Skip to main content

Sindrom Nefrotik pada Anak

ENDAHULUAN

Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling sering ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan prevalensi berkisar 12-16 kasus per 100.000 anak. Di Negara berkembang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anal berusia kurang dari 14 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1.1,2
Etiologi SN dibagi 3 yaitu congenital, primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti penyakit sistemik (LES), purpura Henoch Schonlein, dll. 1,3
Pasien SN biasanya datang dengan edema palpebra atau pretibia. Bila lebih berat akan disertai asites, efusi pleura, dan edema genitalia. Kadang-kadang disertai oligouria dan gejala infeksi, nafsu makan berkurang, dan diare. Bila disertai sakit perut, hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya peritonitis atau hipovolemia. Dalam laporan ISKDC (International study for kidney diseases in children), pada  sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) ditemukan 22% dengan hematuria mikroskopik, 15-20% diserati hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah yang bersifat sementara.1,2,4
Pada anak sebagian besar (80%) SN idiopatik mempunyai gambaran patologi anatomi lainnya adalah glomenrulosklerosis fokal segmental (GSFS) 7-8%, mesangial proliferative difus (MPD) 2-5%, glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP) 4-6%, dan nefropati membranosa (GNM) 1,5%. Pada pengobatan kortikosteroid inisial sebagian besar SNKM (94%) mengalami remisi total (responsive), sedangkan pada GSFS 80-85% tidak responsive (resisten steroid).1,4,5
Prognosis jangka panjang SNKM selama pengamatan 20 tahun menunjukkan hanya 4-5% menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan  pada GSFS 25% menjadi gagal ginjal terminal dalam 5 tahun dan pada sebagian besar lainnya disertai penurunan fungsi ginjal. Pada berbagai penelitian jangka panjang ternyata respons terhadap pengobatan steroid yang lebih sering digunakan untuk menentukan prognosis dibandingkan dengan gambaran patologi anatomi.1,2


LAPORAN KASUS

RT, seorang anak laki-laki, suku Papua, berusia 9 tahun, masuk di RSUP Prof R. D. Kandou Manado pada tanggal 9 Januari 2010 pada pukul 02.00 WITA dengan keluhan muka dan perut bengkak sejak + 1 bulan yang lalu.

Alloanamnesis (diperoleh dari ibu penderita)
Penderita mengalami bengkak di wajah dan perut sejak + 1 bulan yang lalu. Awalnya bengkak pada kedua kelopak mata, tetapi lambat lain wajah juga tampak bengkak. Kurang lebih 1 minggu kemudian ada tampak bengkak pada mata  dan wajah baru oleh orang-tuanya penderita dibawa berobat ke RSU Serui (Papua), disana penderita di diagnose dengan penyakit ginjal dan selam ini penderita hanya berobat jalan selama + 1 bulan. Selama pengobatan penderita tampak lebih kelihatan bengkak pada wajahnya dan perut tampak lebih buncit, penderita tampak lebih mudah kelelahan/capek menurut orang-tuanya, karena sebelum sakit penderita masih bisa berolahraga.
Mual tidak ada, muntah tidak ada, sesak juga tidak dikeluhkan oleh penderita.
Karena tidak ada perbaikan secara klinis akhirnya penderita dibawa berobat ke RSUP Prof. dr. R. D. Kandou, atas saran dokter yang merawat penderita.
BAK seperti air cucian daging, berwarna keruh dengan frekuensi sering dan banyak dialami penderita + 1 bulan yang lalu. Riwayat nyeri kencing tidak ada.
Riwayat batuk pilek pernah dialami penderita. Riwayat batuk-batuk lama disangkal oleh penderita, namun penderita sering mengalami batuk pilek walau waktunya tidak terlalu lama. Riwayat luka-luka pada kulit sebelumnya disangkal.
Penderita disana sudah mulai pengobatan penyakit ginjalnya sejak tanggal 23 November 2009. Dari hasil pemeriksaan urine terakhir tanggal 1 Desember 2009 hasil negative 1 kali. Pada tanggal 23 November, hasil pemeriksaan proteinuri (+), dan pada tanggal 26 November 2009 hasil pemeriksaan protein urin (++), sedangkan pada tanggal 1 Desember 2009, pemeriksaan protein urin (-). Saat mulai terapi berat badan 28,5 kg. sekarang berat badan naik 32 kg.

Anamnesis Antenatal
Pemeriksaan antenatal selama kehamilan teratur di Puskesmas. Ibu diimunisasi tetanus toksoid sebanyak 2 kali. Riwayat penyakit sewaktu hamil disangkal. Pasien lahir secara spontan letak belakang kepala, di klinik Papua, ditolong oleh bidan, berat lahir 3600 gram.

