Skip to main content

Sepsis Neonatorum

BAB I

PENDAHULUAN


I.1 LATAR BELAKANG

Sepsis adalah gejala klinis akibat infeksi disertai respon sistemik yang dapat berupa hipotermia, hipertermia, takikardia, hiperventilasi atau letargi.1,4 Sepsis neonatorum adalah infeksi aliran darah yang bersifat invasif dan ditandai dengan ditemukannya mikoroorganisme dalam cairan tubuh seperti darah, cairan sumsum tulang, atau air kemih.2,5

Sepsis terjadi pada kurang dari 1% bayi baru lahir tetapi merupakan penyebab dari 30% kematian pada bayi baru lahir. Infeksi bakteri 5 kali lebih sering terjadi pada bayi baru lahir yang berat badannya kurang dari 2,75 kg dan 2 kali lebih sering menyerang bayi laki-laki. Pada lebih dari 50% kasus, sepsis mulai timbul dalam waktu 6 jam setelah bayi lahir, tetapi kebanyakan muncul dalam waktu 72 jam setelah lahir. Sepsis yang baru timbul dalam waktu 4 hari atau lebih kemungkinan disebabkan oleh infeksi nasokomial (infeksi yang didapat di rumah sakit).3,4

Dari tahun ke tahun insiden sepsis tidak banyak mengalami perbaikan, sebaliknya angka kematian memperlihatkan perbaikan yang bermakna.5 Angka kejadian sepsis di negara berkembang masih cukup tinggi (1.8-18/1000) dibanding dengan negara maju (1-5 pasien/1000 kelahiran).5 Walaupun infeksi bakteri memegang peran penting untuk terjadinya sepsis neonatorum, infeksi virus tetap harus dipertimbangkan dalam menghadapi sepsis neonatorum. Shattuck dkk. (1992) melaporkan penelitiannya selama 5 tahun, yaitu selain bakteri, infeksi virus khususnya enterovirus berperan sebagai penyebab sepsis/meningitis neonatorum.5

Angka kejadian sepis yang tetap tinggi baik di negara maju maupun negara berkembang disebabkan oleh beberapa faktor perinatal yang belum dapat ditanggulangi antara lain :

·Diagnosis sepsis neonatus seringkali sulit karena jarang ditemukan tanda sepsis klasik. Biakan darah yang merupakan baku emas dalam diagnosis sepsis baru memberikan hasil setelah 3-5 hari pengambilan bahan biakan. Selain itu, kuman penyebab infeksi  tidak selalu sama, baik antarklinik, antarwaktu, maupun antarnegara. Demikian pula berbagai pemeriksaan penunjang lain sehingga sult dipakai sebagai pegangan dalam diagnosis pasti sepsis.2

·Sering terjadi dilema dalam tata laksana sepsis. Keterlambatan pengobatan akan meningkatkan angka mortalitas, sedangkan over diagnosis akibat gambaran klinis yang tidak spesifik akan menyebabkan over treatment yang tentunya akan merugikan pasien.2

·Adanya informasi baru dalam patogenesis dan perjalanan penyakit sepsis dalam decade terakhir memberikan alternatif baru dalam mengatasi masalah sepsis, baik pencegahan maupun tata laksana sepsis secara umum. 2

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis berkeinginan untuk mengetahui angka kejadian sepsis neonatorum di bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unsrat / RSUP Prof. dr. R. D. Kandou Manado dan faktor – faktor yang berhubungan dengannya periode Januari 2007 – Juni 2008.



I.2 MASALAH

Bagaimana angka kejadian sepsis neonatorum pada neonatus yang dirawat di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Prof. dr. R. D. Kandou Manado periode Januari 2007 – Juni 2008 serta faktor – faktor yang berhubungan dengan terjadinya sepsis neonatorum?



I.3 TUJUAN PENELITIAN

1.Untuk mengetahui angka kejadian sepsis neonatorum pada neonatus yang dirawat di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Prof. dr. R. D. Kandou Manado.

2.Untuk mempelajari faktor –faktor yang berhubungan  dengan terjadinya sepsis neonatorum yang dirawat di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Prof. dr. R. D. Kandou Manado.



I.4.MANFAAT PENELITIAN

1.Dapat mengetahui angka kejadian sepsis neonatorum di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Prof dr. R. D. Kandou Malalayang

2.Dapat mengetahui faktor – faktor yang berhubungan dengan terjadinya sepsis neonatorum pada pasien neonatus

3.Hasil yang diperoleh dapat dijadikan sebagai pembanding apabila ada penelitian lanjutan.

4.Untuk menambah wawasan penulis mengenai sepsis neonatorum.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 DEFINISI

Sepsis neonatorum merupakan infeksi aliran darah yang bersifat invasif dan ditandai dengan ditemukannya mikroorganisme dalam cairan tubuh seperti darah, cairan sumsum tulang atau air kemih yang terdapat pada bayi dalam bulan I kehidupan.5

Sejak adanya consensus dari American College of Chest Physicians/Society of Critical Care Medicine (ACCP/SCCM) telah timbul berbagai istilah dan definisi di bidang infeksi yang banyak pula dibahas pada kelompok BBL (Bayi Baru Lahir / neonatus ) dan penyakit anak.2 Istilah/definsi tersebut antara lain :

·Sepsis merupakan sindrom respons inflamasi sistemik (Systemic Inflammatory Respins Syndrom – SIRS) yang terjadi sebagai akibat infeksi bakteri, virus, jamur, ataupun parasit.

·Sepsis berat adalah keadaan sepsis yang disertai disfungsi organ kardiovaskuler dan gangguan napas akut atau terdapat gangguan dua organ lain (seperti gangguan neurologi, hematologi, urogenital, dan hepatologi).

·Syok sepsis terjadi apabila bayi masih dalam keadaan hipotensi walaupun telah mendapatkan cairan adekuat.

·Sindroma disfungsi multi organ terjadi apabila bayi tidak mampu lagi mempertahankan homeostasis tubuh sehingga terjadi perubahan dua atau lebih organ tubuh.



Berdasarkan waktu timbulnya, sepsis neonatorum dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :14,15

·Awitan dini : terjadi dalam 7 hari pertama kehidupan (< 72 jam)

Karakteristik : sumber organisme pada saluran genital ibu dan/atau cairan amnion; biasanya fulminan dengan angka mortalitas tinggi.

·Awitan lambat : infeksi yang terjadi setelah minggu pertama kehidupan dan didapat dari lingkungan pasca lahir (nosokomial).

Karakteristik : didapat dari kontak langsung atau tidak langsung dengan organisme yang ditemukan dalam lingkungan tempat perawatan bayi; kolonisasi dapat terjadi lama atau segera sebelum infeksi


II.2  ETIOLOGI

Secara umum penyebab sepsis neonatorum antara lain :

·Bakteri (gram +/- , aerob / anaerob)

·Jamur

·Virus

Pada sepsis neonatorum awitan dini penyebabnya antara lain14,22 :

·Streptococcus hemolitik-β grup B (GBS) à paling banyak menyebabkan sepsis neonatorum.

·E.Coli

·H.Influenza

·Listeria monositogenes (bisa didapat transplasental)

·Enterobacter spp

·Acinetobacter spp

·Coli spp

Sedangkan pada sepsis neonatorum awitan lambat penyebabnya antara lain14 :

A.Bakteri

a.Staphylococcus aureus

b.S. aureus resisten metisilin

c.Staphylococcus epidermidis

d.Enterobacteriaceae : E. coli, Klebsiella, Serratia marcescens, Enterobakter, Citrobakter, Proteus, Salmonella dan Shigella.

e.Enterokokus resistem vankomisin

f.Pseudomonas aeruginosa


B.Jamur

a.Candida albicans

b.Malassezia furfur


C.Virus

a.Respiratory syncytial virus

b.Rotavirus

c.Enterovirus

d.Sitomegalovirus



Secara khusus penyebab sepsis neonatorum dilihat dari faktor ibu, faktor bayi dan ada juga beberapa faktor predisposisi lain.5,8,13,14,23

A.Faktor ibu

a.Usia gestasi ibu

b.Ketuban pecah > 18 jam

c.Korioamnionitis

d.Demam pada ibu (>38,40 C)

e.ISK pada ibu


B.Faktor bayi

a.Asfiksia perinatal

b.BBLR

c.Bayi kurang bulan

d.Prosedur invasive

e.Kelainan bawaan


C.Faktor predisposisi lain

a.Perawatan antenatal yang tidak memadai

b.Pertolongan persalinan yang tidak higiene, partus lama, partus dengan tindakan.

c.Tidak menerapkan rawat gabung

d.Sarana perawatan yang tidak baik, bangsal yang penuh sesak.


II.3  PATOGENESIS

Selama dalam kandungan janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman karena terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion, khorion, dan beberapa faktor anti infeksi pada cairan amnion. Walaupun demikian kemungkinan kontaminasi kuman dapat timbul berbagai jalan5, yaitu :

1.Pada masa antenatal atau sebelum lahir

Pada masa antenatal kuman dari ibu setelah melewati plasenta dan umbilikus masuk ke dalam tubuh bayi melalui sirkulasi darah janin,13 Disini kuman itu melalui batas plasenta dan menyebabkan intervilositis. Selanjutnya infeksi melalui sirkulasi umbilikus dan masuk ke janin. Kuman yang dapat menyerang janin melalui jalan ini ialah: (a) virus, yaitu rubella, poliomyelitis, coxsackie, variola, vaccinia, cytomegalic inclusion; (b) spirokaeta, yaitu treponema palidum; (c) bakteri jarang sekali dapat melalui plasenta kecuali E. coli dan Listeria minicytogenes. Tuberkulosis congenital dapat terjadi melalui infeksi plasenta. Fokus pada plasenta pecah ke cairan amnion dan akibatnya janin mendapat tuberkulosis melalui inhalasi cairan amnion tersebut.11

Memang karena adanya cairan dan lapisan amnion janin terlindung dari bakteri ibu selama dalam kandungan. Akan tetapi bila terjadi kerusakan lapisan amnion, janin beresiko tinggi menderita infeksi melalui amnion15 seperti contoh diatas.

