PENDAHULUAN
Kusta merupakan salah satu penyakit yang sudah ada sejak dulu. Kata kusta berasal dari bahasa India kusta, dikenal sejak 1400 tahun SM. Kata lepra disebjut dalam kitab Injil, terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnhya mencakup beberapa penyakit lainnya. Ternyata bahwa pelbagai deskripsi mengenai penyakit ini sangat kabur apabila dibandingkan dengan kusta yang dikenal saat ini.
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya adalah Mycobacterium leprae. Bakteri ini bersifat intraseluler obligat, dengan saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke orga lain kecuali susunan saraf pusat.
Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan sangat ditakuti oleh karena dapat terjadi ulserasi, mutilasi, dan deformitas. Oleh sebab itu penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga dikucilkan masyarakat disekitarnya akibat cacat pada wajah dan anggota tubuh.
Insiden rate penyakit kusta meningkat sesuai umur dengan puncaknya terjadi pada umur 10 – 20 tahun dan kemudian menurun. Prevalensinya juga meningkat sesuai dengan umurnya dan puncaknya pada umur 30 – 50 tahun dan kemudian perlahan – lahan menurun.
Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia dengan endemisitas yang berbeda –beda. Diantara 11 negara penyumbang penderita kusta di dunia, Indonesia menduduki urutan ke 4. Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat di seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut.
Situasi kusta di Sulawesi Utara pada tahun 2006 ditinjau dari beberapa indikator menunjukkan keadaan sebagai berikut : angka penemuan penderita baru (case detection rate/CDR) 20,3 per 100.000 penduduk, angka prevalensi 2,2 per 10.000 penduduk, angka cacat tingkat II 4,7 %, dan angka penderita anak < 15 tahun adalah 7,8%.
WHO saat ini menggunakan strategi global untuk memberantas penyakit kusta dengan cara memberikan pelayanan kusta yang berkualitas, yaitu:
1. Bisa di akses oleh siapa saja yang membutuhkan
2. Pengobatan Multi Drug Treatment (MDT) harus disediakan oleh Unit Pelayanan Kesehatan
3. Tidak ada halangan : geografis, ekonomis, dan jenis kelamin
4. Berpusat pada hak pasien termasuk hak untuk mendapatkan pengobatan tepat waktu dan memadai dengan memperhatikan kerahasiaan penderita
5. Setiap aspek dalam manajemen kasus harus didasarkan pada bukti ilmiah
Untuk menekan penyebaran kusta di Indonesia, telah dibuat suatu rancangan pemberantasan yaitu :
1. Kegiatan pokok :
a. Tata laksana penderita
- Penemuan penderita
- Diagnosis dan klasifikasi
- Pengobatan dan pengendalian pengobatan
- Pencegahan cacat dan perawatan diri
- Rehabilitasi medik
b. Tata laksana program
- Perencanaan
- Pelatihan
- Penyuluhan dan advokasi
- Supervisi
- Pencatatan dan pelaporan
- Monitoring dan evaluasi
- Pengelolaan logistik
Penyakit kusta merupakan penyakit menular yang masih banyak menimbulkan masalah kompleks. Masalah yang dimaksud bukan ha nya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, dan budaya. Oleh karena itu pemahaman yang benar tentang kusta sangat diperlukan, agar penderita dapat didiagnosis dini dan diberikan pengobatan yang tepat, sehingga tidak membuat kesalahan yang merugikan penderita.
2 Berdasarkan berbagai latar belakang dan tujuan di atas, Bagian Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi / Rumah Sakit Umum Prof. R. D. Kandou Manado, telah melakukan kerja sama dengan Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Utara untuk mengadakan suatu Orientasi Program Pemberantasan Penyakit Kusta bagi para Dokter Muda yang sedang belajar secara praktis dan menjadi professional untuk menjadi seorang Dokter.
Berikut ini akan akan kami laporkan kegiatan orientasi tersebut, yang dilaksanakan selama 2 hari yaitu hari Rabu dan Kamis, tanggal 14 dan 15 Oktober 2010, yang dilaksanakan di Kantor Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Utara dan Puskesmas Tuminting Manado.