Riwayat Penyakit yang Pernah Dialami
Penderita pernah mengalami sakit morbili, diare, dan batuk/pilek


Kepandaian dan Kemajuan Bayi
Pertama kali membalik 2    bulan
Pertama kali tengkurap 3 bulan
Pertama kali duduk 9 bulan
Pertama kali merangkak 7 bulan
Pertama kali berdiri 10   bulan
Pertama kali berjalan 12 bulan
Pertama kali tertawa 3 bulan
Pertama kali berceloteh    4 bulan
Pertama kali memanggil mama 12 bulan
Pertama kali memanggil papa 12 bulan

Anamnesis Makanan
- ASI :    Lahir – 6 bulan
- PASI : 4 bulan – 1 tahun
- Bubur susu :    -
- Bubur saring :    -
- Bubur halus :    -
- Nasi lembek :    1 tahun – sekarang

Riwayat Imnunisasi
- BCG :    1x
- Polio    : 3x
- DPT    : 3x
- Campak : 1x
- Hepatitis B : 3x

Riwayat Keluarga
Ayah pasien berumur 36 tahun, pekerjaan swasta dengan pendidikan terakhir SMA. Ibu berumur 36 tahun dengan pendidikan terakhir S1.

Keadaan Sosial, Ekonomi, Kebiasaan, dan Lingkungan
Penderita tinggal di rumah beton, beratap seng, berdinding beton, berlantai tegel, 2 kamar, dengan 2 orang dewasa dan 3 anak. Kamar mandi dan WC ada di dalam rumah. Sumber air minum dari PDAM, sumber penerangan listrik dari PLN dan penanganan sampah dibuang di tempat pembuangan sampah.

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit
Keadaan mental : Kompos Mentis
Berat Badan : 32 kg Tinggi badan : 134 cm
Tanda vital : Tekanan darah : 110/80 mmHg
Frekuensi nadi : 80 x/menit
Frekuensi respirasi :24 x/menit
Suhu badan : 360C
Kepala : bentuk bulat lonjong, rambut hitam tidak mudah dicabut, edema wajah (+)
 Mata :    konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, pernafasan cuping hidung tidak ada. Pupil bulat, isokor dengan diameter 3 mm, reflex cahaya ada. Mata cowong tidak ada, air mata tidak ada. Edema palpebra (+)
 Telinga : Tidak ada sekret
 Hidung    : Tidak ada sekret
 Mulut    : bibir tidak ada sianosis, lidah tidak kotor, gigi tidak ada caries, gusi tidak mengalami perdarahan.
Tenggorokan : Tonsil    tidak hiperemis, faring tidak hiperemis
Leher :    Pembesarab KGB tidak ada, trakea letak ditengah.
Thorax : Bentuk simetris, tidak ada retraksi. Suara pernapasan bronkovesikuler, tidak ada ronki dan wheezing. Tidak ada bising jantung.
Abdomen    : Bentuk cembung, lemas, hepar dan lien tidak teraba, bising usus normal, turgor kulit kembali lambat, lingkar perut 64 cm, ascites (+)
Genitalia : Laki-laki, tidak dijumpai adanya kelainan.

Pemeriksaan Laboratorium
- Albumin : 5,2 g% (normal : 3,5 – 5,5 g %)
- Protein total    : 6,2 g% (normal : 6,0 – 8,0 g %)

Diagnosis : Sindroma nefrotik sensitive steroid

Penatalaksanaan :
-Furosemid 1x30 mg
-Prednisone 3 – 3 – 2 (Alternating Dose)
-Diet protein = 1,5 – 2 gr/kgBB/hari = 48 gr/hari
-Balans dieresis
-Observasi tanda vital

Anjuran pemeriksaan :
-DL, DDR
-Elektrolit
-Ureum, kreatinin
-Urinalisis lengkap
-Albumin
-Kolesterol total
-Protein total
-Urine bakar


DISKUSI

Sindroma nefrotik adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala :1,2,5,7
-Proteinuria massif (>40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kgBB/hari atau ratio protein/kreatinin pada urin sewaktu  > 2mg/dl atau dipstick > 2+)
-Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
-Edema
-Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL

Pada kasus ini pasien datang dengan keluhan utama bengkak pada wajah dan perut sejak + 1 bulan SMRS. Berdasarkan keluhan tersebut, dipikirkan diagnosis banding penyakit ginjal, penyakit hati, penyakit jantung, serta malnutrisi.
Berdasarkan anamnesis, diketahui pasien tidak mempunyai gangguan nafsu makan ataupun gangguan pola makan. Dari pemeriksaan fisik dan status antopometri (Z score WHO) tidak ditemukan tanda-tanda kurang gizi berupa wasting, baggy pants. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka diagnosis banding malnutrisi disingkirkan. Menurut keluarganya, pasien tidak pernah tampak kuning, BAK tidak berwarna teh atau BAB yang berwarna dempul. Dari pemeriksaan fisik tidak didapatkan sclera ikterik serta tidak ada organomegali. Dengan demikian diagnosis penyakit hati dapat disingkirkan. Kini, diagnosis kerja pasien adalah penyakit ginjal.
Berdasarkan anamnesis, dikatakan bahwa bengkak dimulai dari kelopak mata, terutama saat bangun tidur. Kemudian bengkak tampak juga diseluruh wajah. Dikatakan tidak ada riwayat sakit tenggorokan, nyeri menelan ataupun penyakit kulit pada pasien.
Dari hasil pemeriksaan fisik, tidak didapatkan hipertensi, terdapat edema palpebra, asites serta pitting edema pada kedua tungkai dan tidak ditemukan organomegali. Berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang, didapatkan proteinuria, hipoalbuminemia. Hal-hal tersebut mendukung diagnosis sindroma nefrotik. Kemungkinan glomerulonefritis post streptokokus dapat disingkirkan dari data anamnesis yang tidak didapatkan adanya riwayat infeksi streptokokus terutama pada tenggorokan maupun kulit. Hematuria yang terjadi pada pasien ini memang bukan tanda khas pada sindrom nefrotik, namun terdapat 25% pasien sindrom nefrotik yang mengalami hematuri mikroskopik.5,7

Etiologi
Sebab yang pasti dari SN ini belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen antibodi.3,5,6 Umumnya para ahli membagi etiologinya menjadi :5,6,7
1.Sindroma nefrotik bawaan
Diturunkan secara resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Resisten terhadap semua pengobatan, gejalanya adalah edema pada masa neonatus. Prognosisnya buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya .
2.Sindroma nefrotik sekunder

Sindroma nefrotik yang dapat disebabkan oleh :
a.Malaria kuartana atau parasit lain
b.Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid
c.Glomerulonefritis akut atau glomerulonefritis kronis dan trombosis vena renalis.
d.Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan lebah, air raksa.
e.Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif hipokomplementemik.

Batasan1
Remisi:    proteinuria negative atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturu-turut dalam 1 minggu
Relaps:    proteinuria > 2+ (proteinuria > 40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.
Relaps jarang:relaps kurang dari 2x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau kurang dari 4 x per tahun pengamatan
Relaps sering :    (frequent relaps) : relaps 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau > 4x dalam periode 1 tahun
Dependen steroid : relaps 2x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan (alternating) atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan.
Resisten steroid : tidak terjadi remisi pada pengobatan prednisone dosis penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu
Sensitive steroid : remisi terjadi pada pemberian prednisone dosis penuh selama 4 minggu.

Pemeriksaan Penunjang1,4,6,7
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain :
1. Urinalisis, biakan urin hanya dilakukan bila didapatkan gejala klinis yang megnarah kepada infeksi saluran kemih.
2. Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari.
3. Pemeriksaan darah
a. Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit, hematokrit)
b. Albumin dan kolesterol serum
c. Ureum, kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik
d. Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-DNA

Tata Laksana1,2,5,
- Diet protein
Pada pasien dengan sindroma nefrotik, diet tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolism protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diet rendah protein maka akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan  hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diet protein sesuai dengan RDA (recommended daily allowance) yaitu 1,5-2 g/kgBB/hari. Pada pasien ini diberikan diet rendah protein 2 gr/kgBB/hari. Diet rendah garam 1-2 g/hari dan pada pasien ini diberikan 1 g/hari, hanya diperlukan selama anak menderita edema.

- Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgBB/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretic hemat kalium) 2-4 mg/kgBB/hari. Pada pasien ini diberikan Furosemid 1x30 mg/hari, sedangkan pemberian spironoloakton tidak diberikan kepada pasien ini. Sebelum pemberian diuretic, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretic lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah.
Bila pemberian diuretic tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (< 1g/dL), dapat diberikan infuse albumin 20-25% dengan dosis 1g/kgBB selama 24 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgBB. Bila diperlukan, suspense albumin dapat diberikan selang sehari untuk memberi kesempatan perfeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang. Tapi pada pasien ini tidak diberikan infuse albumin karena tidak terdapat hipovolemia atau hipoalbuminemia yang berat.

- Imunisasi
Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid > 2 mg/kgBB/hari atau total > 20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien imunokompromais. Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus mati, seperti IPV (inactivated polio vaccine). Setelah penghentian prednisone selama 6 minggu dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak dengan SN sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan varisela.