Disamping infeksi kuman vagina, resiko juga meningkat apabila terjadi infeksi pada ibu selama persalinan dan kelahiran16. Suhu ibu > 37,80C memberikan resiko sepsis neonatorum sebesar 10 – 38%.2

2.Pada masa intranatal atau saat persalinan

Paparan infeksi yang terjadi saat proses kehamilan, persalinan, atau kelahiran  dimasukkan ke dalam kelompok infeksi paparan dini (early onset of neonatal sepsis) dengan gejala klinis sepsis terlihat dalam 3 – 7 hari pertama setelah lahir.2 Infeksi melalui jalan ini lebih sering terjadi daripada cara yang lain. Mikroorganisme dari vagina naik dan masuk ke dalam rongga amnion setelah ketuban pecah. Ketuban pecah lama (jarak waktu antara pecahnya ketuban dan lahirnya bayi lebih dari 12 jam) mempunyai peranan penting terhadap timbulnya plasentitis dan amnionitis.11 Cara lain, yaitu saat persalinan, cairan amnion yang sudah terinfeksi dapat terinhalasi oleh  bayi dan masuk ke traktus digestivus dan traktus respiratorius, kemudian menyebabkan infeksi melalui lokasi tersebut.13

Infeksi janin terjadi dengan inhalasi likuor yang septik sehingga terjadi pneumonia kongenital. Selain itu infeksi dapat menyebabkan septikemia. Infeksi intranatal dapat juga melalui kontak langsung dengan kuman yang berasal dari vagina misalnya belnorea dan ‘oral trush’.11

3.Infeksi pascanatal atau sesudah persalinan

Setelah lahir, kontaminasi kuman terjadi dari lingkungan bayi baik karena infeksi silang ataupun karena alat – alat yang digunakan oleh bayi, bayi yang mendapat prosedur neonatal invasif seperti kateterisasi umbilikus, bayi dalam ventilator, kurang memperhatikan tindakan a/anti sepsis, rawat inap yang terlalu lama dan hunian terlalu padat.5

Pasien yang terpapar setelah lahir ini dikelompokkan dalam kelompok pasien sepsis dengan awitan lambat sedang yang sebelumnya dikelompokkan pada kelompok awitan dini. Bila paparan kuman pada kedua kelompok ini berlanjut dan memasuki aliran darah maka akan terjadi respons tubuh yang terjadi akan memperlihatkan pula bermacam gambaran gejala klinis pada pasien. Tergantung dari perjalanan penyakit, gambaran klinis yang terlihat akan berbeda, karenanya penatalaksanaan penderita selain permberian antibiotik, harus mempertahankan pula gangguan fungsi organ yang timbul akibat beratnya penyakit.5



Short MA (2004) mengemukakan bahwa patofisiologi dan tingkat beratnya sepsis tampaknya tidak banyak berbeda antara pasien dewasa dan bayi. Sepsis biasanya akan dimulai dengan adanya respons sistemik tubuh dengan gambaran proses inflamasi, koagulopati, gangguan fibrinolisis yang selanjutnya menimbulkan gangguan sirkulasi dan perfusi yang berakhir dengan gangguan fungsi organ.5

Informasi dalam patogenesis dan perjalanan penyakit penderita sepsis ini merupakan konsep patogenesis infeksi yang banyak dibahas akhir-akhir ini dan dikenal dengan konsep “systemic inflammatory response syndrome” (SIRS). Dalam konsep ini diajukan adanya gambaran klinik infeksi dengan respons sistemik yang pada stadium lanjut menimbulkan perubahan fungsi berbagai organ tubuh yang disebut Multi Organ Dysfunction Syndrome (MODS). Patofisiologi kaskade inflamasi ini berbeda dengan gambaran yang dianut sebelumnya dan hal ini merubah pula definisi berbagai keadaan yang ditemukan pada kaskade tersebut.2  Pada mulanya konsep ini lebih banyak diteliti pada pasien dewasa, tetapi patofisiologi mengenai SIRS dan MODS ini mulai dibahas pula dalam bidang pediatri dan neonatus.5

Berlainan dengan pasien dewasa, pada neonatus terdapat berbagai tingkat definisi sistem pertahanan tubuh, sehingga respon sistemik pada janin dan neonatus akan berlainan dengan pasien dewasa. Sebagai contoh, pada infeksi awitan dini respons sistemik pada neonatus mungkin terjadi saat bayi masih dalam kandungan. Keadaan ini dikenal dengan fetal inflammatory response syndrome (FIRS), yaitu infeksi janin atau neonatus terjadi karena penjalaran infeksi kuman vagina – ascending infection – atau infeksi yang menjalar secara hematogen dari ibu yang menderita infeksi. Dengan demikian konsep infeksi vagina bermula dengan FIRS kemudian sepsis, sepsis berat, syop septik/renjatan septik, disfungsi multi organ dan akhirnya kematian.2

Manifestasi Fetal Inflammatory response syndrome (FIRS)

Takipnea (frekuensi napas >60/menit) ditambah merintih/retraksi atau desaturasi

FIRS

-Instabilitas suhu (<36oC atau >37,9oC)

-Waktu pengisian kembali kapiler >3detik

-Hitung leukosit < 4.000/µL

-CRP >10mg/dL

-IL-6 atau IL-8 >70 pg/mL

-16 s RNA gene PCR positif

SEPSIS

-Satu atau lebih criteria FIRS bersama dengan gejala dan tanda infeksi

SEPSIS BERAT

-Sepsis dihubungkan dengan hipotensi atau disfungsi organ tunggal

SYOK SEPTIK

-Sepsis berat dengan hipotensi membutuhkan resusitasi cairan dan dukungan inotropik

SINDROM DISFUNGSI MULTI ORGAN

-Kegagalan multi organ walau telah diberikan dukungan terapi sepenuhnya


Berikut ini kita akan membahas tentang patofisiologi sepsis neonatorum yang dikaitkan dengan Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) lebih lanjut lagi.


Definisi SIRS dan sepsis

Pada tahun 1991 konsensus the American College of Chest Physicians and the Society of Critical Care Medicine (ACCP/SCCM) mendefinisikan systemic inflammatory response syndrome (SIRS) sebagai respons inflamasi sistemik terhadap berbagai keadaan klinis yang merusak (trauma, luka bakar, pankreatitism dan infeksi), sedangkan sepsis adalah respons inflamasi sistemik terhadap infeksi.17

Infeksi bukan merupakan keadaan yang statis. Adanya patogen dalam darah (bakteremia, viremia) dapat menimbulkan keadaan yang berkelanjutan dari infeksi ke sepsis, sepsis berat, syok septik, kegagalan multi organ, dan akhirnya kematian.2 Sepsis didefinisikan sebagai respons inflamasi sistemik yang disertai manifestasi klinis infeksi. Sepsis berat didefinisikan sebagai sepsis yang disertai komplikasi disfungsi organ dan hipotensi. Syok septik ditandai dengan adanya takikardia (denyut jantung > 180/menit) dan gangguan perfusi sehingga memerlukan cairan dan terapi inotropik. Sindrom disfungsi multi organ yaitu kegagalan multi organ walaupun terapi suportif telah diberikan sepenuhnya (lihat Gambar II.1).20



Tinjauan Penyakit

SIRS adalah respons inflamasi sistemik yang ditimbulkan oleh berbagai penyebab yaitu trauma, luka bakar, pankreatitis, dan infeksi. Respons inflamasi sistemik yang ditimbulkan oleh berbagai penyebab tersebut adalah sama. Bukti menunjukkan bahwa pada SIRS dan sepsis terjadi produksi sitokin proinflamasi, molekul adhesi, mediator vasoaktif, dan reactive oxygen species (ROS).19

Sepsis merupakan akibat interaksi yang kompleks antara mikroorgansime patogen dan penjamu. Tinjauan tentang sepsis menghubungkan patofisiologi yang kompleks dalam terjadinya hipotensi dan obstruksi aliran darah karena pembentukan mikrotrombus pada sistem kapiler. Hal ini akan mengakibatkan disfungsi organ, yang selanjutnya menyebabkan disfungsi multi organ dan akhirnya kematian.2

Meskipun manifestasi klinisnya sama, proses molekular dan selular untuk menimbulkan respons sepsis berbeda tergantung mikroorganisme penyebab, sedangkan tahapan-tahapan pada respons sepsis adalah sama dan tidak tergantung penyebab.17 Respons inflamasi terhadap bakteri gram negatif dimulai dengan pelepasan lipopolisakarida (LPS), suatu endotoksin dari dinding sel yang dilepaskan pada saat lisis. Organisme gram positif, jamur dan virus memulai respons inflamasi dengan pelepasan eksotoksin/superantigen dan komponen antigen sel.2

Kaskade sepsis akan terpicu oleh mikroorganisme tersebut diatas, yang dimulai dengan pelepasan mediator inflamasi primer (Gambar II.2). Mediator inflamasi primer dilepaskan dari sel-sel sebagai hasil dari aktivasi makrofag. Pelepasan mediator ini menyebabkan aktivasi sistem koagulasi dan komplemen. Kerusakan utama akibat aktivasi tersebut terjadi pada endotel dan selanjutnya akan menimbulkan migrasi leukosit dan pembentukan mikrotrombus. Aktivasi endotel akan meningkatkan jumlah reseptor trombin pada permukaan sel untuk melokalisasi koagulasi pada tempat cedera. Cedera pada endotel ini juga berkaitan dengan gangguan fibrinolisis. Hal ini disebabkan oleh penurunan jumlah reseptor pada permukaan sel untuk sintesis dan ekspresi molekul antitrombotik.2

Manifestasi klinis kaskade sepsis ini adalah kebocoran kapiler dan vasodilatasi pembuluh darah yang selanjutnya akan menimbulkan disfungsi organ dan syok. Bila syok, kebocoran kapiler dan vasodilatasi tidak dapat diatasi, maka akan terjadi disfungsi multiorgan dan akhirnya kematian.2


Disfungsi multi organ

Gangguan fungsi paru sering terjadi pada pasien sepsis atau SIRS, dan bermanifestasi sebagai takipnu, hipoksemia, dan alkalosis respiratorik. Pada keadaan berat akan terjadi acute lung injury dan acute respiratory distress syndrome (ARDS). Komplikasi ARDS terjadi pada lebih dari 60% kasus syok septik. Proses patologik utama adalah disfungsi endotel kapiler paru yang mengakibatkan edema alveolar dan interstisial yang berisi cairan eksudat dengan kadar protein yang tinggi dan sel fagosit. Permeabilitas endotel meningkat sebagai respons terhadap sitokin proinflamasi yang selanjutnya akan terjadi kerusakan alveolus dan destruksi membrana basalis. Neutrofil bersekuestrasi dalam paru sebagai respons terhadap IL-8. Konsentrasi IL-8 dalam cairan bronkoalveolar pasien ARDS berhubungan dengan mortalitas.2

Jantung dan pembuluh darah sensitif terhadap sitokin proinflamasi. Sebagai respons terhadap sitokin proinflamasi, nitric oxide disintesis dari inducible nitric oxide synthase (iNOS) pada endotel vascular dan otot polos. Nitric oxide menyebabkan penurunan resistensi vaskular sistemik yang merupakan penyebab terjadinya hipotensi pada syok septik. Hipotensi ini dapat bersifat refrakter terhadap pemberian cairan, inotropik dan vasokonstriktor konvensional. Nitric oxide disintesis dari L-arginin. Pemberian L-N monometril arginin (analog L-arginin) akan memblok produksi nitric oxide dan dapat mengembalikan tonus pembuluh darah pada syok septic. Endotoksin dan sitokin proinflamasi menginduksi depresi miokard. Efek ini diduga juga diperantarai oleh nitric oxide dan terjadi dalam 24 jam setelah awitan sepsis.2

Gangguan hemodinamik menyebabkan gangguan perfusi dan arterivenous shunting sehingga menghasilkan hipoksia jaringan dan asidosis laktat. Bukti menunjukkan bahwa nitric oxide berperan dalam terjadinya hipoksia jaringan dan peningkatan konsentrasi ROS yang berasal dari mitokondria.