HASIL KEGIATAN
Dari kegiatan Orientasi Program Pemberantasan Penyakit Kusta bagi para Dokter Muda, bisa disimpulkan :
1. Penyakit kusta masih menjadi salah satu masalah penyakit kulit di Indonesia dan khususnya di Sulawesi Utara yang perlu diberantas untuk mencapai Visi Indonesia sehat 2010.
2. Berdasarkan data epidemiologis, penyakit kusta di Sulawesi Utara terbanyak didapatkan di kota Bitung, Kabupaten Bolaang Mongondow, dan Kota Manado.
3. Diagnosis penyakit kusta didasarkan atas 3 cardinal sign, yaitu bercak yang mati rasa, penebalan saraf disertai gangguan fungsi, dan pemeriksaan BTA positif. Jika salah satu tanda di atas positif, maka pasien dinyatakan menderita kusta. Bila tidak menemukan satupun cardinal sign, penderita hanya bisa di diagnosis sebagai tersangka (suspect) kusta, dan perlu diamati serta diperiksa ulang setelah 3 – 6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegekkan atau disingkirkan.
4. Pengobatan termutakhir bagi penderita kusta saat ini ialah dengan Multi Drug Treatment (MDT) yang diberikan berdasarkan klasifikasi kusta menurut WHO, yaitu : kusta dengan tipe Pausi – Basiler (PB) diberikan Rifampicin 600 mg/bulan (dosis supervisi), Dapsone (Diamino Diphenyl Sulfone/DDS) 100 mg/hari (di minum di rumah). Kedua paket obat itu disebut 1 dosis, dan harus diselesaikan 6 dosis, dalam jangka waktu 6 – 12 bulan. Setelah itu penderita dinyatakan Release From Therapy (RFT) atau selesai berobat. Untuk kusta dengan tipe Multi – Basiler (MB) diberikan terapi Rifampicin 600 mg/bulan (dosis supervisi), Dapsone (Diamino Diphenyl Su9lfone/DDS) 100 mg/hari (di minum di rumah), dan clofazimine (Lamprene) 300 mg/bulan (dosis supervisi) + 50 mg/hari (di minum di rumah). Ketiga paket obat itu disebut 1 dosis, dan harus diselesaikan 12 dosis, selama 12 – 18 bulan. Setelah itu pasien dinyatakan selesai berobat atau Release From Therapy (RFT).
5. Reaksi kusta merupakan suatu reaksi kekebalan (respon seluler) dan atau reaksi antigen antibody (respon humoral), yang dapat timbul sebelum pengobatan, sementara pengobatan, maupun sesudah pengobatan, namun sering terjadi pada 6 bulan sampai setahun sesudah pengobatan. Reaksi ini di bagi dua tipe :
a. Reaksi tipe 1 (Reaksi Reversal; Reaksi Up Grading; Reaksi Borderline)
b. Reaksi tipe 2 (Reaksi ENL = Eritema Nodosum Leprosum)
Kedua reaksi tersebut dapat bersifat ringan atau berat, yang harus segera ditangani agar tidak terjadi kecacatan dan berbagai komplikasi lainnya.
6. Pencegahan cacat sangat penting bagi pasien kusta untuk mempertahankan kualitas hidup dan fungsi – fungsi motorik, sensorik, maupun otonom. Cacat terjadi apabila telah timbul gangguan saraf pada mata, tangan dan kaki penderita, yang disebabkan karena bebebrapa hal seperti terlambat berobat MDT, terjadi reaksi berat dan tidak ditangani, penderita dengan banyak tanda/bercak di kulit, serta penderita dengan nyeri saraf tepi atau ada penebalan/pembesaran saraf. Untuk mengontrol keberhasilan pencegahan cacat, dilakukan pengisian format POD (Prevention Of Disability) yang didalamnya terdapat tes fungsi motorik (ST dan VMT).
7. Perawatan dini dilakukan dengan tujuan agar cacat yang sudah terlanjur ada, tidak akan bertambah berat. Contoh, menghindari terjadinya luka pada tangan/kaki yang sudah mati rasa dengan menyarankan agar senantiasa menggunakan alas kaki serta memeriksa apakah ada luka di tangan dan kaki setiap malam hari, dan menghindari kekakuan sendi jari – jari dan pergelangan yang lumpuh dengan latihan teratur, atau melindungi mata yang mengalami lagoftalmus agar tidak terjadi kebutaan
Kusta merupakan salah satu penyakit yang sudah ada sejak dulu. Kata kusta berasal dari bahasa India kusta, dikenal sejak 1400 tahun SM. Kata lepra disebjut dalam kitab Injil, terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnhya mencakup beberapa penyakit lainnya. Ternyata bahwa pelbagai deskripsi mengenai penyakit ini sangat kabur apabila dibandingkan dengan kusta yang dikenal saat ini.