Pengobatan dengan kortikosteroid1
Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila ada kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prenison atau prednisolon. Pada kasus ini pasien diberikan jenis steroid prednisone.

Terapi Inisial
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi steroid adalah diberikan prednisone 60 mg/m2LPB/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednisone dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednisone dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgBB/hari, secara alternating (selang sehari), 1x sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.
Pada pasien ini, sebulan sebelumnya telah diterapi dengan kortikosteroid (menurut anamnesis dari keluarga – 23 November 2009). Dan pasien masuk ke RSUP Prof. dr. R. D. Kandou Manado setelah mendapat terapi selama sebulan dari tempat sebelumnya. Jadi, terapi dilanjutkan lagi dengan Prednison full dose (dosis penuh) sampai kemudian dilakukan tes bahwa pasien mengalami SN sensitive steroid. Terapi kemudian dilanjutkan dengan  Prednison 2/3 dosis awal secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi selama 4 minggu.


PROGNOSIS 5,6,7
Prognosis pada pasien ini sangat ditentukan oleh pemberian terapi yang adekuat serta pemantauan terapi yang terus menerus. Oleh karena itu pemberian edukasi terhadap keluarga juga sangat penting. Keluarga pasien perlu diberitahukan mengenai keadaan diet pasien, pentingnya makan obat teratur serta komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien ini.

Comments

Popular posts from this blog

Dilatasi dan Kuretase

Indikasi             Prosedur dilatasi dan kuretase biasanya dilakukan atas indikasi : diagnosis dan terapi perdarahan uterus abnormal, abortus, kanker pada uterus. Teknik Dilatasi Serviks Dilatasi serviks dapat dilakukan dalam anestesi umum, spinal, epidural atau paraservikal, tergantung dari indikasi tindakan. Dilatasi biasanya dilakukan sebelum kuretase tapi juga bisa sebagai tindakan terapeutik pada stenosis servikalis. ·          Pasien dalam posisi litotomi, perineum, vagina dilakukan a dan antisepsis. Pasien dianjurkan untuk berkemih sebelum tindakan, kateterisasi dilakukan bila dicurigai masih terdapat residu urin yang signifikan. ·          Pemeriksaan dalam perlu dilakukan sebelum melakukan dilatasi serviks, menentukan ukuran dan posisi seviks, uterus dan adneksa.   ·          Dipasang spekulum atas dan bawah, serviks ditampakkan. Bibir anterior serviks dijepit dengan tenakulum. ·          Dilakukan inspeksi dengan teliti terhadap serviks dan vagina ·          Terdapat d

Uji Maddox - ROD

Tujuan Tes digunakan untuk mengukur heteroforia atau tropia kecil Dasar Kedua mata melihat dengan fovea Disosiasi terjadi bila dipakai Maddox rod pada mata Alat Kamar yang gelap Filter Maddox rod(terdiri sejumlah silinder plano konveks paralel dengan jarak fokus pendek). Teknik Jarak pemeriksaan dapat jauh ataupun dekat. Kedua mata diberi kacamata koreksi. Maddox rod dipasang pada satu mata (dipakai Maddox merah) biasanya mata kanan. Dengan kedua mata terbuka pasien diminta berfiksasi pada lampu. Pasien diminta menerangkan letak garis (dilihat melalui Maddox rod) bandingkan dengan letak lampu. Bila garis Maddox rod dipasang vertikal maka garis cahaya melalui Maddox rod berupa garis horizontal. Bila garis Maddox rod dipasang horizontal maka garis cahaya melalui Maddox rod berupa garis vertikal. Bila dipasang untuk menyatukannya maka dapat ditentukan berat foria atau tropia. Nilai Bila sinar vertikal M

Morbus Hansen - Kusta

PENDAHULUAN Kusta merupakan salah satu penyakit yang sudah ada sejak dulu. Kata kusta berasal dari bahasa India kusta, dikenal sejak 1400 tahun SM. Kata lepra disebjut dalam kitab Injil, terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnhya mencakup beberapa penyakit lainnya. Ternyata bahwa pelbagai deskripsi mengenai penyakit ini sangat kabur apabila dibandingkan dengan kusta yang dikenal saat ini. Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya adalah Mycobacterium leprae. Bakteri ini bersifat intraseluler obligat, dengan saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke orga lain kecuali susunan saraf pusat. Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan sangat ditakuti oleh karena dapat terjadi ulserasi, mutilasi, dan deformitas. Oleh sebab itu penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga dikucilkan masyarakat disekitarnya akibat cacat pada wajah dan anggota tubuh. Insid