Komplikasi gagal ginjal akut terjadi pada 50% kasus syok septik dan secara bermakna meningkatkan mortalitas. Sitokin menginduksi vasodilatasi sistemik dan hipovolemia relatif serta menyebabkan hipoperfusi ginjal. Ginjal memproduksi vasokonstriktor intrinsik sebagai respons terhadap sitokin. Metabolit asam arakidonat (tromboksan dan leukotrien) menurunkan aliran darah ke ginjal, dan antagonis tromboksan dan leukotrien terbukti mempunyai efek proteksi. Seperti jaringan lain, ginjal rentan terhadap kerusakan jaringan akibat aktivasi leukosit, produksi protease, dan ROS.2



Tabel II. 1 : Kriteria SIRS

Usia Neonatus
   

Suhu
   

Laju nadi per menit
   

Laju napas per menit
   

Jumlah leukosit x 103/mm3

Usia 0-7 hari
   

>38,50C atau <360C
   

>180 atau <100
   

> 50
   

>34

Usia 7-30 hari
   

>38,50C atau <360C
   

>180 atau <100
   

> 40
   

>19,5 atau < 5

Catatan : definisi SIRS pada neonatus ditegakkan bila ditemukan 2 dari 4 kriteria dalam tabel (salah satu diantaranya adanya kelainan suhu atau leukosit).


Terbukti infeksi (proven infection) bila ditemukan kuman penyebab atau tersangka infeksi (suspected infection) bila terdapat sindrom klinis (gejala klinis dari pemeriksaan penunjang lain)

Sepsis
   

SIRS disertai infeksi yang terbukti atau tersangka

Sepsis berat
   

Sepsis yang disertai disfungsi organ kardiovaskuler atau disertai gangguan napas akut atau adanya gangguan dua organ lain (seperti: gangguan neurologi, hematologi, urogenital, dan hepatologi)

Syok sepsis
   

Sepsis dengan hipotensi (tekanan darah sistolik <65 mmHg pada bayi < 7 hari dan < 75 mmHg pada bayi 7 – 30 hari)



Pada infeksi awitan lambat perjalanan penyakit infeksi tidak berbeda dengan definisi pada anak. Dengan kesepakatan terakhir ini, definisi sepsis neonatorum ditegakkan apabila terdapat keadaan SIRS/FIRS yang dipicu infeksi baik berbentuk tersangka (suspected) infeksi ataupun terbukti (proven) infeksi. Selanjutnya dikemukakan, sepsis neonatorum ditegakkan bila ditemukan satu atau lebih kriteria FIRS/SIRS yang disertai dengan gambaran klinis sepsis.5

Gambaran klinis sepsis neonatorum tersebut bervariasi, karena itu kriteria diagnostik harus pula mencakup pemeriksaan penunjang baik pemeriksaan laboratorium ataupun pemeriksaan khusus lainnya.20 Kriteria tersebut terkait dengan perubahan yang terjadi dalam perjalanan penyakit infeksi. Perubahan tersebut dapat dikelompokkan dalam berbagai variabel klinik (seperti suhu tubuh, laju nadi, dll), variabel hemodinamik (tekanan darah), variabel perfusi jaringan (capillary refill) dan variabel inflamasi (gambaran leukosit, trombosit, IT ratio, dll).5

Berbagai variabel inflamasi tersebut diatas merupakan respons sistemik yang ditemukan pada keadaan FIRS/SIRS yang antara lain terlihat adanya perubahan sistem hematologik, sistem imun tubuh dll.5 Dalam sistem imun, salah satu respon sistemik yang penting pada pasien SIRS/FIRS adalah pembentukan sitokin. Sitokin yang terbentuk dalam proses infeksi berfungsi sebagai regulator reaksi tubuh terhadap infeksi, inflamasi atau trauma. Sebagian sitokin (Pro inflammatory cytokine seperti IL-1, IL-2 dan TNF-α) dapat memperburuk keadaan penyakit tetapi sebagian lainnya (anti-inflammatory cytokine seperti IL-4 dan IL-10) bertindak meredam infeksi dan mempertahankan homeostasis organ vital tubuh. Selain berperan dalam regulasi proses inflamasi, pembentukan sitokin dapat pula digunakan sebagai penunjang diagnostik sepsis neonatorum. Kuster dkk melaporkan bahwa sitokin yang beredar dalam sirkulasi pasien sepsis dapat dideteksi 2 hari sebelum gejala klinis sepsis muncul.2 Pelaporan ini bermanfaat dalam manajemen pasien karena pada bayi beresiko tata laksana sepsis dapat dilakukan dengan lebih efisien.

Perubahan sistem imun penderita sepsis menimbulkan perubahan pula pada sistem koagulasi.5 Pada sistem koagulasi tersebut terjadi peningkatan pembentukan Tissue Factor (TF) yang bersama dengan faktor VII darah akan berperan pada proses koagulasi. Kedua faktor tersebut menimbulkan aktivasi faktor IX dam X sehingga terjadi proses hiperkoagulasi yang menyebabkan pembentukan thrombin yang berlebihan dan selanjutnya meningkatkan produksi fibrin dari fibrinogen. Pada pasien sepsis, respons fibrinolisis yang biasa terlihat pada bayi normal juga terganggu. Supresi fibrinolisis terjadi karena meningkatnya pembentukan plasminogen-activator inhibitor-1 (PAI-1) yang dirangsang oleh mediator proinflamasi (TNF-α). Demikian pula pembentukan thrombin yang berlebihan berperan dalam aktivasi thrombin-activatable fybrinolisis inhibitor (TAFI) yaitu faktor yang menimbulkan supresi fibrinolisis. Kedua faktor yang berperan dalam supresi ini mengakibatkan akumulasi fibrin darah yang dapat menimbulkan mikrotrombin pada pembuluh darah kecil sehingga terjadi gangguan sirkulasi. Gangguan tersebut mengakibatkan hipoksemia jaringan dan hipotensi sehingga terjadi disfungsi berbagai organ tubuh. Manifestasi disfungsi multiorgan ini secara klinis dapat memperlihatkan gejala-gejala sindrom distress pernafasan, hipotensi, gagal ginjal dan bila tidak teratasi akan diakhiri dengan kematian pasien.5 Lebih lanjut mengenai gejala dan manifestasi klinis akan dibahas setelah ini.


II.4      MANIFESTASI KLINIS

Tanda dan gejala sepsis neonatorum umumnya tidak jelas dan tidak spesifik serta dapat mengenai beberapa sistem organ. Gejala-gejala dini sepsis neonatorum dapat bervariasi. Sebagian menunjukkan gejala yang sangat sedikit atau bahkan tidak sama sekali sebelum akhirnya mereka benar-benar sakit.8,17

Secara umum gejalanya adalah menggigil, hipertermi, takipnea, takikardi, tekanan darah cenderung menurun (hipotensi). Tekanan darah yang menurun ini dapat menyebabkan gagal ginjal akut yang disusul dengan gagal organ yang lain.2

Berikut ini adalah tanda dan gejala yang dapat ditemukan pada neonatus yang menderita sepsis.8,13,17,21,23

A.Tanda dan gejala umum meliputi hipertermia atau hipotermi atau bahkan normal, aktivitas lemah atau tidak ada dan tampak sakit, berat badan menurun tiba-tiba.

B.Tanda dan gejala pada saluran pernapasan meliputi dispnea, takipnea, apnea, tampak tarikan otot pernapasan, merintih, mengorok, dan pernapasan cuping hidung.

C.Tanda dan gejala pada sistem kardiovaskuler meliputi hipotensi, kulit lembab, pucat, sianosis.

D.Tanda dan gejala pada saluran cerna meliputi distensi abdomen, malas, tidak mau minum, muntah, diare.

E.Tanda dan gejala pada sistem saraf pusat meliputi reflex Moro abnormal, iritabilitas, kejang, hiporefleksi, fontanela anterior menonjol, pernapasan tidak teratur.

F.Tanda dan gejala hematologi meliputi bayi tampak pucat, ikterus, petekie, purpura, perdarahan, dan splenomegali.



Menurut Agus Harianto, pasien dengan diagnosa sepsis neonatorum bisa menunjukkan gejala klinis seperti 2,15 :

-Suhu tidak stabil (<36oC atau >37,5oC)

-Laju nadi > 180 x/menit atau < 100 x/menit

-Laju nafas > 60 x/menit dengan retraksi atau desaturasi oksigen, apnea atau laju nafas < 30 x/menit

-Letargi

-Intoleransi glukosa : hiperglikemia (plasma glukosa > 10 mmol/L atau >170 mg/dl) atau hipoglikemia (<2,5 mmol/L atau < 45 mg/dl)

-Intoleransi minum

-Tekanan darah < 3SD menurut usia bayi

-Tekanan darah sistolik < 50 mmHg (usia 1 hari)

-Tekanan darah sistolik < 65 mmHg (usia < 1 bulan)

-Pengisian kembali kapiler/capillary refill time > 3 detik.


