantiasa taat. Percaya tanpa taat adalah suatu hal yang sia – sia . Dalam ketaatan itu kita bisa mengerjakan keselamatan kita dengan takut dan gentar. Itulah yang harus kita lakukan sebagai respon atas anugerah keselamatan yang telah Tuhan anugerahkan kepada kita semua. Mengerjakan karya keselamatan dari Allah dengan tidak bersungut – sungut agar bisa menjadi terang dalam dunia yang penuh dengan kegelapan adalah tugas kita sebagai orang percaya. Tidak gampang memang melakukan semua itu. Tapi ingat bahwa Tuhan yang bekerja dalam kita. Kita hanyalah alat Tuhan dalam melakukan pekerjaanNya . Minta kekuatan pada Tuhan agar kita mampu melakukannya sehingga kita tidak mengandalkan kekuatan kita sendiri tapi kekuatan Tuha

Dilatasi dan Kuretase

Indikasi             Prosedur dilatasi dan kuretase biasanya dilakukan atas indikasi : diagnosis dan terapi perdarahan uterus abnormal, abortus, kanker pada uterus. Teknik Dilatasi Serviks Dilatasi serviks dapat dilakukan dalam anestesi umum, spinal, epidural atau paraservikal, tergantung dari indikasi tindakan. Dilatasi biasanya dilakukan sebelum kuretase tapi juga bisa sebagai tindakan terapeutik pada stenosis servikalis. ·          Pasien dalam posisi litotomi, perineum, vagina dilakukan a dan antisepsis. Pasien dianjurkan untuk berkemih sebelum tindakan, kateterisasi dilakukan bila dicurigai masih terdapat residu urin yang signifikan. ·          Pemeriksaan dalam perlu dilakukan sebelum melakukan dilatasi serviks, menentukan ukuran dan posisi seviks, uterus dan adneksa.   ·          Dipasang spekulum atas dan bawah, serviks ditampakkan. Bibir anterior serviks dijepit dengan tenakulum. ·          Dilakukan inspeksi dengan teliti terhadap serviks dan vagina ·          Terdapat d

Morbus Hansen - Kusta

PENDAHULUAN Kusta merupakan salah satu penyakit yang sudah ada sejak dulu. Kata kusta berasal dari bahasa India kusta, dikenal sejak 1400 tahun SM. Kata lepra disebjut dalam kitab Injil, terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnhya mencakup beberapa penyakit lainnya. Ternyata bahwa pelbagai deskripsi mengenai penyakit ini sangat kabur apabila dibandingkan dengan kusta yang dikenal saat ini. Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya adalah Mycobacterium leprae. Bakteri ini bersifat intraseluler obligat, dengan saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke orga lain kecuali susunan saraf pusat. Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan sangat ditakuti oleh karena dapat terjadi ulserasi, mutilasi, dan deformitas. Oleh sebab itu penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga dikucilkan masyarakat disekitarnya akibat cacat pada wajah dan anggota tubuh. Insid