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya adalah Mycobacterium leprae. Bakteri ini bersifat intraseluler obligat, dengan saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke orga lain kecuali susunan saraf pusat.
Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan sangat ditakuti oleh karena dapat terjadi ulserasi, mutilasi, dan deformitas. Oleh sebab itu penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga dikucilkan masyarakat disekitarnya akibat cacat pada wajah dan anggota tubuh.
Insiden rate penyakit kusta meningkat sesuai umur dengan puncaknya terjadi pada umur 10 – 20 tahun dan kemudian menurun. Prevalensinya juga meningkat sesuai dengan umurnya dan puncaknya pada umur 30 – 50 tahun dan kemudian perlahan – lahan menurun.
Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia dengan endemisitas yang berbeda –beda. Diantara 11 negara penyumbang penderita kusta di dunia, Indonesia menduduki urutan ke 4. Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat di seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut.
Situasi kusta di Sulawesi Utara pada tahun 2006 ditinjau dari beberapa indikator menunjukkan keadaan sebagai berikut : angka penemuan penderita baru (case detection rate/CDR) 20,3 per 100.000 penduduk, angka prevalensi 2,2 per 10.000 penduduk, angka cacat tingkat II 4,7 %, dan angka penderita anak < 15 tahun adalah 7,8%.
WHO saat ini menggunakan strategi global untuk memberantas penyakit kusta dengan cara memberikan pelayanan kusta yang berkualitas, yaitu:
1. Bisa di akses oleh siapa saja yang membutuhkan
2. Pengobatan Multi Drug Treatment (MDT) harus disediakan oleh Unit Pelayanan Kesehatan
3. Tidak ada halangan : geografis, ekonomis, dan jenis kelamin
4. Berpusat pada hak pasien termasuk hak untuk mendapatkan pengobatan tepat waktu dan memadai dengan memperhatikan kerahasiaan penderita
5. Setiap aspek dalam manajemen kasus harus didasarkan pada bukti ilmiah
Untuk menekan penyebaran kusta di Indonesia, telah dibuat suatu rancangan pemberantasan yaitu :
1. Kegiatan pokok :
a. Tata laksana penderita
- Penemuan penderita
- Diagnosis dan klasifikasi
- Pengobatan dan pengendalian pengobatan
- Pencegahan cacat dan perawatan diri
- Rehabilitasi medik
b. Tata laksana program
- Perencanaan
- Pelatihan
- Penyuluhan dan advokasi
- Supervisi
- Pencatatan dan pelaporan
- Monitoring dan evaluasi
- Pengelolaan logistik
Penyakit kusta merupakan penyakit menular yang masih banyak menimbulkan masalah kompleks. Masalah yang dimaksud bukan ha nya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, dan budaya. Oleh karena itu pemahaman yang benar tentang kusta sangat diperlukan, agar penderita dapat didiagnosis dini dan diberikan pengobatan yang tepat, sehingga tidak membuat kesalahan yang merugikan penderita.
2 Berdasarkan berbagai latar belakang dan tujuan di atas, Bagian Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi / Rumah Sakit Umum Prof. R. D. Kandou Manado, telah melakukan kerja sama dengan Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Utara untuk mengadakan suatu Orientasi Program Pemberantasan Penyakit Kusta bagi para Dokter Muda yang sedang belajar secara praktis dan menjadi professional untuk menjadi seorang Dokter.
Berikut ini akan akan kami laporkan kegiatan orientasi tersebut, yang dilaksanakan selama 2 hari yaitu hari Rabu dan Kamis, tanggal 14 dan 15 Oktober 2010, yang dilaksanakan di Kantor Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Utara dan Puskesmas Tuminting Manado.