Seperti telah diungkapkan sebelumnya, gejala sepsis klasik yang ditemukan pada anak lebih besar jarang ditemukan pada neonatus. Pada sepsis awitan dini janin yang terkena infeksi mungkin menderita takikardi, lahir dengan asfiksia dan memerlukan resusitasi karena nilai Apgar yang rendah. Setelah lahir, bayi terlihat lemah dan tampak gambaran klinis sepsis seperti hipo/hipertermi, hipoglikemia dan kadang-kadang hiperglikemia. Selanjutnya akan terlihat berbagai kelainan dan gangguan fungsi organ tubuh.5

Gangguan fungsi organ tersebut antara lain kelainan susunan saraf pusat seperti letargi, refleks hisap buruk, menangis lemah kadang-kadang terdengar seperti high pitch cry dan bayi menjadi iritabel serta mungkin disertai kejang. Kelainan kardiovaskular seperti hipotensi, pucat, sianosis, dingin dan clummy skin. Bayi dapat pula memperlihatkan kelainan hematologik, gastrointestinal ataupun gangguan respirasi seperti perdarahan,  ikterus, muntah, diare, distensi abdomen, intoleransi minum, waktu pengosongan lambung yang memanjang, takipnea, apnea, merintih, dan retraksi.18,20 Manifestasi gambaran klinis tersebut sangat tergantung pada beratnya gangguan yang terjadi pada masing – masing organ.



Tabel II.3  Gambaran klinis disfungsi multiorgan pada bayi.5

Gangguan organ
   

Gambaran klinis

Kardiovaskular
   

-Tekanan darah sistolik <40mmHg

-Denyut jantung <50 atau > 220/menit

-Terjadi henti jantung

-pH darah < 7,2 pada PaCO2 normal

-Kebutuhan akan inotropik untuk mempertahankan tekanan darah normal.


Saluran napas
   
-Frekuensi napas > 90/menit

-PaCO2 > 65mmHg

-PaO2 , 40 mmHg

-Memerlukan ventilasi mekanik

-FiO2 < 200 tanpa kelainan jantung sianotik


Sistem hematologic
   
-Hb < 5 g/dl

-WBC < 3000 sel/mm3

-Trombosit < 20.000

-D-dinner > 0,5µg/ml pada PTT >20 detik atau waktu tromboplastin > 60 detik


SSP
   
Kesadaran menurun disertai dilatasi pupil.


Gangguan ginjal
   
-Ureum > 100 mg/dL

-Kreatinin > 20 mg/dL


Gastroenterologi
   
Perdarahan gastrointestinal disertai dengan penurunan Hb > 2g%, hipotensi, perlu transfusi darah atau operasi ganstrointestinal


Hepar
   
Bilirubin total > 3mg%



Gejala lainnya juga bisa timbul tergantung kepada sumber infeksi dan penyebarannya20 :

-Infeksi pada tali pusar (omphalitis) bisa menyebabkan keluarnya nanah atau darah dari pusar

-Infeksi pada selaput otak (meningitis) atau abses otak bisa menyebabkan koma, kejang, opistotonus (posisi tubuh melengkung ke depan) atau penonjolan pada ubun-ubun.

-Infeksi pada tulang (osteomielitis) menyebabkan terbatasnya pergerakan pada lengan atau tungkai yang terkena.

-Infeksi pada persendian bisa menyebabkan pembengkakan, kemerahan, nyeri tekan dan sendi yang terkena teraba hangat.

-Infeksi pada selaput perut (peritonitis) bisa menyebabkan perut dan diare berdarah.

Umumnya dapat dikatakan bahwa bila bayi itu “not doing well” kemungkinan besar ia menderita infeksi.11


II.5DIAGNOSIS

Diagnosis dini sepsis neonatorum penting artinya dalam penatalaksanaan dan prognosis pasien. Keterlambatan diagnosis berpotensi mengancam kelangsungan hidup bayi dan memperburuk prognosis pasien. Seperti telah dikemukakan terdahulu, diagnosis sepsis neonatorum sulit karena gambaran klinis pasien tidak spesifik. Gejala sepsis klasik yang ditemukan pada anak lebih besar jarang ditemukan pada neonatus. Tanda dan gejala sepsis neonatorum tidak berbeda dengan gejala penyakit non infeksi berat lain pada neonatus. Selain itu tidak ada satupun pemeriksaan penunjang yang dapat dipakai sebagai pegangan tunggal dalam diagnosis pasti pasien sepsis.5

Namun biasanya diagnosis dapat ditegakkan dengan observasi yang teliti, anamnesis persalinan yang teliti dan akhirnya dengan pemeriksaan fisik dan laboratorium. Seringkali diagnosis didahului oleh persangkaan adanya infeksi, kemudian berdasarkan persangkaan itu diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan selanjutnya.11

Dalam menentukan diagnosis diperlukan berbagai informasi antara lain5:

-Faktor resiko

-Gambaran klinik

-Pemeriksaan penunjang


Ketiga faktor ini perlu dipertimbangkan saat menghadapi pasien karena salah satu faktor saja tidak mungkin dipakai sebagai pegangan dalam menegakkan diagnosis pasien. Faktor resiko sepsis dapat bervariasi tergantung awitan sepsis yang diderita pasien. Pada awitan dini berbagai faktor yang terjadi selama kehamilan, persalinan ataupun kelahiran dapat dipakai sebagai indicator untuk melakukan elaborasi lebih lanjut sepsis neonatorum. Berlainan dengan awitan dini, pada pasien awitan lambat, infeksi terjadi karena sumber infeksi yang terdapat dalam lingkungan pasien.5

Pada sepsis awitan dini faktor resiko dikelompokkan menjadi:

1.Faktor resiko mayor

·KPD > 18 jam

·Ibu demam saat intrapartum (suhu > 38°C)

·Korioamnionitis

·Denyut jantung janin yg menetap  (> 160 x/menit)

·Ketuban berbau

2.Faktor resiko minor

·Ketuban pecah > 12 jam

·Ibu demam intrapartum (suhu > 37,5°C)

·Nilai APGAR rendah (1 < 5, 5 < 7)

·BBLSR (< 1500 gram)

·Usia gestasi < 37 minggu

·Kehamilan ganda

·Keputihan pd ibu yg tidak diobati

·Ibu dgn ISK/tersangka ISK yg tidak diobati


Untuk diagnosis sepsis neonatorum awitan dini diperlukan satu faktor resiko mayor dan dua faktor resiko minor, diagnosis sepsis secara proaktif ditambah gejala klinis kemudian adanya pemeriksaan penunjang juga seperti yang telah dijelaskan diatas.

Berlainan dengan awitan dini, pada pasien awitan lambat, infeksi terjadi karena sumber infeksi yang berasal dari lingkungan tempat perawatan pasien. Keadaan ini sering ditemukan pada bayi yang dirawat di ruang intensif neonatus, bayi kurang bulan yang mengalami perawatan yang lama di rumah sakit, nutrisi parenteral yang berlarut-larut, infeksi yang bersumber dari alat perawatan bayi, infeksi nosokomial atau infeksi silang dari bayi lain atau dari tenaga medik yang merawat bayi. Faktor resiko awitan dini maupun awitan lambat ini walaupun tidak selalu berakhir dengan infeksi, harus tetap mendapatkan perhatian khusus terutama bila disertai gejala klinis. Hal ini akan meningkatkan identifikasi dini dan tata laksana yang lebih efisien pada sepsis neonatorum sehingga dapat memperbaiki mortalitas dan morbiditas pasien.5

Menurut Asril Aminullah, dalam konsep baru kaskade infeksi, diagnosis sepsis neonatorum ditetapkan apabila terdapat SIRS yang disertai deteksi infeksi baik berbentuk tersangka infeksi ataupun terbukti infeksi. Jenis kuman penyebab infeksi sangat menentukan tata laksana sepsis. Pemilihan antibiotik akan memberikan hasil yang optimal apabila sesuai dengan sensitivitas kuman penyebab. Lama pengobatan dan prognosis pasien juga mempunyai hubungan erat dengan kuman penyebab. Oleh karena itu, pemeriksaan biakan darah sampai saat ini masih tetap merupakan baku emas dalam menentukan diagnosis infeksi/sepsis pada bayi. Pemeriksaan biakan mempunyai kelemahan karena hasil baru dapat diketahui dalam waktu minimal 3-5 hari. Selain itu, hasil biakan juga dipengaruhi oleh pemberian antibiotik sebelumnya atau adanya kemungkinan kontaminasi kuman nosokomial.2

Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa gejala klinis sepsis neonatorum sangat bervariasi sehingga diagnosis sepsis sulit ditegakkan. Oleh karena itu, kriteria diagnostik sepsis pada neonatus tidak hanya berdasarkan gejala klinis tetapi juga mencakup pemeriksaan penunjang baik pemeriksaan laboratorium maupun pemeriksaan khusus lainnya. Kriteria diagnosis sepsis pada neonatus berdasarkan perubahan klinis sesuai dengan perjalanan infeksi. Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan menjadi 4 variabel, yaitu variabel klinik, variabel hemodinamik, variabel perfusi jaringan, dan variabel inflamasi.2


Tabel II. 4 Kriteria diagnosis sepsis pada neonatus

Variabel klinis
   
-Suhu tubuh yang tidak stabil

-Laju nadi > 180x/menit atau < 100x/menit

-Laju nafas > 60x/menit, dengan retraksi atau desaturasi oksigen

-Letargi

-Intoleransi glukosa (plasma glukosa > 10mmol/L)

-Intoleransi minum


Variabel hemodinamik
   
-Tekanan darah < 2 SD menurut usia bayi

-Tekanan darah sistolik < 50 mmHg (bayi usia 1 hari)

-Tekanan darah sistolik < 65 mmHg (bayi usia < 1 bulan)


Variabel perfusi jaringan
   
-Pengisian kembali kapiler/capillary refill > 3 detik

-Asam laktat plasma > 3 mmol/L


Variabel inflamasi
   
-Leukositosis (> 34.000 x 109/L)

-Leukopenia (< 5000 x 109/L)

-Neutrofil muda > 10%

-Neutrofil muda/total neutrofil (I/T ratio) > 0,2

-Trombositopenia < 100.000 x 109/L

-C Reactive Protein > 10mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal.

-Procalcitonin > 8,1 mg/dL atau > 2 SD dari nilai mormal

-IL-6 atau IL-8 > 70pg/ml

-16 s rRNA gene PCR : Positif


Selain melihat dari faktor resiko dan gambaran klinis, untuk menentukan diagnosis dibutuhkan juga pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang tersebut dapat berbentuk pemeriksaan laboratorium ataupun pemeriksaan khusus lainnya. Hasil pemeriksaan tes resistensi dapat juga digunakan untuk menentukan pilihan antibiotik yang tepat. Pada hasil pemeriksaan darah tepi, umumnya ditemukan anemia, laju endap darah mikro tinggi, dan trombositopenia. Hasil biakan darah juga tidak selalu positif walaupun secara klinis tanda sepsis sudah jelas. Biakan perlu dilakukan terhadap darah, CSS, usapan umbilikus, lubang hidung, lesi, pus dari konjungtiva, cairan drainase atau hasil isapan lambung. Hasil biakan darah memberi kepastian adanya sepsis, setelah dua atau tiga kali biakan memberikan hasil positif dengan kuman yang sama. Bahan biakan darah sebaiknya diambil sebelum bayi diberi terapi antibiotika. Hasil biakan sampai saat ini masih menjadi baku emas dalam menentukan diagnosis, tetapi hasil pemeriksaan membutuhkan waktu minimal 2-5 hari. 5,13

Interpretasi hasil kultur perlu pertimbangan dengan hati-hati khususnya bila kuman yang ditemukan berlainan jenis dari kuman yang biasa ditemukan di klinik tersebut. Selain itu hasil kultur dipengaruhi juga oleh kemungkinan pemberian antibiotika sebelumnya atau adanya kemungkinan kontaminasi kuman nosokomial.5

Salah satu upaya yang dilakukan akhir-akhir ini dalam menentukan diagnosis dini sepsis adalah pemeriksaan biomolekular. Dibandingkan dengan biakan darah, pemeriksaan ini dilaporkan mampu lebih cepat memberikan informasi jenis kuman. Di beberapa kota besar di Inggris, pemeriksaan cara ini telah dilakukan pada semua fasilitas laboratorium untuk deteksi kuman tertentu (N. meningitides dan S. pneumonia). Selain manfaat untuk deteksi dini, Polymerase Chain Reaction (PCR) mempunyai kemampuan pula untuk menentukan prognosis pasien sepsis neonatus.5

Dalam 5-10 tahun terakhir ini konsep “Systemic Inflammatory Response Syndrome” (SIRS) dalam bidang infeksi telah memberikan cakrawala baru dalam masalah diagnostik sepsis neonatorum. Perubahan fisiologik sistem imun, baik humoral maupun seluler, yang terjadi dalam kaskade inflamasi mempunyai arti penting dalam diagnosis sepsis neonatorum. Kadar sitokin proinflamasi (IL-2, IL-6, IFN-g, TNF-a) dan anti inflamasi (IL-4, IL-10) pada neonatus tersebut akan terlihat meningkat pada bayi dengan infeksi sistemik. Sitokin yang beredar dala msirkulasi pasien sepsis neonatorum dapat dideteksi 2 hari sebelum gejala klinis sepsis muncul.  Pada bayi dengan resiko dimungkinkan merencanakan penatalaksanaan sepsis secara lebih efisien dan efektif sehingga komplikasi jangka panjang yang mengganggu tumbuh kembang bayi dapat dihindarkan.5

Penetapan interleukin sebagai salah satu kriteria diagnosis sepsis mempunyai arti penting karena hal ini sesuai dengan respons sistemik yang terlihat pada pasien SIRS/FIRS. Pembentukan sitokin ini bertambah penting artinya karena sitokin tidak hanya berperan dalam regulasi proses inflamasi tetapi sekaligus dapat dipergunakan sebagai penunjang diagnosis sepsis neonatorum.2

Kedua pemeriksaan terakhir, pemeriksaan biomelokuler ataupun respons imun, memerlukan teknologi kedokteran yang lebih canggih dan biaya mahal yang mungkin belum bisa terjangkau oleh sebagian besar negara berkembang.

Dari riwayat penyakit, gejala klinik, pemeriksaan penunjang ataupun pemeriksaan laboratorium tampaknya belum ada informasi tunggal yang dapat dipakai sebagai indikator sepsis sehingga perlu dipertimbangkan kombinasi berbagai informasi dalam menentukan diagnosis.


II.6  PENATALAKSANAAN

Pencegahan

Sepsis neonatorum adalah penyebab kematian utama pada neonatus. Tanpa pengobatan yang memadai, gangguan ini dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat. Oleh karena itu, tindakan pencegahan mempunyai arti penting karena dapat mencegah terjadinya kesakitan dan kematian. Tindakan pencegahan secara khusus yang dapat dilakukan adalah13:

-Pada masa antenatal

Perawatan  antenatal meliputi pemeriksaan kesehatan ibu secara berkala, imunisasi, pengobatan terhadap penyakit infeksi yang diderita ibu, asupan gizi yang memadai, penanganan segera terhadap kesehatan yang dapat menurunkan kesehatan ibu dan janin, rujukan segera ke tempat pelayanan yang memadai bila diperlukan.

-Pada saat persalinan (intranatal)

Perawatan ibu selama persalinan dilakukan secara aseptik, dalam arti persalinan diperlakukan sebagai tindakan operasi. Tindakan intervensi pada ibu dan bayi seminimal mungkin dilakukan (bila benar-benar dilakukan). Mengawasi keadaan ibu dan janin yang baik selama proses persalinan, melakukan rujukan secepatnya bila diperlukan, dan menghindari perlukaan kulit dan selaput lendir.

-Sesudah persalinan (pascanatal)

Perawatan sesudah lahir meliputi menerapkan rawat gabung bila bayi normal, memberikan ASI secepatnya, mengupayakan lingkungan dan peralatan tetap bersih, setiap bayi menggunakan peralatan sendiri. Perawatan luka umbilikus secara steril. Tindakan invasive harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip aseptic. Menghindari perlukaan selaput lender dan kulit, mencuci tangan dengan menggunakan larutan desinfektan sebelum dan sesudah memegang setiap bayi. Pemantauan keadaan bayi secara teliti disertai pendokumentasian data-data yang benar dan baik. Semua personil yang menangani atau bertugas di kamar bayi harus sehat. Bayi yang berpenyakit menular harus diisolasi. Pemberian antibiotic secara rasional, sedapat mungkin melalui pemantauan mikrobiologi dan tes resistensi.


Infeksi nosokomial merupakan masalah serius pada neonatus yang dirawat di ruang intensif, oleh karena berhubungan dengan peningkatan angka kematian, kesakitan dan lama perawatan di rumah sakit.31


Strategi efektif untuk mencegah infeksi nosokomial.

Strategi efektif untuk mencegah infeksi nosokomial adalah pemantauan yang berkelanjutan, surveilans angka infeksi, data kuman, rasio jumlah tenaga medis dibandingkan jumlah pasien, bentuk ruang perawatan, sosialisasi insidens infeksi nosokomial kepada pegawai untuk meningkatkan kepatuhan mencuci tangan, perhatian terhadap penanganan dan perawatan kateter vena sentral, pemakaian kateter vena sentral yang minimal, pemakaian antibiotik yang rasional, program pendidikan, meningkatkan kepatuhan pegawai berdasarkan hasil program kontrol.31

Secara umum, pencegahan terjadinya sepsis neonatorum berkaitan dengan infeksi nosokomial meliputi14,31 :

-Rajin mencuci tangan

Mencuci tangan adalah cara yang paling sederhana dan merupakan tindakan utama dalam pengendalian infeksi nosokomial, tetapi kepatuhan dalam melaksanakannya sangat sulit. Kurang kepatuhan mencuci tangan dapat disebabkan oleh karena :

·Iritasi kulit

·Sarana tempat dan peralatan cuci tangan yang kurang

·Pemakaian sarung tangan

·Terlalu sibuk

·Tidak terpikir untuk melakukan cuci tangan.

-Melakukan penapisan terhadap pengunjung dan personil perawatan kesehatan terhadap penyakit virus.

-Imunisasi yang sesuai bagi individu yang kontak dengan pasien.

-Isolasi pasien yang terinfeksi sesuai kebutuhan untuk mencegah penyebaran.


Pengobatan

Eliminasi kuman merupakan pilihan utama dalam manajemen sepsis neonatorum. Pada kenyataannya menentukan kuman secara pasti tidak mudah dan membutuhkan waktu. Untuk memperoleh hasil yang optimal pengobatan sepsis harus cepat dilaksanakan. Sehubungan dengan hal tersebut pemberian antibiotika secara empiris terpaksa cepat diberikan untuk menghindari berlanjutnya perjalanan penyakit. Pemberian antibiotika empiris tersebut harus memperhatikan pola kuman penyebab tersering yang ditemukan di klinik. Selain pola kuman hendaknya diperhatikan pula resistensi kuman. Segera setelah didapatkan hasil kultur darah, jenis antibiotika yang dipakai disesuaikan dengan kuman penyebab dan pola resistensinya.5

Prinsip pengobatan pada sepsis neonatorum adalah mempertahankan metabolism tubuh dan memperbaiki keadaan umum dengan pemberian cairan intravena termasuk kebutuhan nutrisi. Mengenai pemberian antibiotik hendaknya memenuhi kriteria efektif berdasarkan hasil pemantauan mikrobiologi, murah dan mudah diperoleh, tidak toksik, dapat menembus sawar darah otak, dan dapat diberik secara parenteral. Pilihan obat yang diberikan ialah ampisilin dan gentamisin atau ampisilin dan kloramfenikol, eritromisin atau sefalosporin atau obat lain sesuai hasil tes resistensi.13

Pemberian pengobatan pasien biasanya dengan memberikan antibiotik kombinasi yang bertujuan untuk memperluas cakupan mikroorganisme pathogen yang mungkin diderita pasien. Diupayakan kombinasi antibiotik tersebut mempunyai sensitifitas yang baik terhadap kuman gram positif ataupun gram negatif.5



Tabel II.5  Dosis antibiotik untuk sepsis neonatorum13

Ampisilin
   

200 mg/kg BB/hari, dibagi 3 atau 4 kali pemberian.

Gentamisin
   

5 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 2 kali pemberian.

Kloramfenikol
   

25 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 atau 4 kali pemberian.

Sefalosporin
   

100 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 2 kali pemberian.

Eritromisin
   

50 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis.



Tatalaksana sepsis neonatorum yang disebabkan oleh bakteri:

•Antibiotika kombinasi untuk memperluas cakupan mikroorganisme patogen dan mencegah resistensi

•Pilihan pertama yaitu Ampisilin dan Gentamisin. Jika klinis tidak membaik maka Ampisilin dpt diganti dgn Sefotaksim.