HASIL KEGIATAN
Dari kegiatan Orientasi Program Pemberantasan Penyakit Kusta bagi para Dokter Muda, bisa disimpulkan :
1. Penyakit kusta masih menjadi salah satu masalah penyakit kulit di Indonesia dan khususnya di Sulawesi Utara yang perlu diberantas untuk mencapai Visi Indonesia sehat 2010.
2. Berdasarkan data epidemiologis, penyakit kusta di Sulawesi Utara terbanyak didapatkan di kota Bitung, Kabupaten Bolaang Mongondow, dan Kota Manado.
3. Diagnosis penyakit kusta didasarkan atas 3 cardinal sign, yaitu bercak yang mati rasa, penebalan saraf disertai gangguan fungsi, dan pemeriksaan BTA positif. Jika salah satu tanda di atas positif, maka pasien dinyatakan menderita kusta. Bila tidak menemukan satupun cardinal sign, penderita hanya bisa di diagnosis sebagai tersangka (suspect) kusta, dan perlu diamati serta diperiksa ulang setelah 3 – 6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegekkan atau disingkirkan.
4. Pengobatan termutakhir bagi penderita kusta saat ini ialah dengan Multi Drug Treatment (MDT) yang diberikan berdasarkan klasifikasi kusta menurut WHO, yaitu : kusta dengan tipe Pausi – Basiler (PB) diberikan Rifampicin 600 mg/bulan (dosis supervisi), Dapsone (Diamino Diphenyl Sulfone/DDS) 100 mg/hari (di minum di rumah). Kedua paket obat itu disebut 1 dosis, dan harus diselesaikan 6 dosis, dalam jangka waktu 6 – 12 bulan. Setelah itu penderita dinyatakan Release From Therapy (RFT) atau selesai berobat. Untuk kusta dengan tipe Multi – Basiler (MB) diberikan terapi Rifampicin 600 mg/bulan (dosis supervisi), Dapsone (Diamino Diphenyl Su9lfone/DDS) 100 mg/hari (di minum di rumah), dan clofazimine (Lamprene) 300 mg/bulan (dosis supervisi) + 50 mg/hari (di minum di rumah). Ketiga paket obat itu disebut 1 dosis, dan harus diselesaikan 12 dosis, selama 12 – 18 bulan. Setelah itu pasien dinyatakan selesai berobat atau Release From Therapy (RFT).
5. Reaksi kusta merupakan suatu reaksi kekebalan (respon seluler) dan atau reaksi antigen antibody (respon humoral), yang dapat timbul sebelum pengobatan, sementara pengobatan, maupun sesudah pengobatan, namun sering terjadi pada 6 bulan sampai setahun sesudah pengobatan. Reaksi ini di bagi dua tipe :
a. Reaksi tipe 1 (Reaksi Reversal; Reaksi Up Grading; Reaksi Borderline)
b. Reaksi tipe 2 (Reaksi ENL = Eritema Nodosum Leprosum)
Kedua reaksi tersebut dapat bersifat ringan atau berat, yang harus segera ditangani agar tidak terjadi kecacatan dan berbagai komplikasi lainnya.
6. Pencegahan cacat sangat penting bagi pasien kusta untuk mempertahankan kualitas hidup dan fungsi – fungsi motorik, sensorik, maupun otonom. Cacat terjadi apabila telah timbul gangguan saraf pada mata, tangan dan kaki penderita, yang disebabkan karena bebebrapa hal seperti terlambat berobat MDT, terjadi reaksi berat dan tidak ditangani, penderita dengan banyak tanda/bercak di kulit, serta penderita dengan nyeri saraf tepi atau ada penebalan/pembesaran saraf. Untuk mengontrol keberhasilan pencegahan cacat, dilakukan pengisian format POD (Prevention Of Disability) yang didalamnya terdapat tes fungsi motorik (ST dan VMT).
7. Perawatan dini dilakukan dengan tujuan agar cacat yang sudah terlanjur ada, tidak akan bertambah berat. Contoh, menghindari terjadinya luka pada tangan/kaki yang sudah mati rasa dengan menyarankan agar senantiasa menggunakan alas kaki serta memeriksa apakah ada luka di tangan dan kaki setiap malam hari, dan menghindari kekakuan sendi jari – jari dan pergelangan yang lumpuh dengan latihan teratur, atau melindungi mata yang mengalami lagoftalmus agar tidak terjadi kebutaan
Comments
Post a Comment