•Untuk infeksi berat, dipakai golongan Imipenem/Meropenam

•Dosis Ampisilin 100-200 mg/kg/hari, 3x/hari

•Dosis Gentamisin 5 mg/kg/dosis, 1x/hari

•Dosis Sefotaksim 50 mg/kg/dosis, 2-3x/hari

•Dosis Imipenem/Meropenam, 25 mg/kg BB/dosis, 2x/hari

Sedangkan tatalaksana sepsis neonatorum yang disebabkan oleh jamur:

·Amphotericin B (Liposomal) 1 mg/kg/hari, dpt dinaikkan 1 mg/kg/harinya  sampai maksimal 3 mg/kg/hari. Bila sulit didapatkan maka bisa diganti dengan Amphotericin B 0,25-1 mg/kg/hari

·Pilihan lain Fluconazole :

dosis inisial 6 mg/kg lalu 3 mg/kg

usia ≤ 1 mingggu setiap 72 jam

usia 2 – 4 minggu setiap 48 jam

usia ≥ 4 minggu setiap 24 jam



Menurut Agus Harianto, pengobatan pada sepsis neonatorum yakni12:

-Diberikan kombinasi antibiotik golongan Ampisilin dosis 200 mg/kg BB/hari i.v (dibagi 2 dosis untuk neonatus umur < 7 hari, untuk neonatus umur > 7 hari dibagi 3 dosis), dan Netylmycin (Amino glikosida) dosis 7 ½ mg/kg BB/hari i.m/i.v dibagi 2 dosis (hati-hati penggunaan Netylmycin dan Aminoglikosida yang lain bila diberikan i.v harus diencerkan dan waktu pemberian sampai 1 jam perlahan-lahan.

-Dilakukan septic work up sebelum antibiotik diberikan (darah lengkap, urine lengkap, feses lengkap, kultur darah, carian serebrospinal, urine dan feses [atas tindakan], pungsi lumbal dengan analisa cairan serebrospinal [jumlah sel, kimia, pengecatan gram], foto polos dada, pemeriksaan CRP kuantitatif)

-Pemeriksaan lain tergantung indikasi seperti pemeriksaan bilirubin, gula darah, analisis gas darah, foto abdomen, USG kepala, dll.

-Apabila gejala klinik dan pemeriksaan ulang tidak menunjukkan infeksi, pemeriksaan darah dan CRP normal, dan kultur darah negatif maka antibiotic dihentikan pada hari ke-7.

-Apabila gejala klinis memburuk dan atau hasil laboratorium menyokong infeksi, CRP tetap abnormal, maka diberikan Cefepim 100mg/kg/hari diberikan 2 dosis atau Meropenem dengan dosis 30-40 mg/kg BB/hari i.v dan Amikasin dengan dosis 15 mg/kg BB/hari i.v i.m (atas indikasi khusus). Pemberian antibiotik diteruskan sesuai dengan tes kepekaannya. Lama pemberian antibiotik 10-14 hari.

-Pengobatan suportif meliputi : termoregulasi, terapi oksigen/ventilasi mekanik, terapi syok, koreksi metabolik asidosis, terapi hipoglikemi/hiperglikemi, transfuse darah, plasma, trombosit, terapi kejang, transfuse tukar.



Lamanya pengobatan sangat tergantung pada jenis kuman penyebab. Pada penderita yang disebabkan oleh kuman gram positif, pemberian antibiotik dianjurkan selama 10-14 hari, sedangkan penderita dengan kuman gram negatif pengobatan dapat diteruskan sampai 2-3 minggu.5 Namun, jika pada kultur bakteri tidak menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri dalam 48 jam (walaupun pada beberapa kuman pathogen membutuhkan waktu 72 jam) dan pasien menunjukkan adanya perbaikan, pengobatan antibiotik bisa dihentikan.25

Walaupun pemberian antibiotik masih merupakan tata laksana utama pengobatan sepsis neonatorum, berbagai upaya pengobatan tambahan (adjunctive therapy) banyak dilakukan untuk memperbaiki mortalitas bayi. Pengobatan tambahan atau terapi inkonvensional semacam ini selain mengatasi berbagai defisiensi dan belum matangnya fungsi pertahanan tubuh neonatus, juga dalam rangka mengatasi perubahan yang terjadi dalam perjalanan penyakit dan kaskade inflamasi pasien sepsis neonatorum. Beberapa terapi inkonvensional yang sering diberikan antara lain2,5,7:

-Pemberian immunoglobulin secara intravena (IVIG)

Pemberian immunoglobulin dilakukan dengan harapan dapat meningkatkan antibody tubuh serta memperbaiki fagositosis dan kemotaksis sel darah putih. Manfaat pemberian IVIG sebagai tata laksana tambahan pada penderita sepsis neonatorum masih bersifat kontroversi. Namun menurut hasil studi dilaporkan adanya penurunan mortalitas pasien pada 7 hari pertama, tetapi kelangsungan hidup selanjutnya tidak berbeda bermakna. Selanjutnya dijelaskan bahwa pemberian IVIG tersebut lebih bermanfaat sebagai profilaksis sepsis neonatorum (khususnya pada neonatus) disbanding bila dipakai sebagai terapi standar sepsis.

-Pemberian Fresh Frozen Plasma (FFP)

FFP yang mengandung antibody, komplemen, dan protein lainnya seperti C-reactive protein dan fibronectin diharapkan dapat mengatasi gangguan koagulasi yang diderita pasien. Karena seperti yang telah dibahas, pada pasien sepsis neonatorum sering ditemukan adanya perubahan hematologik dan gangguan koagulasi sehingga sangat diharapkan dengan pemberian FFP bisa mengatasi gangguan koagulasi tersebut. Namun walaupun FFP mengandung antibodi protektif tertentu, pemberian FFP pada kenyataannya hanya meningkatkan IgA dan IgM bayi tanpa meningkatkan kadar IgG. Selanjutnya dikemukakan dengan tersedianya gammaglobulin intravena (IVIG), pemberian IVIG ini akan jauh lebih aman dalam menghindarkan efek samping pemberian FFP

-Tindakan transfuse tukar.


Tindakan ini merupakan terapi tambahan yang tidak jarang dilakukan pada beberapa klinik dalam menanggulangi sepsis neonatorum. Tindakan ini bertujuan untuk :

a.Mengeluarkan/mengurangi toksin atau produk bakteri serta mediator-mediator penyebab sepsis.

b.Memperbaiki perfusi perifer dan pulmonal dengan meningkatkan kapasitas oksigen dalam darah.

c.Memperbaiki sistem imun dengan adanya tambahan neutrofil dan berbagai antibodi yang mungkin terkandung dalam darah donor.

Kendala yang sering terjadi pada tindakan ini adalah pelaksanaan yang sulit dan mempunyai potensi menimbulkan reaksi transufusi.


Selain beberapa upaya diatas berbagai tatalaksana lain dilakujkan pula dalam rangka mengatasi mortalitas dan morbiditas sepsis neonatorum. Pemberian transfuse granulosit dikemukakan dapat memperbaiki pengobatan pada penderita. Hal ini dilakukan karena produksi dan respons fungsi sel darah putih yang menurun pada keadaan sepsis neonatorum. Demikian pula pemberian transfuse packed red blood cells dikemukakan dapat bermanfaat dalam terapi sepsis neonatorum. Alasan yang dikemukakan dalam pemberian transfusi ini adalah untuk mengatasi keadaan anemia dan menjamin oksigenisasi jaringan yang optimal pada pasien sepsis.5


II.7  Diagnosis Banding

Secara umum, penyebab terjadinya infeksi sehingga mengakibatkan terjadinya sepsis neonatorum adalah bakteri baik gram positif maupun gram negatif, virus, parasit, dan jamur. Sepsis neonatorum paling banyak disebabkan oleh bakteri Streptococcus grup B.3,8

Untuk membedakan penyebab sepsis neonatorum banyak hal yang perlu diperlukan seperti pemeriksaan penunjang; kultur darah, pemeriksaan urin, pemeriksaan cairan serebrospinal, dan pemeriksaan radiologi.3,7 Secara non-spesifik dapat kita temukan seperti hipoglikemia, hipokalsemia, trombositopenia, hiponatremia, dan asidosis metabolik. Selain itu juga sepsis neonatorum juga dapat didiagnosis banding dengan kelainan jantung bawaan, paru, dan organ-organ lain yang mengakibatkan adanya multiple organ failure. Diagnosis pasti didasarkan pada ditemukannya mikroorganisme dalam darah, cairan serebrospinal, urin, atau cairan tubuh laiinya.7,12


II.8  Komplikasi

Komplikasinya bisa menimbulkan beragam gejala tergantung pada sumber infeksi dan penyebarannya. Misalnya, infeksi pada tali pusat (omphalitis) bisa menyebabkan keluarnya nanah atau darah dari pusar. Infeksi pada selaput otal (meningitis) atau abses otak bisa menyebabkan koma, kejang, dan opistotonus (posisi tubuh melengkung ke depan) atau penonjolan pada ubun-ubun. Infeksi pada tulang (osteomielitis) bisa menyebabkan terbatasnya pergerakan pada lengan atau tungkai yang terkena. Infeksi pada persendian bisa menyebabkan pembengkakan, kemerahan, nyeri tekan, dan sendi yang terkena teraba hanagat. Infeksi pada selaput perut (peritonitis) bisa menyebabkan pembengkakan perut dan diare berdarah.21


II.9  Prognosis

Infeksi masih menjadi laporan penting untuk angka kelahiran bayi abnormal dan kematian pada neonatus. Konsekuensi dari infeksi bakteri termasuk dengan lamanya pasien berada di rumah sakit meningkatkan angka kematian bayi.3

Sepsis neonatorum memiliki prognosis yang buruk dimana sekitar 25% bayi meninggal meskipun telah diberikan antibiotic dan perawatan intensif. Angka kematian pada bayi premature yang kecil adalah 2 kali lebih besar.20

Secara keseluruhan, angka kematian pada bayi dengan sepsis bisa mencapai lebih dari 50% bagi bayi yang terdiagnosis sepsis dan kemudian tidak diobati. Infeksi adalah faktor yang sangat fatal yang bisa menyebabkan kematian pada bulan pertama kelahiran, sekitar 13-15% dari seluruh kematian neonatus. Meningitis neonatorum, salah satu kelahiran yang abnormal dari pasien dengan sepsis neonatorum, sekitar 2-4 kasus per 10.000 kelahiran dan menambah angka kematian pada sepsis neonatorum; sekitar 4% dari seluruh kematian neonatus.25



BAB III

METODOLOGI PENELITIAN


III.1 JENIS PENELITIAN

Penelitian ini adalah suatu penelitian deskriptif retrospektif yaitu dengan meneliti data yang terdapat pada rekam medik di RSU Prof dr. R. D. Kandou Manado.


III.2 TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

·Tempat penelitian

Penelitian dilakukan di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU Prof dr. R. D. Kandou Manado.

·Waktu penelitian

Penelitian dilaksanakan dalam bulan Januari 2007 – Juni 2008


III.3     SUBJEK PENELITIAN

Populasi dan sampel penelitian adalah seluruh data pasien sepsis neonatorum yang dirawat di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU Prof dr. R. D. Kandou Manado sepanjang periode Januari 2007 – Juni 2008


III.4     VARIABEL PENELITIAN

Variabel penelitian yang akan diteliti adalah :

Variabel terikat :  Sepsis Neonatorum

Variabel bebas2,5 :     

·Faktor ibu: -Usia gestasi ibu

             -Ketuban pecah dini dan lebih dari 18 jam

             -Demam pada ibu (>38,40 C)

             -Infeksi (Korioamnionitis dan ISK) pada ibu.

·Faktor bayi:-BBLR

             -Prosedur invasif seperti pemasangan infus dan pembedahan.

             -Kelainan bawaan


III.5 INSTRUMEN PENELITIAN

Untuk penelitian diperlukan :

1.Catatan rekam medic pasien sepsis neonatorum di RSU Prof dr. R. D. Kandou Manado periode Januari 2007 – Juni 2008

2.Alat tulis menulis

3.Kalkulator

4.Komputer

5.Literatur

III.6 CARA KERJA

1.Pengumpulan data

Melakukan pengumpulan data dengan melihat catatan rekam medic pasien dengan sepsis neonatorum yang dirawat di Bagian Anak RSU Prof dr. R. D. Kandou Manado periode Januari 2007 – Juni 2008

2.Pengolahan data

Pengolahan data dilakukan secara manual dan menggunakan komputer. Data yang dihitung kemudian disajikan dalam bentuk tabel berdasarkan variablel penelitian dan dianalisis sesuai hasil presentasi.

3.Penyajian data

Penyajian data dalam bentuk tulisan dan tabel distribusi frekuensi.



III.7PROSEDUR PENELITIAN

1.Mengumpulkan literatur yang berhubungan dengan sepsis neonatorum

2.Menyusun judul dan persetujuan dosen pembimbing

3.Mempresentasikan usulan judul karya tulis ilmiah dalam seminar

4.Mengumpulkan data (catatan medic) penderita sepsis neonatorum bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU Prof dr. R. D. Kandou Manado periode Januari 2007 – Juni 2008.

5.Mengolah data sesuai dengan variable penelitian yang ada

6.Mengevaluasi data

7.Mengadakan konsultasi dengan dosen pembimbing

8.Penyusunan karya tulis ilmiah sarjana secara lengkap

9.Mempresentasikan karya tulis ilmiah sarjana dalam ujian


III.8 DEFINISI OPERASIONAL

·Sepsis adalah gejala klinis akibat infeksi disertai respon sistemik yang dapat berupa hipotermia, hipertermia, takikardia, hiperventilasi atau letargi.

·Neonatus  adalah suatu organisme yang sedang tumbuh, yang baru mengalami proses kelahiran dan harus menyesuaikan diri dari kehidupan intrauterine ke kehidupan ekstrauterin.

·Sepsis neonatorum adalah infeksi aliran darah yang bersifat invasive dan ditandai dengan ditemukannya mikroorganisme dalam cairan tubuh seperti darah, cairan sumsum tulang atau air kemih yang terdapat pada bayi dalam bulan I kehidupan.

·Angka kejadian adalah perbandingan antara jumlah bayi yang didiagnosis sepsis neonatorum dengan jumlah bayi yang dirawat di ruang neonatorum RSUP Prof. dr. R. D. Kandou Manado dan dinyataka dalam persen, dihitung dengan rumus :



Jumlah bayi yang didiagnosis sepsis neonatorum x 100%

Jumlah bayi yang dirawat

·Faktor-faktor yang mempengaruhi :

*Faktor ibu :

·Umur kehamilan, menurut WHO (1979) dinyatakan dalam 3 kelompok :

a.Pre term :kurang dari 37 minggu lengkap (<259 hari).

b.Term: mulai dari 37 sampai kurang dari 42 minggu lengkap (259 – 293 hari).

c.Post term: masa gestasi lebh dari atau sama dengan 42 minggu.

·Lama ketuban pecah adalah jarak waktu keluhan keluar air ketuban pervaginam sampai dengan pemeriksaan pertama di rumah sakit (<18 jam; 18 – 24 jam; > 24 jam).9

·Suhu tubuh adalah suhu tubuh ibu yang diukur pada saat kehamilan dan dihitung berdasarkan Celsius (<38oC; 38oC – 39oC; > 39oC)

·Infeksi yaitu adanya infeksi yang terjadi saat kehamilan9:

oKorioamnionitis:infeksi pada amnion dan korion

oISK:infeksi yang terjadi pada saluran kemih.

·Jumlah ibu yang dihitung adalah ibu yang memiliki data di bagian rekam medik RSUP Prof dr. R. D. Kandou Manado.

*Faktor bayi

·Berat badan lahir adalah berat badan bayi yang diukur dalam satu jam pertama lahir dan dinyatakan dalam gram.

a.Bayi Berat Lahir Amat Sangat Rendah / Extremely Very Low Birth Weight (EVLBW) : bayi dengan berat 500 gram saat lahir tetapi kurang dari 1000 gram.

b.Bayi Berat Lahir Sangat Rendah / Very Low Birth Weight (VLBW) : bayi dengan berat minimal 1000 gram tetapi kurang dari 1499 gram saat lahir.

c.Bayi Berat Lahir Rendah / Low Birth Weight (LBW) : bayi dengan berat lahir 1500 gram sampai 2499 gram.

d.Bayi Berat Lahir Cukup : bayi dengan berat lahir lebih dari 2500 – 3999 gram.

e.Bayi Berat Lahir Lebih : bayi dengan berat lahir > 4000 gram.

·Prosedur Invasif yaitu adanya pemasangan alat-alat dalam tubuh bayi dan pembedahan untuk mendukung kehidupan bayi.

·Penyakit/kelainan bawaan yaitu penyakit yang diderita bayi saat lahir yang dapat menyebabkan terjadinya sepsis neonatorum.


*Mortalitas bayi yang lahir dengan sepsis neonatorum adalah jumlah bayi yang meninggal akibat sepsis neonatorum.




BAB V

PEMBAHASAN


Berdasarkan data deskriptif retrospektif yang didapatkan melalui penelitian di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Prof. dr. R. D. Kandou Manado periode Januari 2007 sampai Juni 2008, jumlah bayi yang lahir dengan sepsis neonatorum sebanyak 184 bayi.

Dari tabel IV.1 diperoleh bahwa jumlah bayi yang menderita sepsis neonatorum pada tahun 2007 dan 2008 sebanyak 184 kasus dengan angka prevalensi 3,87%. Angka tersebut lebih tinggi dari angka kejadian di Indonesia yaitu sebanyak 1%.4

Dari tabel IV.2 yaitu tabel untuk faktor ibu, didapatkan adanya beberapa ibu yang tidak memiliki catatan di bagian rekam medik yaitu sebanyak 70 ibu yang melahirkan bayi sepsis dari 1087 ibu atau sekitar 6,43% dikarenakan ibu yang tidak melahirkan di RSUP Prof. dr. R. D. Kandou Manado sehingga penulis tidak memiliki data ibu tersebut. Dan penelitian yang dilakukan adalah untuk ibu yang memiliki catatan rekam medik di RSUP Prof. dr. R. D. Kandou Manado.

Dari tabel IV.3 mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan sepsis neonatorum berdasarkan umur kehamilan, dapat diketahui  bahwa presentasi paling tinggi terjadinya sepsis neonatorum yaitu pada umur kehamilan < 37 minggu. Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang mengatakan bahwa umur kehamilan yang paling beresiko adalah pada umur kehamilan < 37 minggu.2,6,9 Namun, data yang diperoleh ini lebih kecil dibandingkan penelitian yang telah dilakukan oleh Asril Aminullah dengan presentasi 10-38%.2 Hal ini disebabkan karena pada bayi premature pertumbuhan alat-alat dalam tubuh bayi belum sempurna sehingga mudah terjadi komplikasi dengan angka kematian yang tinggi pula.30 6 – 8% dari persalinan merupakan bayi premature dengan umur kehamilan kurang dari 37 minggu dan menjadi penyebab kematian perinatal sekitar 75%.31

Dari tabel IV.4 mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan sepsis neonatorum berdasarkan angka kejadian waktu ketuban pecah, diperoleh data bahwa presentasi tertinggi terjadinya sepsis neonatorum ditemukan pada lama ketuban pecah 18 – 24 jam. Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang mencatat bahwa salah satu resiko yang meningkatkan terjadinya sepsis neonatorum adalah KPD yang terjadi lebih dari 18 jam.6,8,9 Resiko relative sepsis neonatorum dini pada lama pecah ketuban 18 – 24 jam adalah 9 kali lebih besar dibandingkan dengan ketuban pecah dini kurang dari 12 jam. KPD dapat merupakan akibat dari infeksi maupun sebagai penyebab infeksi asenden. Selain itu, KPD merupakan faktor resiko utama prematuritas yang merupakan penyumbang utama sepsis neonatorum awitan dini dan kematian perinatal.8

Dari tabel IV.5 mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan sepsis neonatorum berdasarkan adanya demam pada ibu, diperoleh data bahwa presentasi tertinggi ditemukan pada suhu tubuh 38oC – 39oC. Data yang didapat sesuai dengan kepustakaan yang mengatakan bahwa suhu tubuh ibu yang paling beresiko melahirkan bayi sepsis neonatorum adalah suhu tubuh 38oC – 39oC.  Meskipun kepustakaan tersebut mengatakan bahwa presentasinya sekitar 10 – 38% sedangkan data yang didapat dari penelitian ini adalah 4,98%, tetapi bisa menggambarkan bahwa pada suhu tersebut adalah suhu tubuh ibu yang paling beresiko untuk melahirkan bayi sepsis.2 Pada kepustakaan yang lain dikatakan bahwa resiko terjadinya sepsis neonatorum pada ibu dengan suhu tubuh 38oC – 39oC ketika melahirkan adalah 12,4%. Presentasi tersebut lebih tinggi daripada presentasi pada penelitan ini yaitu 4,98%.8

Dari tabel IV.6 mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan sepsis neonatorum berdasarkan adanya infeksi pada ibu didapatkan bahwa korioamnionitis merupakan infeksi terbanyak yang didapat oleh ibu yang melahirkan bayi dengan sepsis neonatorum yang pada penelitian ini mencapai 27,02%. Menurut kepustakaan, insiden korioamnionitis klinis pada penelitian di RS Sanglah, Denpasar, Bali, didapatkan 9 kasus (8,0%), pada penelitian Seaward et al (1998) mendapatkan korioamnionitis klinis pada 7% kasus KPD aterm. Dari ibu dengan korioamnionitis 44,4% bayi yang dilahirkan menjadi sepsis. Peneliti lain mendapatkan 16% bayi sepsis dari ibu dengan korioamnionitis dan insidens ini tetap tinggi meskipun ibu telah mendapatkan antibiotic yang adekuat. Korioamnionitis juga berhubungan dengan adanya demam pada ibu dan banyaknya jumlah pemeriksaan vagina. Jadi semakin sering dilakukannya pemeriksaan vagina maka semakin tinggi resiko terjadinya febris (deman) pada ibu dan hal ini juga bisa meningkatkan terjadinya koriamnionitis.8

Dari tabel IV.7 mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan sepsis neonatorum berdasarkan berat badan lahir bayi. Diperoleh data bahwa presentasi tertinggi ditemukan pada berat badan lahir 1000 – 1499 g. Data ini sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa insiden sepsis neonatorum 5x lebih sering terjadi pada bayi baru lahir yang berat badannya kurang dari 2,75 kg.21 Dikatakan juga bahwa insiden infeksi Streptococcus grup B akan meningkat pada bayi dengan berat badan lahir sangat rendah (<1500 g).6 Itu disebabkan karena bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) kondisinya berat, sehingga sepsis lebih sering ditemukan pada BBLR.13

Dari tabel IV.8 mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan sepsis neonatorum berdasarkan adanya prosedur invasif. Data yang diperoleh bahwa presentasi tertinggi terjadinya sepsis neonatorum yaitu pemasangan infus pada bayi sebanyak 3,72%. Hal ini berhubungan dengan adanya infeksi nosokomial yang terjadi pada bayi sehingga menyebabkan sepsis neonatorum, sering terjadi pelayanan aspesis/antisepsis yang tidak optimal dan petugas yang tidak memadai. Angka ini sesuai dengan penelitian yang pernah dilakukan bahwa insiden infeksi nosokomial pada neonatus yang dirawat di unit perawatan intensif neonatus berkisar antara 1,8%-15,3%.2,5,8

Dari tabel IV.9 mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan sepsis neonatorum berdasarkan penyakit/kelainan bawaan pada bayi diperoleh bahwa presentasi tertinggi terjadinya sepsis neonatorum yaitu Respiratory Distress Syndrome (RDS) yaitu sebanyak 26,63%. Menurut Idham Amir dan Lily Rundjan, pada keadaan berat memang akan terjadi acute lung injury dan acute respiratory distress syndrome (ARDS). Dan komplikasi ARDS terjadi pada lebih dari 60% kasus syok septic. Kasus ini berhubungan erat dengan mortalitas.2 Angka yang diperoleh pada penelitian di RSUP Prof. dr. R. D. Kandou Manado menunjukkan presentasi yang lebih kecil jika dibandingkan dengan penelitian oleh Idham Amir dan Lily Rundjan.

Dari tabel IV.10 diperoleh angka mortalitas hasil penelitian yaitu 42,93%. Angka ini lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh dr. Triono Sundoro, Ph.D yaitu sebanyak 20,5%.10 Demikian pula yang dikemukakan oleh Menteri Kesehatan bahwa pada usia 7-28 hari, penyebab kematian terbanyak adalah sepsis neonatorum mencapai 20,5%.16  Angka ini juga lebih tinggi daripada yang dilaporkan oleh WHO yang terjadi pada negara-negara berkembang termasuk Indonesia yaitu 42%.2 Angka mortalitas juga mengalami penurunan dari 50% pada tahun 2007 menjadi 34,14% pada tahun 2008. Hal ini berhubungan dengan semakin baiknya kesadaran setiap ibu untuk menjaga kebersihan diri yang bisa berdampak pada kesehatan bayi. Meski tak bisa dipungkiri bahwa peranan kebersihan rumah sakit juga sangat berpengaruh pada kesehatan ibu dan bayi. Karena salah satu penyebab terjadinya sepsis neonatorum adalah adanya infeksi nosokomial di rumah sakit. Oleh karena itu, berkurangnya angka mortalitas sepsis neonatorum juga karena kepedulian dari rumah sakit untuk menjaga kebersihan.


BAB VI

PENUTUP


VI.1  Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang dilakukan di Bagian Anak RSUP Prof. dr. R. D. Kandou sub bagian Neonatologi dan Bagian Obstetri dan Ginekologi periode Januari 2007 sampai Juni 2008, dapat disimpulkan bahwa :

1.Angka kejadian sepsis neonatorum pada bayi yang dirawat di Bagian Anak RSUP Prof. dr. R. D. Kandou sub bagian Neonatologi adalah 3,87%.

2.Usia gestasi ibu, KPD lebih dari 18 jam, demam pada ibu, adanya infeksi pada ibu, berat badan lahir, prosedur invasive, dan kelainan bawaan pada bayi berhubungan dengan terjadinya sepsis neonatorum pada neonatus.

3.Ternyata kurang lebih angka kejadian sepsis neonatorum pada ibu hamil diakibatkan karena tidak adanya data yang lengkap sehingga mempersulit untuk diagnosis dan penanganan lebih lanjut.


VI. 2  Saran

Berdasarkan hasil kesimpulan diatas tentang prevalensi sepsis neonatorum maka perlu ditempuh langkah – langkah untuk menurunkan angka kematian akibat sepsis neonatorum dengan diagnosis dan penanganan yang tepat agar tidak menimbulkan kecacatan pada bayi dan gangguan pada tumbuh kembangnya di kemudian hari.

Kemudian bisa dilakukan sosialisasi pada Puskesmas, bidan, perawat, bidan terlatih untuk bisa mengurangi morbiditas dan mortalitas. Selain itu, para petugas medis misalnya dokter, dokter puskesmas, bidan, perawat, dan dukun terlatih harus lebih aktif lagi supaya pencegahan dini terjadinya sepsis neonatorum dapat dicegah.

Ibu hamil juga disarankan agar lebih sering mengadakan pemeriksaan rutin ke rumah sakit atau ke puskesmas karena salah satu penyebab adanya sepsis neonatorum juga disebabkan karena adanya infeksi pada ibu. Dan korioamnionitis terdapat 27,02% penyebab terjadinya sepsis neonatorum.

Sepsis neonatorum juga seringkali disebabkan  karena adanya infeksi nosokomial. Sehingga untuk mencegah terjadinya sepsis neonatorum akibat adanya infeksi nosokomial adalah :

1.Kebersihan tangan

Mencuci tangan adalah cara yang paling sederhana dan merupakan tindakan utama dalam pengendalaian infeksi nosokomial.

2.Penggunaan air susu ibu (asi)

Bayi yang mendapat ASI mempunyai resiko lebih kecil untuk memperoleh infeksi daripada bayi yang mendapat susu formula. Efektivitas ASI tergantung dari jumlah yang diberikan, semakin banyak ASI yang diberikan semakin sedikit resiko untuk terkena infeksi.

3.Bentuk ruangan perawatan

Bentuk, konstruksi, dan suasana ruangan perawatan yang baik dapat mengurangi insiden infeksi nosokomial.

Comments

Popular posts from this blog

Uji Maddox - ROD

Tujuan Tes digunakan untuk mengukur heteroforia atau tropia kecil Dasar Kedua mata melihat dengan fovea Disosiasi terjadi bila dipakai Maddox rod pada mata Alat Kamar yang gelap Filter Maddox rod(terdiri sejumlah silinder plano konveks paralel dengan jarak fokus pendek). Teknik Jarak pemeriksaan dapat jauh ataupun dekat. Kedua mata diberi kacamata koreksi. Maddox rod dipasang pada satu mata (dipakai Maddox merah) biasanya mata kanan. Dengan kedua mata terbuka pasien diminta berfiksasi pada lampu. Pasien diminta menerangkan letak garis (dilihat melalui Maddox rod) bandingkan dengan letak lampu. Bila garis Maddox rod dipasang vertikal maka garis cahaya melalui Maddox rod berupa garis horizontal. Bila garis Maddox rod dipasang horizontal maka garis cahaya melalui Maddox rod berupa garis vertikal. Bila dipasang untuk menyatukannya maka dapat ditentukan berat foria atau tropia. Nilai Bila sinar vertikal M

Dilatasi dan Kuretase

Indikasi             Prosedur dilatasi dan kuretase biasanya dilakukan atas indikasi : diagnosis dan terapi perdarahan uterus abnormal, abortus, kanker pada uterus. Teknik Dilatasi Serviks Dilatasi serviks dapat dilakukan dalam anestesi umum, spinal, epidural atau paraservikal, tergantung dari indikasi tindakan. Dilatasi biasanya dilakukan sebelum kuretase tapi juga bisa sebagai tindakan terapeutik pada stenosis servikalis. ·          Pasien dalam posisi litotomi, perineum, vagina dilakukan a dan antisepsis. Pasien dianjurkan untuk berkemih sebelum tindakan, kateterisasi dilakukan bila dicurigai masih terdapat residu urin yang signifikan. ·          Pemeriksaan dalam perlu dilakukan sebelum melakukan dilatasi serviks, menentukan ukuran dan posisi seviks, uterus dan adneksa.   ·          Dipasang spekulum atas dan bawah, serviks ditampakkan. Bibir anterior serviks dijepit dengan tenakulum. ·          Dilakukan inspeksi dengan teliti terhadap serviks dan vagina ·          Terdapat d

Morbus Hansen - Kusta

PENDAHULUAN Kusta merupakan salah satu penyakit yang sudah ada sejak dulu. Kata kusta berasal dari bahasa India kusta, dikenal sejak 1400 tahun SM. Kata lepra disebjut dalam kitab Injil, terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnhya mencakup beberapa penyakit lainnya. Ternyata bahwa pelbagai deskripsi mengenai penyakit ini sangat kabur apabila dibandingkan dengan kusta yang dikenal saat ini. Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya adalah Mycobacterium leprae. Bakteri ini bersifat intraseluler obligat, dengan saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke orga lain kecuali susunan saraf pusat. Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan sangat ditakuti oleh karena dapat terjadi ulserasi, mutilasi, dan deformitas. Oleh sebab itu penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga dikucilkan masyarakat disekitarnya akibat cacat pada wajah dan anggota tubuh. Insid